Jumat, 09 Januari 2009

ASYURA KAPAN SAJA, KARBALA DIMANA SAJA

Oleh: Ustadz Husein Shahab. MA

Bismillâhir Rahmânir Rahîm Alhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn. Allâhumma shalli ‘ala Muhammadin wa ali Muhammad. Shallallâhu ‘alaika ya Ibna Rasulillah Shallallâhu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah Shallallâhu ‘alaika ya Sayyidas Syuhada’ Shallallâhu ‘alaika ya Husain ibna ‘Alî wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Salam sejahtera bagimu wahai pejuang agung Karbala. Salam sejahtera bagimu wahai pahlawan Islam nan mulia. Salam sejahtera bagimu wahai penyuluh perjalanan umat manusia. Semoga Allah menjadikan kami orang-orang yang dapat meneruskan jejak langkahmu. Dan memperoleh syafaatmu kelak berkat wilayahmu

KARBALA seperti kata sebuah riwayat adalah rangkaian dari dua kata “karbun” dan “bala’”, yang artinya adalah kesedihan dan derita.

Karbala adalah syiar jihad keluarga Nabi yang mulia di dalam menegakkan kalimat al-haq.
Karbala adalah simbol perjuangan Ahlul Bait Nabi dan para pengikutnya di dalam upaya memisahkan antara Islam Muhammadi dan Islam Umawi.

Keagungan peristiwa Karbala dengan jelas terbukti melalui kehadiran Imam Husain as. beserta sejumlah keluarga dan sahabatnya di sana dalam rangka menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.

Bukankah Husain bin ‘Alî as. adalah manusia surga seperti yang disabdakan oleh datuknya, Nabi saw, “Innal Hasan(a) wal Husain sayyida syabâb ahlil jannah…” “Sungguh, Hasan dan Husain adalah dua penghulu pemuda surga…”

Bukankah Husain termasuk dalam golongan Ahlul Bait Nabi yang disebutkan berkali-kali dalam al-Quran; dan bahkan dalam salah satu sabdanya Nabi berkata, “Anâ silmun liman sâlamtum, wa harbun liman hârabtum”, bahwa aku akan damai dengan siapapun yang berdamai dengan kalian, dan juga akan perang dengan siapapun yang perang dengan kalian.

Bukankah Husain adalah orang yang disabdakan Nabi, “Man ahabbanî wa ahabba hadhaini wa abâhuma wa ummahumâ kâna ma’î fil jannah”, bahwa siapa yang cinta kepadaku dan cinta kepada kedua orang ini (Hasan dan Husain) serta kedua ayah dan ibunya maka dia akan bersamaku di surga.”

Dalam riwayat Asma’ binti ‘Umais dikisahkan bahwa suatu hari Nabi saw sedang memangku Husain as yang masih bayi. Kemudian Nabi menangis sambil memandangi wajah Husain as. Asma’ bertanya, “Ya, Rasulullah! Ayahku dan ibuku adalah tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi sehingga kau menangis ketika memandang wajah putramu Husain?”
“Wahai Asma’!” Sahut Nabi berlinang air mata. “Anakku ini kelak akan dibunuh oleh sekelompok umatku yang zalim. Sungguh, aku tak berkenan memberi mereka syafaat kelak di hari kiamat…”

Umat yang disebut oleh Nabi sebagai al-fi’atul bâghiyah atau umat yang zalim ini adalah musuh-musuh Husain yang memerangi beliau dan 72 sahabat serta belasan Ahlul Baitnya di sebuah padang sahara yang bernama padang Karbala. Pasukan mereka dipimpin oleh Ibnu Ziyad dan Umar bin Sa’ad atas perintah Yazid bin Muawiyyah ‘alaihil la’nah dengan jumlah pasukan sekitar 30.000 orang.

Karbala adalah saksi hidup makna pengorbanan kepada agama Allah. Semua pejuang Karbala mulai dari Imam Husain yang paling suci sampai kepada anak-anak karbala yang tak berdosa, semuanya berkorban demi tegaknya agama Allah Swt. Husain menjelaskan perjuangannya menentang kezaliman Yazid dan kemunkaran-kemunkaran yang dilakukannya:
“Kami adalah keluarga Nabi. Tambang Risalah. Tempat kunjungan para malaikat dan pusat rahmat Ilahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at.”

