Senin, 16 Maret 2009

Beberapa Tingkatan Maqâmât

Oleh: Achmad Zaenal Fikri

Taubat
Dalam bahasa Arab taubat adalah isim mashdar dari tâba – yatûbu artinya raja’a – yarji’i berarti kembali. Menurut istilah, arti taubat adalah kembali dari alam fisik (tabi’at) ke spiritualitas jiwa, setelah terbukanya fitrah dan ruh oleh gelapnya hawa nafsu karena dosa-dosa dan kedurhakaan.[1]
Mu’awiyyah ibn Wahab berkata: aku mendengar Imam Ja’far berkata: “Kalau seorang hamba menuju Allah dengan taubat yang tulus (tawbatan nashûha) maka Allah mencintainya dan menutupi (dosa-dosanya) di dunia dan di akhirat”. Aku berkata: Bagaimana Dia menutupinya? Imam menjawab: “Allah membuat lupa dua malaikat (yang bertugas mencatat amal perbuatan) apa yang telah dicatat keduanya mengenai dosa-dosanya. Lalu Dia menginspirasikan kepada anggota badannya (dengan kata-kata), “Sembunyikanlah dosa-dosa,” dan Dia menginspirasikan kepada tempat-tempat di bumi (dengan perkataan), “Sembunyikanlah dosa-dosa yang biasa dilakukannya di atasmu.” Lalu dia bertemu dengan Allah, pada saat dia bertemu Dia, dengan cara demikian rupa sehingga tidak ada yang dapat bersaksi bahwa dia telah berbuat dosa.”[2]
Syarat-syarat Taubat
Seseorang berkata: astaghfirullah, di depan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Kemudian Imam berkata kepadanya: “tsakalatka ummuk (Semoga ibumu berduka atasmu!) Tahukah kamu apa istighfar itu? Sesungguhnya istighfar adalah derajat illiyîn, dan ini merupakan sebuah kata yang berarti enam hal. Pertama, adalah menyesali masa lalu. Kedua, bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Ketiga, mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas di masa lalu) sehingga engkau bertemu dengan Allah swt. Dalam keadaan suci sedemikian, sehingga tidak ada yang dapat menuntutmu. Keempat, memenuhi setiap kewajiban yang pernah dilalaikan. Kelima, memebereskan daging tubuhmu yang membesar dengan rizki haram, sehingga daging itu meleleh akibat kesedihan dan kedukaan, dan sehingga yang tinggal hanyalah kulit yang melekat ditulang, yang setelah itu tumbuhlah daging baru di antara kulit dan tulang itu. Keenam, buatlah tubuhmu merasakan sakit ketaatan sebagaimana (kamu) merasakan senangnya berbuat dosa. Kalau engkau sudah melakukan keenam hal ini, barulah katakan: astaghfirullah.”[3]
Allah menjanjikan orang-orang yang benar-benar bertaubat, (tawbah an-nashûha), seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Ilâhî, kalbu-ku tertutup, jiwaku ternodai, akalku terkalahkan, sedangkan hawa nafsuku menang, (ya Allah) ketaatanku (kepada-Mu) sungguh sedikit, tapi maksiatku sungguh banyak, dan lidahku berlumur dosa, maka bagaimanakah daya upayaku wahai Yang Menutupi segala aib dan noda, wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib, wahai Yang Menyingkap segala duka, ampuni semua dosa-dosaku, demi kehormatan Nabi Muhammad dan keluarganya, wahai Yang Maha Pengampun, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha belas kasih dari para pengasih.[4]

Wara’
Menurut definisi ahli ma’rifat terkemuka, Khwajah ‘Abdullah Ansyari, wara’ adalah kehati-hatian yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah swt.
Tingkatan wara’
o Wara’ pada kalangan awam adalah meninggalkan dosa-dosa besar.
o Wara’ pada kalangan elit adalah berpantangan dari hal-hal yang syubhat, karena takut tergelincir ke dalam hal-hal yang haram.
o Adapun wara’ pada kalangan zahîd adalah berpantang dari hal-hal yang dibolehkan (mubah) demi menghindari beban tanggungan yang menyertainya.
o Wara’ pada kalangan ahli suluk adalah berpantang dari memandang dunia untuk mencapai pelbagai maqâm.
o Wara’ pada kalangan yang tertawan hatinya dalam wujûd Ilâhiyyah adalah melepaskan maqâm demi mencapai ambang pintu Allah dan menyaksikan keindahan-Nya.
o Yang terakhir, wara’ para wali Allah adalah menghindari perhatian pada tujuan-tujuan (ghâyât).[5]

