Senin, 05 Januari 2009

Muhkam dan Mutasyabih

بسم الله الرحمن الرحيم
Makalah Ulum al-Qur'an di Univ. Paramadina

A. Mukaddimah

Al-Qur'an al-Karim adalah kitab standar kehidupan umat manusia dari bangsa dan penganut faham apa pun. Al-Qur'an adalah standar (rujukan) umat manusia yang hidup di segala zaman dan ruang. Dia tetap up to date walaupun manusia berlomba-lomba menciptakan dan meningkatkan kebudayaan dan peradaban mereka tidak akan dapat mengejar kemajuan al-Qur'an.

Misalnya: Sampai hari ini umat manusia belum bisa menyusun alfabet-alfabet jenis-jenis hewan, pada hal al-Qur'an sudah menyebut dan menyinggungnya 1400 tahun yang lalu, belum lagi permasalahan astronomi dan perbintangan atau metafisik lainnya.

Jika masa kini seorang atheis misalnya, tidak mengakui al-Qur'an karena ia tidak bertuhan sama sekali. Seorang Kristen, belum sampai menemukan kebenaran yang dikandung oleh al-Qur'an sehingga ia belum sanggup mengimaninya, maka yakinlah pada suatu saat ia akan pasti mencarinya, tidak dapat tidak.

Seorang yang dahaga akan mencari air, yang lapar akan mencari makanan, begitu pula yang rohaninya kering, pasti akan mencari al-Qur'an.

Sejak Allah menurunkan kalimat-Nya yang pertama di bulan Ramadhan 14 abad yang silam, kalimat-kalimat yang berbunyi:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
"Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan". (QS.96 : 1)

Perlu dicatat bahwa seruan membaca harus ditafsirkan secara luas agar orang sampai pada pengertian bahwa: "tidak ada satu ilmu pengetahuan di atas dunia ini yang dicapai oleh manusia tanpa membaca "iqra' sebagai kuncinya (pendahuluannya) tetapi keagungan kata membaca "iqra' yang dipakai oleh al-Qur'an yaitu dengan tambahan "bismi rabbik" (dengan nama Tuhanmu). Maksudnya ialah: "Bacalah wahai Rasul, wahai manusia dengan nama Tuhan-Mu. Ini adalah satu ikatan agar ilmu pengetahuan tidak menyeleweng dan disalahgunakan.

Penemu-penemu ilmu pengetahuan yang baru, karena mereka membaca untuk mendapatkan popularitas atau membaca untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau membaca ilmu untuk ilmu (Sience for Sience), maka mereka acapkali tidak dibahagiakan dengan ilmu yang merupakan hasil membaca "iqra' tadi.

Umat manusia dilanda oleh penyelewengan-penyelewengan hasil membaca "iqra' yang dilakukan bukan karena Allah. Di antara hasil-hasilnya ialah: senjata-senjata konvensional dan non konvensional yang akan membelah bumi. Mereka siang dan malam ditimpa rasa takut terhadap hasil ciptaan mereka sendiri, sehingga banyak dari mereka yang stress akibat penyimpangan dari maksud kata membaca "iqra' yang diinginkan oleh Allah Maha Pencipta.

Sejak awal ayat tersebut diturunkan, maka sejak detik-detik itu al-Qur'an merupakan buku bacaan yang paling populer bagi umat manusia hingga akhir zaman nanti.

“Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang paling banyak dibaca dan dipelajari di atas dunia.”[1]
“Tidak ada buku sepanjang sejaraj yang populer dibaca dan dipelajari manusia melebihi al-Qur’an.”[2]

Hal demikian itu bukanlah berarti bahwa tidak ada di antara manusia yang sudah mengenal bahwa al-Qur’an itu daripada Allah diperuntukkan kepadanya, dan kepada sesamanya, authentic, tidak disentuh oleh keraguan, apalagi kebathilan, namun karena kecongkaan atau individualitet ia menolaknya. Ia lebih suka memilih adanya pertentangan antara hati kecil dan fikirannya, berjalan lebih lama daripada mengamankan stabilisasi bathin! Bukankah itu sesungguhnya siksaan bathin?