Dalam pandangan Imam Husain, keluarga Nabi yang suci yang merupakan kriteria kebenaran tidak boleh dicampuradukkan dengan kebatilan yang yang dibawa oleh Yazid. Islam Muhammadi harus dipisahkan dengan Islam Umawi. Nabi Muhammad harus dibedakan dengan Abu Sufyan. ‘Alî tidak boleh digandengkan dengan Muawiyyah. Husain tidak boleh dipolusi dan dinodai oleh orang seperti Yazid. Umat harus diselamatkan dari pengkaburan ideologi dan akidah seperti yang dikehendaki oleh Yazid dan orang-orangnya.
Husain berkata lagi:

“Ayyuhannas. Dengarlah kata-kataku dan janganlah kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washy-nya dan orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw? Bukankah Sayyidina Hamzah penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar yang memiliki dua sayap di surga adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa kami adalah penghulu pemuda surga?”

“Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan keangkuhan dan mencari perang. Sungguh aku keluar ke sini untuk mencari ishlah demi kepentingan umat datukku Muhammad saw. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku ‘Alî al-Murtadha…”

Pidato panjang Husain di Karbala menjelaskan kepada kita betapa suci perjuangannya itu. Beliau ingin menjunjung tinggi agama Allah dan ajaran datuknya, Muhammad saw. Beliau siap untuk berkorban apapun demi tegaknya agama ini. Beliau bahkan membawa putra dan putrinya agar mereka juga siap berkorban untuk menyalakan api agama Allah sehingga sinarnya bisa sampai ke seluruh umat manusia dan bisa menerangi seluruh isi jagad raya.

Ketika tekad sucinya itu diancam dan digertak oleh musuh-musuh Allah, Husain menjawab dengan kalimat terkenalnya yang kemudian menggerakkan seluruh semangat pejuang Islam yang datang setelahnya. “In kâna dînu Muhammad lam yastaqim illâ bi saifî, fayâ suyûfu khudzîni…” “Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa berdiri kecuali dengan merenggut nyawaku, maka aku rela bersimbah darah demi tegaknya agama Muhammad saw….”
Karbala kemudian memang menyaksikan pertumpahan darah yang sangat tragis sepanjang sejarah umat manusia. Butir-butir pasir Karbala menyaksikan kesetiaan sejumlah orang-orang mukmin yang yang cinta kepada Allah, kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya.

Ketika peperangan Karbala telah dikobarkan oleh pasukan Umar bin Sa’ad, ribuan anak panah dan tombak dilemparkan ke kemah Husain as. Hampir setiap sahabat dan keluarga Husain terluka karenanya. Seorang wanita tua, istri ‘Abdullâh bin Umair berkata kepada suaminya ‘Abdullâh,
“Ya ‘Abdallâh, bi abi anta wa ummi, qâtil dûnat tayyibîn dzuriyyata Muhammad saw…” “Wahai ‘Abdallâh, demi ayah dan ibuku. Berperanglah demi mempertahankan anak zuriat Muhammad saw…”

Tak lama setelah ia keluar, terdengar lantunan salam, “Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh.” ‘Abdullâh bin Umair gugur. Kepalanya dilemparkan ke kemah Husain. Ummu Umair menyambut kepala sang suami dengan senyum penuh keimanan. Dibersihkannya pipinya yang tak berleher dari pasir-pasir Karbala. Suaranya lirih, “Hanîan laka bil jannah…” “Selamat… selamat atas keberhasilanmu wahai suamiku tercinta. Surgalah balasan bagimu dari Allah…”
Suara lirih istri sejati ini terdengar oleh Syimir. Dengan geram ia perintahkan kepala Ummu Umair juga dipenggal. Jadilah ia wanita pertama yang syahid di Karbala.