Zuhud
Banyak orang yang salah mengartikan dari kata zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia atau anti dunia, sehingga terkesan orang yang zuhud (zâhid) berpenampilan pakaiannya compang camping, hidupnya dalam kemiskinan dan sebagainya. Arti yang sebenarnya adalah bahwa zuhud adalah sikap yang tidak meletakkan keduniaan di dalam hati pelakunya (zâhid). Para ahli hikmah (hukâmâ) banyak yang berkata: hub al-dunya ra’su kulli khathĩ’ah, (cinta dunia merupakan pangkal dari segala keburukan). Arti yang lain yaitu menghindarkan diri dari kemewahan duniawi, menguasai hawa nafsu dalam segala jenisnya.
Nabi saww. bersabda: tidaklah seorang yang zuhud melainkan Allah tumbuhkan di dalam hatinya sebuah hikmah yang dapat terucap melalui lisannya, ia melihat dunia noda dan (dengan zuhud itu), dapat menghantarkan (si zâhid) ke dâr as-salâm.[6]
Tingkatan Zuhud
Pertama, zuhud awam, yakni menahan diri dari segala larangan. Kedua, zuhud khawas, yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau tidak perlu. Ketiga, zuhud ‘arifin, yaitu meninggalkan segala sesuatu hal-hal yang dapat menghalangi untuk mengingat Allah.

Pernah suatu ketika untuk makan sahur, Ummu Kultsum[7] menawarkan dua potong roti untuk ayahnya, lalu Imam berkata: wahai putriku, mengapa dua potong roti, satu saja cukup bagi ayahmu, apakah engkau mau melihat ayahmu berdiri lama di pengadilan Allah, karena lamanya hisab?

Faqr
Secara umum berarti, belum mendapati kebutuhan pokok. Dan ini dalam hal sosial ekonomi. Tetapi dalam eksistensinya, seperti apa yang Allah firmankan dalam Qs. (35) Fathir ayat 15:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Fuqarâ adalah bentuk jama’ dari faqîr, berarti orang-orang yang (benar-benar) membutuhkan Allah swt. Pada hakikatnya semua manusia butuh kepada Allah, Allah yang memberikan segala nikmat kepada kita, dan Allah Maha Kaya, Dia tidak membutuhkan kepada siapapun, dan Dia Maha Terpuji. Kepada siapa lagi kita mengharap selain kepada Allah swt. Sabar Artinya konsisten dalam menjalani perintah dan menjauhi larangan Allah swt. serta dalam menerima segala cobaan. Imam al-Ghazali melihat dari sisi sifatnya, sabar ada dua jenis. Pertama, bersifat jasmani, yakni menyangkut ketahanan fisik dalam menjalani kesulitan dan penderitaan badan. Kedua, bersifat rohani, yakni kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan hawa nafsu.[8]
Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali, Rasulullah saww. bersabda: “Ada tiga macam sabar: pertama, sabar ketika menderita. Kedua, sabar dalam ketaatan. Ketiga, sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enma ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan ‘arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat yang lainnya, seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh arsy.[9]

Tawakkal
Secara harfiyah berarti pengakuan ketakmampuan seseorang dan penyandaran pada seseorang selain dirinya. Ittakaltu ‘alâ fulân fĩ amrin, (aku bersandar kepada seseorang dalam suatu masalah). Pengarang Manâzil as-Sâ’irĩn berkata: “Tawakkal berarti mempercayakan atau menyerahkan seluruh masalah kepada Sang Penguasa dan bersandar kepada kemampuan-Nya dalam menangani masalah-masalah itu.[10] Bisa juga berasal dari al-wakâlah, wakkala amruhu ilâ fulân, seseorang menyerahkan urusannya kepada si fulan.
Arti istilah yang lain adalah memantapkan hati untuk menyerahkan urusan hanya kepada Allah semata.[11]
Sebelum memasuki maqam ini, tawakkal, seseorang kembali ke pemurnian tauhid dahulu, tanpa landasan tauhid yang kokoh, bangunan tawakkal sia-sia belaka. Karena tawakkal juga adalah satu aspek dari unsur iman. Iman yang sempurna harus didasari ilmu.