Umat manusia telah berada di tepi jurang kehancuran yang akan melenyapkan kita sama sekali akibat dari bermacam-macam penyakit jiwa dan akhlak yang menimpa kita, sehingga mereka lupa kepada Allah.

Ilmu sekuler yang dikandung oleh otaknya mendorong ia selalu membuahkan alat pembinasa bagi ia dan sesamanya.

Akibat dari egoisme, syofinisme, demoralisasi yang berkecamuk di mana-mana. Menusia hidup penuh dengan ketakutan akibat perbuatannya sendiri.

Jika Allah swt. masih belum mentaqdirkan kehancuran total terhadap kita, maka Ia akan menyampaikan umat manusia ini kepada-Nya. Jalan yang tidak berliku-liku, tak berlatar belakang itu dan ini, simple, pintas, jelas dan tegas itulah as-Shirat al-Mustaqim. Tetapi tidak ada jalan ke sana kecuali melalui al-Qur’an, baru jalan itu selamat tercapai.

Umat manusia harus bersyukur kepada Allah bahwa Ia masih berkenan memelihara al-Qur’an sampai sekarang dalam keadaan authentik.

Ada golongan yang bukan saja menolak al-Qur’an namun ia mengingkari al-Qur’an itu dari pada Allah. Ia mengatakan bahwa al-Qur’an dikarang oleh seorang yang bernama Muhammad akibat penyakit ayan atau penyakit gila.

Kepada mereka itu, dapat dibaca di dalam buku “Benarkah Al-Qur’an Wahyu Allah”. Dalam bahasan buku tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an memang benar dari Allah, tiada mengandung syak lagi, tentunya dengan dalil-dalil aqli (akal).

Memang tidak mudah kita kumpulkan dalil-dalil akal untuk menyimpulkan bahwa al-Qur’an wahyu Allah yang diturunkan atas Nabi Muhammad saww. Kita boleh mencoba sebelum masuk ke pembahasan muhkam dan mutasyabih dalam makalah ini. Untuk mengumpulkan dua atau tiga dalil akal bahwa al-Qur’an itu dari Allah bukan karangan Muhammad.

Tidak ada alternatif lain yang dapat mengatakan bahwa al-Qur’an itu mutlak (bahasanya, susunan titik komanya) daripada Allah. Sebab kalau dikatakan bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad maka pasti kita menganggap bahwa Muhammad itu adalah Tuhan.

Sebenarnya untuk mengetahui kebenaran al-Qur’an, orang tidak perlu melalui jalan yang berliku-liku, bertentangan dengan rasio atau perasaan, ia memerlukan dua syarat mutlak:
1. Ilmu pengetahuan.
2. Ketidak fanatikan.

Sebelum penulis memulai makalah ini, penulis ingin menegaskan bahwa kita sebagai pewaris kitab suci ini, terbagi pada lima golongan:
1. Golongan yang hanya menerima al-Qur’an saja namun ia tidak atau belum membacanya. Ia tidak mempunyai kesempatan belajar membaca dalam bahasa aslinya. Jadi, ia hanya menerimanya sebagai kitab suci dari Allah.
2. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya.
3. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya dan mengerti artinya.
4. Mereka yang membacanya, mengerti maknyanya, kemudian ia berhasil menerapkan isinya pada diri dan keluarganya.
5. Yang terakhir, mereka yang membacanya dengan bahasa aslinya, mengerti maknanya, mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

Masing-masing tidak tahu, kita pembaca tergolong dari golongan yang mana? Mudah-mudahan kita dapat mewujudkan maksud diturunkannya kitab suci al-Qur’an, yaitu:
“Kita membacanya dan mendapat pahala, kita mengamalkannya mendapat dua pahala, kita mengajarkannya mendapat tiga pahala.
Makalah ini akan menjelaskan mengenai Muhkam dan Mutasyabih, dimulai dari pengertian Muhkam dan Mutasyabih baik secara umum atau khusus, pandangan para ulama tentang muhkam dan mutasyabih, dan menjadi bahan perbedaan pendapat di antara mereka.