‘Amir bin Qarthah al-Anshârî juga adalah sahabat Husain yang sangat setia. Ia tidak ingin sedikitpun luka mengenai putra Fâthimah al-Zahra ini. Setiap kali anak panah ditujukan kepada Husain, ia pasang badan untuk melindunginya. Ia berjuang mati-matian untuk menjaga putra Nabi dengan segala daya, hingga badannya ditancap-tancap puluhan anak panah. Amir tidak lagi merasakan sakitnya tusukan tombak dan panah. Cintanya kepada Husain mengobati seluruh deritanya di Karbala. Dengan tubuh yang bersimbah darah seperti itu ia menghadap.
“A wafaitu ya Husain…” “Apakah aku telah tunaikan kesetiaanku untukmu ya Husain?”
“Na’am. Anta amâmi fil jannah. Faqra’ Rasûlallâh ‘annîs salâm…” “Ya. Engkau akan berada di hadapanku kelak di surga. Dan sampaikan salamku kepada Rasulullah…”
Demikian pula dengan Muslim bin ‘Ausajah.

Riwayat berkata bahwa sebelum Muslim bin ‘Ausajah gugur, Habib bin Muzahir sempat memeluknya dan mencium-cium pipinya. Habib berkata, “Ya Muslim, seandainya engkau punya wasiat yang bisa kusampaikan, katakanlah kepadaku…”
Muslim berkata, “Ya, Habib! Aku berwasiat kepadamu agar kau bela Husain bin ‘Alî sampai tetes darahmu yang terakhir. Pastikan dirinya selamat meskipun kau gugur karenanya.”
Bahkan anak-anak remaja Karbala tak mau ketinggalan dalam membela Husain as. Putra Wahab tiba-tiba keluar dari kemahnya sesaat setelah melihat ayahnya jatuh ditebas musuh. Husain sempat menghalanginya.

“Wahai anakku! Engkau masih belum wajib berjihad.” Kata Husain. “Ayahmu baru saja terbunuh. Ibumu tentu tidak ingin kehilanganmu setelah ayahmu syahid?”
Anak remaja ini kemudian datang memeluk Husain sambil berkata, “Demi jiwaku yang ada di tangan Allah. Ya Husain, ibuku bangga denganku apabila aku bisa terbunuh dalam membelamu. Perkenankan aku keluar membelamu ya Husain…”
Remaja ini kemudian gugur menyusul sang ayah.

Demikian juga dengan putra Muslim bin Ausajah. Ayahnya gugur. Kepalanya dipenggal. Sang ibu memintanya untuk membela Husain. Sang ibu tidak rela anaknya hidup sementara Husain dan anak-anak Nabi yang lain disakiti. Ia perintahkan putranya keluar. Tak lama berselang kepala putra Ausjah tercinta dilemparkan ke kemah sang ibu yang mulia ini. Bukan jeritan tangis yang diraungkannya. Bukan suara sesal yang dikumandangkannya. Bukan rasa iba yang dipintanya. Ia berkata dengan suara yang didengar oleh isi alam semesta: “Ahsanta ya bunayya…”

“Demi Allah! Ahsanta ya bunayya…Engkau telah berbuat baik dan telah berbakti kepadaku wahai putraku dan penyejuk hatiku … Engkau telah senangkan hati Fâthimah al-Zahra. Engkau telah bahagiakan jiwa Rasulullah… Engkau telah mengabdi kepada Husain bin ‘Alî…”

Kesyahidan mereka kemudian disusul oleh syahadah putra-putra Ahlul Bait Nabi saw. ‘Alî Akbar minta izin dari ayahnya untuk keluar ke medan perang Karbala. Pemuda tampan ini adalah putra Husain yang berwajahkan datuknya, Muhammad saw. Sehingga Husain sering berkata, “Apabila kami rindu kepada Rasulullah, maka kami akan melihat wajah ‘Alî Akbar.”

Husain terasa berat memberi izin putranya. Apakah ia akan biarkan ‘Alî Akbar pergi menjemput maut? Husain mengangkat tangannya ke arah langit dan berdoa, “Saksikan ya Allah, telah menghadap mereka seseorang yang paling mirip wajahnya dengan wajah Rasulullah….”

‘Alî Akbar keluar dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Lebih dari seratus musuh-musuhnya tewas di pedangnya. Tapi kehausan yang mencekiknya memaksanya pulang ke kemah ayahnya.

