Oleh: Achmad Zaenal Fikri ibn Ahmad Ismail
بسم الله الرحمن الرحيم
Kemajuan umat Islam, bagaimana mereka memahami teks suci yang otentik. Berbagai tafsiran ulama dari yang membela nabi, ada yang diam tak menyikapi, bahkan diantara mereka ada yang mendiskreditkan Nabi saww. tanpa disadari.
Dari penelitian para ulama, disimpulkan bahwa keterangan-keterangan tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an yang sampai dari para sahabat maupun tabi’in, tidak terlepas dari ijtihad dan pendapat pribadi mereka. Hal ini terlihat adanya ketidakpastian yang mencerminkan adanya ra’yu (pandangan) pribadi. Tidak jarang mereka mengatakan dengan tiada kepastian: “saya mengira bahwa ayat itu turun dalam kejadian itu”.[1]
Bahkan tidak jarang adanya usaha pemalsuan untuk tujuan-tujuan tertentu – yang tanpa disadari – menjatuhkan nama baik atau mendiskreditkan kenabian nabi suci Muhammad saw.
Riwayat-riwayat yang meniupkan racun, merusak kemaksuman pribadi nabi Muhammad saww. anehnya, mengapa harus marah, ketika datang fitnahan dari musuh Islam, bahwa al-Qur’an adalah ayat-ayat setan, yang keluar dari mulut kotor Salman Rusydi. Bukankah umat Islam sendiri yang membuka peluang bahwa – pendapat kalangan umum - ketika wahyu al-Qur’an turun, timbul rasa takut di jiwa sang rasul. Tidak! Sungguh tidak! bahkan nabi saw. bergembira ketika turun wahyu. Sebagaimana firman Allah:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَاهُوَشِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْن (الإسراء: 82)
Jadi, kalau bagi orang-orang yang beriman saja al-Qur’an sebagai penawar dan rahmat, apalagi bagi sang kekasih Ilahi, Nabi Muhammad saww.
Mestinya umat Islam bergembira, jika ada sebesar lubang jarum pintu yang terbuka untuk mensucikan perangai nabi dari sesuatu yang tidak layak. Tapi aneh, malah kita marah-marah.
Pasal Pertama
Firman Allah dalam Surat Abasa ayat 1 – 10:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia akan membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu member manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya telah cukup maka kamu melayaninya, padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya.[2]
Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan bahwa pelaku dalam ayat tersebut adalah nabi saw. Al-hakim meriwayatkan hadits serupa dengan sanad yang sama. Bunyi hadits tersebut adalah;
Diriwayatkan dari Sa’id ibn Yahya ibn Sa’id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam ibn Urwah, dari ayahnya (Urwah ibn Zubair), dari Aisyah ra. berkata: Ibnu Ummi Maktum mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata: berilah aku petunjuk! Saat itu Rasulullah saw. Sedang bersama pembesar musyrikin, lalu Rasulullah saw. berpaling darinya (ibn Ummi Maktum). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi? Rasulullah saw. menjawab: Tidak!. Di saat itu turunlah Surat Abasa.[3]
Telaah atas Riwayat Tersebut
1. Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan, jadi hadits tersebut bukan Muttafaq ‘alaih.
2. Hadits tersebut dianggap mursal oleh jama’ah (sekelompok ulama).[4]
3. Sebab turunnya ayat tersebut terjadi kesimpang siuran, yakni;
a) Delegasi Bani Asad datang menemui Rasul saww. dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.
b) Sebab turunnya, al-A’la ibn Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, “Apakah ia dapat membaca al-Qur’an?” Kemudian dia menjawab: “Ya, dan membaca Surah Abasa”.
c) Sebab turunnya karena datangnya Abdullah ibn Ummi Maktum kepada Rasulullah saww.[5]
4. Abu Isa mengomentari bahwa hadits ini adalah Hasan Gharib (langka).
5. Dalam hadits-hadits tersebut tedapat para perawi sebagai berikut;
a) Urwah ibn Zubair (ayah Hisyam)
b) Hisyam ibn Urwah
c) Ummul Mukminin Aisyah ra.