B. Pengertian

Pengertian Muhkam dan Mutashabih Secara Umum

Pada awalnya pembahasan muhkam dan mutasyabih, adalah cabang dari ilmu kalam. Karena al-Qur’an merupakan teks suci yang cukup sulit terdeteksi maknanya, maka ulama ahli memasukkan pembahasan muhkam dan mutasyabih tersebut sebagai kajian ilmu tafsir. Seperti dalam ilmu fikih, ada qath’i dan ada zhanni. Yang qath’i adalah muhkam, dan yang zhanni adalah mutasyabih.

Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan.[3] Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.[4] Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Al-hukm berarti memutuskan perkara antara dua hal. Maka, hakim adalah orang yang mencegah dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa. Ihkam al-kalam berarti memperkuat perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.

Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[5] Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.

Karena pengertian itu, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah Muhkam. Sebagaimana firman Allah: "inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya diperkuat dan dijelaskan secara rinci yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. Hud: 1)
Maksudnya, bahwa kata-katanya fasih, kuat, tiada tandingan, sekaligus dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan.

Sedangkan mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Tashâbaha ar-rajulâni, dua orang saling menyerupai[6]. Dalam istilah fikih, seseorang menemukan kata syubhat, artinya sesuatu barang atau perkara yang belum jelas kehalalannya dan keharamannya. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.

Dengan pengertian itulah, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat sebagaimana didalam firman-Nya: ""Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)". (Qs. Az-Zumar: 23).

Seperti firman Allah swt: "dan mereka diberi yang serupa dengannya". (Qs. Al-Baqarah: 25). Ayat ini menerangkan sekaligus memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh berupa surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir dan terdapat pula buah-buahan yang serupa tapi tidak sama seperti buah-buahan yang terdapat di dunia.

Masing-masing muhkam dan mutasyabih dalam pengertian secara mutlak dan umum, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak menjadikan kontradiksi ayat al-Qur'an yang satu dengan ayat-ayat yang lain.

Jadi, pernyataan bahwa "al-Qur'an itu semuanya muhkam, karena adalah dengan pengertian kuat, sastranya tinggi, yakni ayat-ayatnya serupa, saling membenarkan satu sama lain. Tidak ada kontradiksi di dalam al-Qur'an. Allah berfirman: "Apakah mereka tidak memahami al-Qur'an, dan seandainya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapati banyak pertentangan (satu sama lain) di dalamnya". (Qs. An-Nisa_: 82)

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus

Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7)
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2. Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur'an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْض (البقرة: 255)
"Kursi-Nya meliputi langit dan bumi".
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
"Yang Maha Pengasih, yang bersemanyam di atas 'Arsy".
تَجْرِى بِأَعْيُنِنَا جَزَاءًا لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (القمر: 14)
"(bahteranya nabi Nuh as) berlayar dengan pantauan mata Kami. (seperti itulah musibah yang Kami turunkan) sebagai balasan bagi orang yang ingkar".
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَايُبَايِعُوْنَ اللهَ, يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
"Sesungguhnya orang-orang yang membai'at-mu ya Rasul, mereka-lah yang berikrar menerima (bahwa Tuhan mereka) adalah Allah. Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka".
وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (القصص: 88)
"dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah".