Ridha
Maqam ridha lebih tinggi dan lebih bercahaya. Ini karena sementara mutawakkil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayakan seluruh urusannya kepada Allah swt. yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan, râdhi (orang yang telah mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang sâlik ditanya: “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab: “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak”. Yang dimaksudkannya adalagh maqam ridha.[12]
Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa maqam ridha berada di bawah maqam mahabbah dan di atas maqam sabar. Karenanya sabar yang continue dan sungguh-sungguh akan menghasilkan ridha.[13]

Taqwa
Amat banyak definisi taqwa. Menurut arti umum, taqwa adalah menjalani segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sayyid ‘Abdullah ibn ‘Alwi al-Haddad shâhib ar-Râtib, menambahkan; baik lahir maupun batin, disertai perasaan peangagungan, rasa takut, dan mengharap kepada Allah swt.[14]
Dalam kitab at-Ta’rifât karya ‘Ali ibn Muhammad al-Jurjani, mendefinisikan taqwa; ketaatan disertai dengan keikhlasan. Takutnya seorang hamba hanya kepada Allah. Menjaga adab-adab syari’at. Meninggalkan hal-hal yang dapat menjauhi dari Allah swt. Tidak melihat melainkan melihat Allah. Selalu melihat kebaikan pada diri orang lain. Meninggalkan hal-hal yang bukan untuk Allah. Yang terakhir, mengikuti Nabi saww. baik dari ucapan maupun perbuatannya.[15]
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata: Sesungguhnya orang yang bertaqwa itu akan merasakan kenikmatan dunia dan nikmat di akhirat kelak. Mereka juga menikmati dunia bersama pecinta dunia, sedang para pecinta dunia tidak akan bersama-sama mereka untuk merasakan kenikmatan akhirat.[16]
Mahabbah
Yakni, cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Menurut al-Ghazali, maqam ini adalah maqam tertinggi dari seluruh maqam yang telah dilalui sâlik, karena ia merupakan hasil kumulatif dari keseluruhan jenjang-jenjang sebelumnya. Oleh karena itu, orang yang telah mencapai pada maqam ini, ia merasakan lezat dan nikmatnya munajat kepada yang dicinta, yaitu Allah swt.
Beberapa faktor – menurut al-Ghazali – yang menyebabkan manusia mencintai Allah, pertama, secara naluriah manusia mencintai dirinya, selalu berupaya menyempurnakan dirinya, proses penyempurnaan ini akan berujung kepada mencintai Allah, karena manusia adalah karunia Allah. Kedua, manusia menyenangi orang yang suka menolong, sedangkan penolong yang paling sempurna adalah Allah Sang Maha Pengasih. Ketiga, perenungan akan kesempurnaan Allah swt. Keempat, adanya hubungan manusia dengan Allah, manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.

Ma’rifat
Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan langsung kepada Tuhan. Nampaknya ma’rifat lebih mengacu kepada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah kepada kualitas pengetahuan. Kualitas pengetahuan sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahui itu. Untuk mencapai kualitas tertinggi itu, seorang salik harus melakukan serial latihan keras dan sungguh-sungguh, yang disebut tasawuf amali.