Tentang Para Perawi di atas
a. Urwah ibn Zubair
Ibn Hajar al-Asqalani menilainya, dia berpredikat “nashibi” (pembenci keluarga Nabi saw), dengan demikian riwayatnya lemah dan tidak dapat dipercaya.[6]
b. Hisyam ibn Urwah
Dia termasuk orang yang Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya) dengan demikian riwayatnya tidak bisa dipercaya.[7] Bahkan dia seorang pembohong.[8]
c. Aisyah ra.
Kalau kita lihat kembali ayat tersebut turun di Mekkah, sedangkan Aisyah ra. masih kecil. Sehingga kita ragu dari mana beliau mendengar hadits tersebut.
Setelah kita ketahui tentang mereka, ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab;
1. Sampai hatikah kaum muslimin berpegang dengan hadits yang perawi dan sanadnya seperti di atas. Atas resiko keluhuran budi nabi Muhammad saww?
2. Apa jawaban kita, jika ada orang akan meniru perbuatan (sunnah) nabi saw. seperti di atas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di bawah ini?
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَـاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ (آل عمران: 31)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ...... (الأحزاب: 21)
3. Seorang mukmin yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh nabi saww. sedang orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya. Justru dalam figure sang nabi Muhammad saww. sebagai suri teladan umat.
Pasal Kedua
Pada pasal kedua ini, lewat jalur hadits tentang kisah nabi saww. disihir oleh seorang penyihir ulung yang bernama Labid ibn al-A’sham. Akan tetapi dengan hadits tersebut – menurut sebagian ulama – menjadi sebab turunnya surah Al-Falaq dan surah An-Nas.
Berbagai perawi yang meriwayatkan tentang hal ini; dari Bukhari, Muslim,[9] Nasa’i,[10] Ahmad, al-Baihaqi,[11] al-Baghawi,[12] al-Wahidy,[13] Tsa’labi,[14] ibnu Mardawaih.[15] Matan sedikit terdapat perbedaan, akan tetapi maknanya sama. Oleh karena itu, saya tulis riwayat dari Bukhari saja.
Ibrahim ibn Musa mengambil riwayat dari Isa ibn Yunus dari Hisyam, dari ayahnya dari Aisyah bahwa: Rasulullah saw. disihir oleh seseorang dari Bani Zuraiq, bernama Labid ibn al-A’sham, sehingga beliau diilusikan melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Pada suatu hari atau suatu malam, ketika beliau di sisi-ku, beliau berdo’a dan berdo’a terus, lalu bertanya: Hai Aisyah! Tahukah kau bahwa Allah telah memperkenankan do’aku? Telah datang dua orang, yang satu di samping kepalaku dan yang satu di sebelah kakiku. Apa sakitnya orang ini? Tanya salah seorang. Terkena sihir. Jawab lainnya. Siapa yang menyihirnya? Tanyanya lagi. Labid ibn al-A’sham. Sahut temannya. Dengan apa? Tanyanya lagi. Dengan sihir, rontokan rambut, dan mayang pohon kurma jantan. Di mana ia? Tanyanya lagi. Di sumur Dzarwan. Sahut temannya. Lalu Rasulullah saw. mendatangi tempat tersebut bersama beberapa sahabat beliau. Setelah kembali, beliau berkata (kepada Aisyah): Hai Aisyah, seakan-akan air sumur itu seperti tercampur pacar (kemerah-merahan), dan ujung dahan pohon kurma seperti kepala-kepala setan. Aku (Aisyah) bertanya: Mengapa tidak anda keluarkan? Beliau menjawab: Allah telah menyembuhkan saya, dan saya tidak ingin menimbulkan kejahatan. Lalu beliau memerintahkan agar sumur itu ditutup.[16]
Kalau kita paparkan semua hadits dari kitab-kitab yang lain, yang menjadi sandaran para mufassirin dan ahli hadits yang mengakui kebenaran kisah tersihirnya nabi saww. bahwa hadits tersebut bermuara pada dua sahabat, seperti; Ibn Abbas dan Zaid ibn Arqam, bahkan Aisyah – istri nabi saw. – terlibat juga dalam periwayatan hadits tersebut.