C. Pandangan Para Ulama

Para ulama membagi ayat-ayat mutasyabih:
· Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat, dll.
· Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari lahir dari singkatnya redaksi.
· Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan melakukan penyucian diri.[7]
Abdullah ibn Abbas dan Ibnu Mas'ud ra: Bahwasanya ayat-ayat muhkam adalah yang menghapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang dihapus. Begitu juga riwayat dari ad-Dhahhak.[8]
Menurut Mujahid: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang Allah jelaskan akan kehalalannya, keharamannya dan tidak ada kerancuan maknanya.[9]

Demikian juga Imam Syafi'i berkata sebagai berikut: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin takwilnya lebih dari satu, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil.[10]

Jika kita melihat pendapatnya Imam Syafi’i di atas, bahwa ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil, kita bisa mengambil contoh mengenai kata “nikah”[11] di dalam al-Qur’an, bisa berarti dua, al-wath_u (berkumpul dalam arti bersetubuh) atau al-‘aqdu (sebuah perjanjian).
Atau bisa juga kita lihat dalam ayat: “wanita-wanita yang dithalak (diceraikan) hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.[12] “Quru” bisa berarti suci atau bisa berarti haidh. “Tiga quru”, sementara ulama - yang bermazhab Hanafi – dipahami dalam arti tiga kali haid. Sedangkan ulama yang bermazhab Maliki dan Syafi’i, tiga quru diartikan tiga kali suci (masa antara dua kali haid).[13]

Riwayat dari Qotadah: bahwa ayat-ayat muhkamat yaitu ayat yang wajib diamalkan.[14]
Yahya ibn Ya'mur berkomentar: bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang mencakup hal-hal kewajiban seorang hamba, larangan, dan ayat-ayat muhkam juga sebagai pondasi kekuatan umat Islam.[15]

al-Ashfahani dalam Mufrodatnya berkomentar bahwa muhkam itu yang memberikan faedah pengertian kepada satu hukum. Hukum lebih umum dari pada hikmah, karena setiap hikmah yaitu hukum sedangkan hukum belum tentu menjadi buah hikmah.[16] Sedangkan mutasyabihat al-Ashfahani berkomentar panjang dan membagi menjadi 3 macam: 1.) mutasyabihat dari segi lafazh, 2.) mutasyabihat dari segi makna, dan 3.) mutasyabihat dari segi keduanya. Dan mutasyabihat dari segi lafazh terbagi menjadi 2 macam. Tidak mudah sepertinya untuk menjelaskan pembagian dari segi lafazh, karena setelah itu terdapat bagiannya lagi. Mutasyabihat dari segi makna, al-Ashfahani memberikan contoh kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan dalam benak kita. Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi 5 bagian: 1.) dilihat dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu al-musyrikin – 9:5. 2.) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau sunnah, contohnya: fankihuu maa thόba lakum – 4:3. 3.) mutasyabihat dari segi waktu seperti nâsikh dan mansûkh, contoh: ittaqullha haqqo tuqόtih – 3:102. 4.) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat tersebut turun ditempat itu, seperti: wa laisa al-birro bi an tuu al-buyût min zhuhûrihâ – 2:189. Dan yang ke 5.) dari segi syarat-syarat yang menentuakan sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.[17]

Sedangkan menurut Jabir ibn Abdullah al-Anshari ra, dan ini sependapat juga oleh Shi'bi dan Sufyan ats-Tsauri: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang diketahui dan dapat dipahami oleh para ulama akan makna dan tafsirnya, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat rahasia Allah, hanya Allah swt. yang mengetahui, seperti hari kiamat, kematian seseorang, dll.[18]

Setelah melihat beberapa komentar sebagian ulama, dalam pendapat mereka sebenarnya (laa tanaafiya) tidak saling bertentangan.

D. Perbedaan Pendapat

'Athaf atau Isti'naf.

Surat Ali Imran ayat 7 merupakan salah satu bahan perhatian ulama yang mendalami ilmu al-Qur'an. Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Di antara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.