“Wahai ayah tercinta.” Kata Akbar. “Rasa haus telah mencekikku. Besi yang berat ini telah menghimpitku. Adakah setetes air yang bisa kuteguk?”

Di dalam riwayat dikatakan bahwa Husain memberikan kepadanya cincinnya untuk dikecup. Sebagian yang lain berkata bahwa Husain mengulurkan lidahnya untuk diisap oleh putranya tercinta. Tapi apa daya. Lidah Husain lebih kering dari kayu-kayu sahara yang kering.
‘Alî Akbar keluar lagi dari kemahnya untuk kedua kali. Ia kini tidak segagah sebelumnya. Dalam keadaan badan yang sudah mulai goyah tiba-tiba kepalanya dipukul dari belakang oleh seorang durjana. ‘Alî berteriak, “ya abatâh…” “Duhai ayahku Husain…”

Kuda ‘Alî Akbar berlari tanpa tujuan yang jelas, hingga membawanya ke kemah musuh. Di sana ‘Alî dikepung dari berbagai sudut. Badan ‘Alî dicabik-cabik dengan tombak-tombak yang tajam. Pedang yang tajam mengiris-iris mukanya yang memancar sinar Muhammad saw. Suaranya yang parau kemudian mengirim salam terakhir untuk ayahnya, "’Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Setelah satu persatu isi keluarganya gugur, harapan Husain tertumpu pada saudaranya Abul Fadhl ‘Abbas. Ia adalah pembawa bendera pasukan Husain sekaligus pelindung putri-putri az-Zahra yang kini mulai yatim di Karbala.
Suara tangis mereka yang haus di kemah Karbala yang panas telah mengiris-iris hati Abbas bin ‘Alî as. Ia berjanji akan menembus pasukan musuh untuk bisa menjemput air. Ia berjanji kepada wajah-wajah Fâthimah dan Khâdijah untuk bisa meminum walau setetes air Furat.

Sebelum tiba di tepi sungai Syimir menyaksikan gelagat ‘Abbas yang ingin mengambil air. Dengan suara lantang ia berkata, “Hai anak Abu Turab, sekiranya seluruh air di dunia ini berada di bawah kekuasaanku, aku tidak akan berikan setetes pun kepada kalian sebelum kalian memberikan bai’atnya kepada Yazid…”

Ketangkasannya memang bisa menghantarnya sampai ke tepian sungai. ‘Abbas ingin minum menghilangkan rasa haus yang telah mencekiknya selama tiga hari. Tangannya telah penuh dengan air. Bibirnya hampir-hampir saja menyentuh sejuknya air Furat. Namun ia teringat akan Husain dan keluarga Nabi di kemah sana. “Demi Allah.” Kata ‘Abbas. “Tidak layak aku minum air ini sementara kehausan telah mencekik saudaraku Husain…”

Syimir kemudian memerintahkan kepada seluruh pasukannya untuk menghadang Abbas dan merampas atau menumpahkan airnya. Abbas menghadapi mereka dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Dari balik pohon kurma, tiba-tiba seorang pengecut menebaskan pedangnya memotong tangan kanan Abbas. Abbas menangkap wadah air dengan tangan kirinya. Ia ingin menyelamatkan air itu agar bisa diminum oleh bibir-bibir kecil Fâthimah. Pedang yang lain kemudian menebas tangan kirinya. Abbas masih berusaha menyelamatkan air itu dengan menggigit talinya. Tapi para durjana itu memanah wadah air itu sampai tumpah dan jatuh dari mulutnya. Kepalanya kini terhantam besi. Badannya disayat-sayat dengan pedang yang tajam. Perutnya ditikam. Abbas menangis, bukan karena sakit. Ia menangis karena tak dapat menghilangkan haus putri-putri Fâthimah. Tak lama Husain mendengar suara Abbas yang terakhir, ‘alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Sepeninggalnya Abbas, Husain berkata, “Kini tulang punggungku patah sudah. Kini saatnya aku menghadap Tuhanku…”
Husain berdiri kokoh di hadapan ribuan musuh yang mengepungnya. Husain menguman-dangkan falsafah perjuangannya di Karbala.