Komentar Sebagian Ulama tentang Perawi dari Masing-Masing Jalur
Riwayat Zaid ibn Arqam
An-Nasa’i dan al-Baghawi mengambil jalur dari Zaid ibn Arqam, terdapat perawi bernama Saibah ibn Abdurrahman. As-Sari berkomentar: ia jujur, namun mempunyai banyak riwayat hadits mungkar (hadits yang menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah).[17]
Riwayat Ibnu Abbas
Dikutip dari jalur Ikrimah dan jalur al-Kalbi dari Abu Shaleh. Jalur ibnu Abbas yang paling lemah adalah al-Kalbi dari Abu Shaleh.[18]
Riwayat Aisyah ra
Dari jalur Hisyam ibn Urwah dari Urwah ibn Zubair – keponakan Aisyah. Ibnu Abi al-Hadid, sejarawan bermazhab Mu’tazilah mengatakan bahwa; Urwah tidak mampu menyembunyikan kedengkian dan kebencian kepada Imam Ali ibn Abi Thalib kr. Sehingga ia berani dengan terang-terangan mencaci Imam Ali di masjid dan di khalayak ramai.
Jabir ibn Abdul Hamid meriwayatkan dari Muhammad ibn Syaibah, ia berkata: aku menyaksikan az-Zuhri dan Urwah di masjid kota Madinah, keduanya sedang duduk membicarakan Ali kr. Lalu keduanya mencela dan mencaci beliau. Kemudian berita ini sampai kepada Imam Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib. Maka datanglah Ali Zainal Abidin ibn Husein menemui keduanya dan berkata: Hai Urwah, ketahuilah bahwa ayahku (Ali ibn Abi Thalib) akan membawa ayahmu kepengadilan Allah, dan Allah pun akan memenangkan ayahku dan menghukum ayahmu kelak. Adapun kau hai Zuhri, seandainya kau berada di kota Mekkah, pasti akan aku perlihatkan rumah ayahmu.[19]
Anggapan yang Tidak Ada Dasarnya
Mungkin sebagian muslimin yang sudah terlanjur mempercayai hadits tersebut, merasa keberatan, kalau kisah tersebut didha’ifkan dan harus ditolak, sebab Bukhari dan Muslim meriwayatkan, karena para ulama telah menganggap kedua kitab tersebut shahih dan seluruh isinya adalah hadits-hadits yang harus diterima oleh setiap muslim.
Namun anggapan diatas sama sekali tidak dilandasi dengan dasar dan hanya didasari oleh faktor-faktor politis yang tidak sehat, karena beberapa alasan:
Pertama:
Tidak sedikit perawi-perawi Bukhari dan Muslim yang cacat dan diragukan kemurnian agamanya; seperti kaum Khawarij, nawashib, penganut aliran Murjiah, Qadariyah, dll.
Kedua:
Tidak sedikit pula dari ulama besar Sunni yang menolak anggapan bahwa seluruh hadits Bukhari dan Muslim adalah shahih dan menganggapnya sebagai sebuah fanatisme buta yang dipaksakan.