Sampai di kalimat: "wamǻ ya’lamu ta’wìlahū illallah. War rǻsikhūna fil ‘ilm. Yang menjadi bahan perbedaan pendapat adalah huruf wawu setelah kalimat illallah, wawu tersebut athaf (penyambung) atau wawu isti’naf (permulaan). Karena jika waqaf (terhenti) sampai di kalimat illallah, berarti yang hanya mengetahui ayat-ayat mutasyabih adalah Allah swt. Adapun jika wawu itu athaf, atau tidak waqaf, maka ada yang mengetahui takwilnya selain Allah swt.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah ada yang mengetahui takwil al-Qur'an selain Allah swt? pertanyaan ini juga yang menjadi bahan perbedaan pendapat antara ulama. Mayoritas ahli ushul dan sahabat Nabi khususnya Ibn Abbas, perbendapat bahwa "wawu" tersebut huruf 'athaf, karena pengakuan Ibn Abbas sendiri bahwa dirinya mengetahui takwil. Anâ minar râsikhîna alladzîna ya'lamûna ta'wîlahu.[19] Begitu juga Nabi saw. pernah berdo'a untuk Abdullah Ibn Abbas: Allahumma faqqihhu fiddîn wa 'allimhu at-Ta'wil.[20]

Alasan DR. Wahbah az-Zuhaili, karena bahwasanya Allah swt menghina orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan mencari-cari fitnah dan menyesatkan orang lain.
Ancaman bagi mereka yang menimbulkan fitnah dengan mentakwilkan ayat-ayat mutasyãbih. 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. membacakan ayat: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7) 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyãbihãt, maka merekalah orang-orang yang Allah namai dalam ayat tersebut – fî qulûbihim zaigh – di dalam hati mereka condong kepada kesesatan, maka jauhilah. Muslim.[21]
Di hadits lain Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan untuk mencari-cari fitnah dari hal-hal yang mutasyãbih, tujuan mereka hanya untuk saling mendebat, maka jangan kalian duduk bersama mereka.[22]

Kemudian alasan mereka yang berpendapat bahwa wawu 'athaf, di karenakan ada hadits dari Nabi saw, ketika beliau saw ditanya tentang ciri-ciri arrâsikhûn, beliau saw menjawab: “Mereka yang baik budi pekertinya, selalu benar dalam ucapannya, konsisten dalam perbuatannya, suci hatinya, menjaga perut dan kemaluannya (dari hal-hal yang syubhat apalagi yang haram), maka mereka-lah ar-râsikh fil 'ilm.[23]

Jadi, yang mengetahui ayat-ayat yang mutasyãbih tentu orang-orang yang suci. Akan tetapi setiap permasalahan, tidak terlepas dari pertanyaan "siapa?".

Yang menarik untuk dijadikan pengetahuan, yang harus kita hargai pendapatnya, mereka dari kalangan Syi'ah moderat[24] berpendapat, bahwa mayoritas ulama mereka menafsirkan "wawu" tersebut huruf 'athaf. Tentu kita bertanya: siapa yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat selain Allah swt menurutnya?
Ahli Tafsir legendaris mereka 'Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai dalam kitabnya al-Qur'an fil Islam bab muhkam dan mutasyabih,[25] mereka yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyãbihat adalah mereka yang tercantum di dalam Qs. Al-Waqi'ah: 79.
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنََ

Al-muthahharûn menurut mereka bukan dituju kepada orang-orang yang suci karena berwudhu. Mereka menafsirkan al-muthahharun adalah orang-orang yang disucikan (isim maf'ul). Alasan mereka adalah dikarenakan al-Qur'an al-Karim merupakan kitab yang suci, maka yang harus mengetahui kandungan isinya yaitu orang-orang yang suci, tidak boleh orang-orang yang kotor dan yang berdosa. Kita selalu bertanya: "siapa lagi menurut mereka orang-orang yang disucikan?

Karena sebaik-baik cara untuk mengetahui al-Qur’an adalah dengan al-Qur’an itu sendiri. Karena al-Qur’an itu sendiri merupakan satu kesatuan yang isinya saling berhubungan antara satu ayat dengan lainnya, serta saling menafsirkan.