[1] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 100 penerbit MIZAN.
[2] Ushûl Kâfi, al-Kulayni, kitab al-Ĩmân wa al-Kufr, bab at-Tawbah, hadits no. 1.
[3] Nahj al-Balâghah, Sayyid ar-Radhi. hlm. 549 hikam, no. 417 cet. Beirut 1387 H
[4] Do’a shobah Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib as. di waktu sujud. Dalam buku do’a harian, hlm. 84-85, cet. Zahra Publishing House.
[5] Memupuk Keluhuran Budi Pekerti, Imam Khomeini. halaman 23-24. Penerbit MISBAH
[6] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 20-21.
[7] Putri Imam ‘Ali ibn Abi Thalib kr. (anak ke-4) yang nama aslinya Zainab as-Sughra
[8] Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Prof. H. A. Rivavy Siregar. Hlm. 91. Penerbit Rajawali Pers.
[9] Ushûl al-Kâfi, bab “as-Shabr” hadits no. 15
[10] Khwajah ‘Abdullah al-Anshari.
[11] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 30
[12] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 50. penerbit MIZAN.
[13] al-Ghazâlî, al-Munqidz min adh-Dhalâl, cet. Cairo 1316 H.
[14] An-Nasâ’ih ad-Dîniyyah wa al-Washâya al-îmâniyyah. hlm. 8. Pustaka R & HD
[15] Halaman 65. cetakan Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah Beirut – Lebanon.
[16] Nahj al-Balâghah, Subhi ash-Shaleh, kitab 27, hal. 383.