Ketiga;
Dan yang terakhir, tidak banyak di dalam kedua kitab hadits tersebut yang bertentangan dengan wahyu al-Qur’an, seperti tema ini;
1. Sang nabi yang bermuka masam dihadapan seorang yang buta adalah perbuatan yang sia-sia dan mubazir. Karena tidak bermanfaat tersenyum dan berpaling dari seorang yang buta. Surat Abasa turun tahun ke 5 kenabian, sedangkan ayat 4 dari surat al-Qalam;
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْم
itu turun lebih awal, yakni tahun ke 3 kenabian. Jadi, suatu yang tidak masuk di akal jika Allah menegur setelah memujinya dengan kalimat “’azhim”. Pujian yang datangnya dari manusia, boleh jadi jatuhnya relative, akan tetapi jika yang memujinya dari sang Maha Terpuji, tentu tidak ada luang untuk orang lain ingin menjatuhkannya.
وَرَفَعْنَالَكَ ذِكْرَكَ (الإنشراح: 4)
Bentuk teguran yang menggunakan fi’il madhi tersebut, menjadi – penulis – makin tidak percaya, lain halnya jika Allah menegur dengan ‘abasta wa tawallaita”.
2. Tidak diasingkan lagi bahwa jiwa suci nabi Muhammad saww. yang mendapat penjagaan dari Allah adalah jiwa terkuat dan paling teguh, sehingga tidak sesuatu apapun yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk atas dirinya. Al-Qur’an sendiri telah menceritakan pengakuan iblis atas ketidakberdayaannya untuk menggoda jiwa-jiwa hamba Allah yang terpilih “Mukhlasin” dalam berbagai bentuk. Ayat itu berbunyi;
قَالَ رَبِّ بِمَاأَغْوَيْتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْن () إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْن (الحجر: 39-40)
Iblis berkata: ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuata maksiat) di muka bumi, dan pasti akan aku sesatkan mereka semuanya. () Kecuali hamba-hamba-Mu yang Engkau ikhlaskan.
Sebagai penutup, kami cantumkan firman Allah swt dalam surah al-Isra ayat 47:
نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَسْتَمِعُوْنَ بِهِ إِذْ يَسْتَمِعُوْنَ إِلَيْكَ وَإِذْهُمْ نَجْوَى إِذْ يَقُوْلُ الظَّالِمُوْنَ إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ رَجُلاً مَسْحُوْرًا
“Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik, (yaitu) ketika orang-orang zhalim berkata: kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang terkena sihir”.
[20]
[1] Al-Itqan juz 1 hal. 41
[2] Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama RI.
[3] Sunan Turmudzi juz 5 hal. 432 Kitab Tafsir Bab 73 No. Hadits 3331 cet. Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mushtafa al-Babby al-Halaby wa Auladi – Mesir.
[4] Mustadrak al-Hakim juz 2 Kitab Tafsir hal. 514, cet. Dar al-Fikr.
[5] Tafsir ad-Durr al-Mantsur juz 8 hal. 410 – 416.
[6] Muqaddimah Fathul Bari, juz 2 hal. 213
[7] Muqaddimah Fathul Bari, juz 2 hal. 202
[8] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, juz 6 hal. 36; al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 1 hal. 223
[9] Dengan Syarah an-Nawawi, jilid ke 7, juz 14 hal. 177-178
[10] Sunan An-Nasa’I, ktb Tahrim ad-Dam; bab Sakaratu ahlil kitab, dengan syarah As-Suyuthi 7/112-113
[11] Dalam Dalail an-Nubuwwah
[12] Dalam Tafsir Ma’alim at-Tanzil 7/323
[13] Asbab an-Nuzul, hal. 230-231, cet. Dar al-Fikr 1980
[14] Tafsir ibn Katsir 4/574
[15] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, juz 8/ hal. 387-388
[16] Kitab at-Thibb; bab as-Sihr; hadits no. 5763 (Fathul Bari, juz 21 hal. 356 – 364)
[17] Tahdzib at-Tahdzib.
[18] Suyuthi, al-Itqan juz 2
[19] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 1 juz 4 hal. 371
[20] Ucapan orang-orang zhalim ini juga tertulis dalam surah al-Furqan: 8
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Jazakumullah..salam kenal..
Posting Komentar