Ketika mereka mendapatkan pertanyaan: “Siapa orang-orang yang disucikan? Mereka menjawab terdapat di Qs. Al-Ahzab: 33 "Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala noda (dosa) dari kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan sesuci-sucinya.
Berdasarkan riwayat dari 'Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa'id al-Khudri, Anas ibn Malik, ayat ini turun untuk Rasulullah saww. Imam 'Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husein.[26]

Muhammad ibn Ya'qub meriwayatkan dengan sanad yang tersambung sampai Imam Ja'far as-Shadiq as.[27] Imam Ja'far berkata: "Kami adalah orang-orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati, dan kami adalah orang-orang yang mendalam ilmunya (râsikhûna fil ilm) dan kami juga termasuk orang-orang yang dihasudi……"[28]

Muslim dalam shahihnya meriwayatkan, Nabi saww. meninggalkan dua pusaka untuk umatnya agar selamat dan tidak tersesat, yaitu al-Qur'an dan keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri: Pada suatu hari Rasulullah saww. berdiri di hadapan kita di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau bersabda: Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku hanya seorang manusia, aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dan aku tinggalkan kepada kalian ats-tsaqalain (2 pusaka), yang pertama al-Qur'an, didalamnya terdapat petunjuk, maka perpegang teguhlah kalian. Lalu beliau menganjurkan agar berpegang teguh dengan al-Qur'an, kemudian beliau melanjutkan: dan ahlu baitku; kuperingatkan kalian akan Ahlu Baitku. (beliau ucapkan tiga kali).[29]

Jadi, mereka mazhab Syi'ah lebih mengambil jalan aman, karena di samping Rasul meninggalkan al-Qur'an – apalagi pada waktu itu al-Qur'an belum terkodifikasi – beliau juga meninggalkan orang-orang yang lebih faham, yaitu keluarganya yang Allah swt sucikan; bukan hanya ayat-ayat mutasyabihat, bahkan seluruh isi kandungan al-Qur'an Ahlul Bait mengetahuinya.
Sebagaimana ucapan Imam Syafi'i ra.: "Shâhibul baiti adrό" (tuan rumah lebih mengetahui).[30] Dengan mengenal pribadi-pribadi yang maksum, kita juga tidak sembarangan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena betapapun pandainya seseorang menafsirkan ayat al-Qur'an mereka juga termasuk: "wamâ ûtîtum minal ilmi illâ qalîlan". Dan tidaklah Aku berikan ilmu kepada kalian melainkan sedikit.[31]
Selesai sudahlah makalah ini, mudah-mudahan menjadi bahan pengetahuan, apalagi menambahkan ketaatan kita kepada Allah swt. tentu kita tidak mau menjadi orang-orang yang Allah cantumkan dalam firman-Nya:
عَامِلَةٌ نَاصِبَة. تَصْلَى نَارًا حَـامِيَة.
"Beramal dengan kelelahan. nanti mereka masuk neraka hamiyah".


Bibliografi
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Al-Qur'an fil Islam
3. Tafsir Qummi
4. Ulum al-Qur'an
5. Tafsir al-Mishbah
6. Tafsir ats-Tsauri
7. Tafsir al-Mawardi
8. Tafsir al-Qur'an
9. Tafsir al-Qurthubi
10. At-Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari'ah wal Manhaj
11. Jami' al-Bayan
12. Ad-Durrul Mantsur
13. Ahkam al-Qur'an
14. Ma'ani al-Qur'an
15. Terjemah Mabâhits fii ulum al-Qur'an
Hadits
1. Shahih Muslim
2. Shahih Turmudzi
3. Musnad Ahmad
4. Mustadrak al-Hakim
5. Khasâis Amiril Mukminin
6. Al-Mu'jam Shaghir
Lain-lain
1. Kamus al-Kautsar Arab - Indonesia
2. al-Mufradat al-Ashfahani
3. Itmâm ad-Dirâyah li Qurrâ an-Nuqâyah
4. Encyclopedia Britanica