Al-mautu awla min rukub al-‘ari. Wal ‘aru aula min dukhulin nari. Ana al-Husain ibnu ‘Alî. ‘alaitu an la antsani. ahmi ‘iyalati abi. amdhi ‘ala dinin nabi.
(Sungguh, mati lebih utama ketimbang jatuh pada kehinaan; dan lebih utama ketimbang masuk ke dalam api neraka jahannam. Akulah Husain bin ‘Alî yang tak akan pernah tunduk pada kezaliman. Aku bela keluarga ayahku aku berjalan di atas agama sang Nabi)

Sejarah mencatat banyak lawan tewas di tangannya. Husain dikepung oleh ribuan orang. Umar bin Sa’ad memerintahkan pasukannya menyerang Husain dari berbagai penjuru. Dia berkata. “Celaka kalian. Inilah putra singa orang Arab. Inilah putra ‘Alî bin Abi Thalib. Serang dan kepung dia dari berbagai sudut!!!”

Peperangan yang tak seimbang itu akhirnya memaksa Husain duduk sejenak istirahat melepas rasa letihnya. Tiba-tiba Abu Hatuf membidikkan anak panahnya ke dahi Husain. Tempat sujud itu kini menyemprotkan darah segar. Wajah Husain bersimbah darah. Janggutnya kini berwarna merah. Husain berkata, “Ya Allah. Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambamu yang durhaka ini kepadaku. Ya Allah hancurkan mereka. Habisi mereka. Jangan Kausisakan satupun mereka di atas muka bumi. Jangan Kau ampuni mereka…”

Husain berdiri lagi dengan tenaga yang tersisa. Darahnya yang banyak tumpah telah menguras seluruh tenaganya. Saat wajahnya terangkat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan dan persis mengenai dahinya yang luka. Darahnya tambah tumpah. Sebagian darah suci itu menutupi matanya. Husain mengambil ujung bajunya untuk membersihkan matanya. Tengah tangannya terangkat tiba-tiba sebuah anak panah bermata tiga kemudian dilesatkan dan persis mengenai jantungnya. Dada Husain luka. Jantungnya robek. Anak panah itu bahkan menembus dadanya hingga ke belakang. Husain menyebut-nyebut nama Allah, “Dengan asma’ Allah. Dengan bantuan Allah. Dan di atas agama Allah. Ilahi Engkau Maha tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra dari putri Nabi-Mu yang masih ada di atas muka bumi ini…”

Darah tumpah itu ditampung dengan kedua tangannya, lalu dilemparkannya ke langit. Demi Allah, tidak setetespun dari darah itu yang kemudian jatuh ke bumi. Demi Allah, sungguh darah Husain tidak lebih hina dari darahnya unta Nabi Shaleh as.

Husain mengambil sisa-sisa darah yang ada lalu mengoles-oleskannya ke wajahnya seraya berkata, “Seperti inilah aku akan berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Aku akan katakan bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan…”

Husain jatuh tersungkur. Wajahnya bukan hanya berlumuran darah. Pasir Karbala hampir-hampir menyelimuti sekujur tubuhnya. Saat Husain tergeletak Umar bin Sa’ad berteriak, “Turun kalian dan penggal lehernya!!!”

Imam Bâqir as berkata, “Setelah itu mereka perlakukan Husain sedemikian buruk hingga kepada anjingpun mereka dilarang memperlakukan sedemikian.”
Mereka tusuk Husain dari belakang. Mereka sobek Husain dengan pedang yang tajam. Mereka tombak kepala Husain. Mereka lempar Husain dengan batu. Bahkan, mereka penggal kepalanya yang mulia…

Wa ‘alaika minnas salâm ya Abâ ‘Abdillâh…
Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn []

Sisa keluarga Ahlul Bait yang masih tersisa dibawa ke Kuffah & Damaskus dengan cara di rantai dan diborgol seperti tawanan untuk dihadapkan kepada Yazid 'alaihil la'nah termasuk penggalan kepala Imam Husein dan seluruh Martyr Karbala.

1 komentar:

Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...

Sebuah kisah tragis...terima kasih telah memposting...