[1] Encyclopedia Britanica, jilid 15 hal. 898
[2] Prof. Philip K. Hitty, guru besar di Universitas Brenston.
[3] Sayyid Muhammad Baqir Hakim, ulum al-Qur'an hal. 165.
[4] Idem.
[5] Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, terjemahan dari Mabahits fi ulum al-Qur'an. Hal. 264.
[6] Husein al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab – Indonesia, hal. 186 cet. Yayasan Pendidikan Islam - Bangil
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, tafsir Qs. Ali Imran: 7
[8] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 235; Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur juz 2 hal. 4; Sufyan ats-Tsauri, Tafsir ats-Tsauri halaman 75; al-Jasshos, ahkam al-Qur'an juz 2 hal. 3
[9] An-Nukat wa al-'uyun Tafsir al-Mawardi, juz 1 hal. 369 - 370 cet. Dar al-Kutub – Beirut.
[10] Idem.
[11] Dalam Qs. 2:235 dan Qs. 2:237
[12] Qs. 2:228
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah 1/456
[14] Abdurrahman ash-Shan'ani, Tafsir al-Qur'an juz 1 hal. 115.
[15] An-Nuhasi, Ma'ani al-Qur'an juz 1 hal. 344
[16] Mufradat al-Ashfahani bab "ha (kecil)" halaman. 127
[17] Mufradat al-Ashfahani bab "Syim" halaman 255
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi juz 4hal. 9-10
[19] Ust DR. Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa as-Syari'ah wa al-Manhaj. Juz 3 hal. 154
[20] Idem.
[21] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 4 hal. 9; ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243
[22] Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243.
[23] Ibn Jarir at-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 252.
[24] Karena mazhab yang satu ini terpecah, yang kami maksud adalah Syi'ah Imamiyyah – yang mempunyai 12 orang Imam; Imam 'Ali ibn Abi Thalib, al-Hasan, al-Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far as-Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali ar-Ridha, Muhammad al-Jawwad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan keyakinan mereka bahwa yang ke 12 adalah Imam al-Mahdi sudah lahir dan di ghaibkan oleh Allah swt.
Syi’ah menganggap 12 orang tersebut sebagai Imam, Khalifah, atau Amir setelah Nabi saww, karena bersumber dari Shahih al-Bukhari juz 9 hadits: 101 ktb al-Ahkam bab al-istikhlaf; shahih Muslim juz 3 hadits: 1452, riwayat dari Jabir ibn Samurah. Syarat Imam harus maksum; lihat Qs. 2:124
[25] Cetakan Jam'iyyah al-Ijtima'iyyah Kuwait – Beirut.
[26] Shahih Muslim kitab Fadhail as-Shahabah bab fadhail Ahli bait an-Nabi juz 2 hal. 368 cet. Isa al-Halaby; juz 15 hal. 194 Syarah an-Nawawi cet. Mesir; Shahih Turmudzi juz 5 hal. 30 cet Dar al-Fikr; Musnad Ahmad juz 5 hal. 25 cet. Dar Ma'arif – Mesir; Mustadrak al-Hakim juz 3 hal. 133, 146, 147, 158; juz 2 hal. 416; al-Mu'jam Shaghir juz 1 hal. 65 dan 135; an-Nasai, Khasa'ish Amirul Mu'minin hal. 4 cet at-Taqaddum al-ilmiyyah – Mesir; hal. 8 cet Beirut; hal. 49 cet. Al-Haidariyyah.
[27] Imam ke 6 Mazhab Syi'ah Imamiyah. Ia putera Imam Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Fathimah binti Rasulullah saww.
[28] 'Ali ibn Ibrahim, Tafsir Qummi juz 1 hal. 96.
[29] Bab Fadhail Ali ibn Abi Thalib juz 2 hal. 362; cetakan yang bersama Syarahnya juz 15 hal. 180.
[30] Jalaluddin as-Suyuthi, itmam ad-Dirayah li Qurra an-Nuqayah halaman 166.
[31] Qs. 17:85

1 komentar:

Anonim mengatakan...

makasih mas