Kamis, 12 Maret 2009

Asal-usul Tasawuf dan Kedudukannya dalam Islãm

a. Latarbelakang Tasawuf
Tasawuf dan Islãm tidak dapat dipisahkan. Seperti kesadaran secara tinggi atau kebangkitan pun tidak dapat dipisahkan dari Islãm. Islãm bukanlah fenomena sejarah yang berawal 1.400 tahun yang lalu melainkan kebangkitan yang abadi. Tasawuf merupakan jantungnya Islãm. Usianya setua masa bangkitnya kesadaran manusia.
Bangkitnya tasawuf dikarenakan adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan ajaran Islãm yang semakin meningkat, terutama yang dilakukan oleh penguasa masa itu. Para penguasa atau raja sering menggunakan nama Islãm demi untuk membenarkan tujuan mereka, membuang aspek-aspek ajarannya yang tidak sesuai dengan gaya hidup mereka yang royal. Sejak saat itulah sejarah mencatat kebangkitan, pembaruan dan militansi di banyak kelompok muslim yang ikhlas di seluruh dunia Islãm yang kian meluas. Mereka ingin mengembalikan risalah atau ajaran nabî yang suci dan murni. Ini merupakan kebagkitan spontan dari individu-individu yang menemukan sunnah nabî yang benar, yang diilhami oleh cahaya pemuasan batin.
Menurut Abul Qãsim Qusyairî, kaum sufi muncul di abad kesembilan, sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya nabi Muhammad saww. Lantas muncul pertanyaan, mengapa perlu waktu bertahun-tahun untuk sungguh-sungguh tertarik dengan ilmu kebatinan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita tengok pada awal abad ke tujuh. Di mana di tanah ‘Arãb terdapat sebuah masyarakat dan berbagai suku yang pecah belah yang selama berabad-abad terlibat dalam tradisi peperangan, penyembahan berhala, dan nilai-nilai kekuasaan lainnya. Meskipun orang ‘Arãb melakukan perdagangan di luar tanah ‘Arãb, namun pengaruh budaya lain pada mereka sangat sedikit. Maka oleh karena itu didapati beberapa kaum menjalani hidup dengan mengembara selama berabad-abad dengan sedikti mengalami perubahan. Mendadak, suatu “aroma nubuah dan cahaya kenabian” yang begitu menakjubkan terwujud di tengah-tengah mereka.
Selama 23 tahun nabî Muhammad saww. menyanyikan kebenaran untuk menyelamatkan umat manusia, mengajarkan hakikat kehidupan bagi mereka yang buta, memberikan kesadaran bahwa manusia lahir ke dunia untuk mempelajari jalan-jalan penciptaan seraya melakukan perjalanan kembali ke asalnya, Pencipta Yang Esa. Karena, meskipun pada hakikatnya manusia itu mempunyai kebebasan, ia diikat dan dibatasi oleh hukum-hukum lahiriah yang mengatur kehidupan.
Kebenaran abadi terus diserukan nabî, akan tetapi dibalas dengan intimidasi dan teror, hanya segelintir orang yang hatinya tulus mendukung. Penganiayaan terus terjadi, terpaksa sebagian merka hijrah mencari perlindungan. Sejarah mencatat hijrahnya Rasûl saww. ke Yastrib – sekarang Madãnah – pada tahun 632. Keberhasilan dakwah nabî saww. melihat Islãm semakin mendominasi tanah ‘Arãb, maka mereka semua masuk Islãm dalam jumlah ribuan. Sejarah terus ditulis oleh para ahli sejarah dan saya tidak mungkin menulisnya secara lengkap.
Ketika nabî meninggal, komunitas muslim yang baru mulai bermunculan. Akibatnya, berlangsunglah pemilihan yang terburu-buru dan tegang atas Abû Bakar sebagai pemimpin pertama komunitas tersebut.
Nabî saww. telah menyatakan dalam banyak kesempatan, kepada siapa kaum muslimin harus merujuk tentang segala perkara sepeninggal beliau saww, bak seorang dokter yang bertanggung jawab, ketika hendak cuti atau pensiun, memberitahu para pasien kepada siapa mereka harus merujuk bila tidak ada. Namun, timbul ketidaksepakatan mengenai apakah nabî telah menunjuk Imãm ‘Alî secara khusus sebagai pengganti beliau saww. – bukan pengganti sebagai nabî – atau tidak.
Kepemimpinan Abû Bakar berlangsung selama dua tahun yang di dalamnya tidak terlepas perselisihan internal. Setelah wafatnya Abû Bakar di tahun 634, ‘Umar yang telah ditunjuk oleh Abû Bakar sebagai wakilnya, menjadi pemimpin muslimin berikutnya. Sepuluh tahun memimpin terjadi ekspansi besar-besaran. Dari Mesir, Persia, dan Empirium Bizantium ditaklukan, termasuk Yerusalem. ‘Umar dibunuh oleh seorang budak Persia – Abû Lu’lu – tahun 644.
Pemimpin berikutnya, ‘Utsmãn, diangkat oleh ‘Umar untuk sekelompok orang yang telah ditunjuk oleh ‘Umar. ‘Utsmãn memimpin selama dua belas tahun, banyak kaum muslimîn yang benar-benar kembali ke cara hidup jahiliyah. ‘Utsmãn dibunuh pada tahun 656.
Di zaman Imãm ‘Alî – berlangsung enam tahun – banyak kaum muslimîn yang hanya mengaku sebagai muslim, mereka tidak meresapi jalan hidup Islãm. Tiga peperangan besar terjadi di masa itu. Jamal, Shiffîn (tahun 657), dan Nahrawãn. Imãm ‘Alî ditikam secara mematikan ketika sujud dalam shalat.
Banyak kiranya lembaran-lembaran hitam sejarah pasca nabî Muhammad saww. Hingga kekuasaan beralih monarki yang absolut. Padahal tidak ada sabda nabi tentang sistem monarki. Sampai meletusnya perang yang tidak seimbang, Imãm Husein ibn ‘Alî diundang ke Karbalã dan dipaksa untuk membai’at Yazîd ibn Mu’ãwiyah, hingga kisah ini menyayat hati kaum muslimîn.
Muncullah sang sufi sejati, putra dari al-Husein ibn ‘Alî, yaitu ‘Alî Zainal ‘Ābidîn, yang terkenal sayyid as-sãjidîn, ¬pemuka orang-orang yang sujud. Warisan intelektual dan spiritual Imam yang paling popular adalah ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Do’a-do’a dan munajat yang terkandung dalam gita suci ini tak lain berasal dari ungkapan-ungkapan spontan Imam ihwal berbagai pengalamn batin yang dilaluinya.
Satu kisah yang disaksikan Ibn Thawus merupakan gambaran keagungan hati Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin; “Saya perbah melihat ‘Ali Zainal ‘Abidin bertawaf mengelilingi Ka’bah sejak isya hingga menjelang sahur. Setelah itu beliau melakukan berbagai ibadah lain. Ketika sudah tidak ada seorang pun di sekitarnya, ia mulai menatap langit, mengadahkan tangannya lalu berdo’a: “Tuhanku, berkelip-kelip sudah bintang-gemintang di langit-Mu, terpejam sudah mata para hamba-Mu, dan telah terbuka lebar pula berbagai pintu-Mu, aku dating kepada-Mu agar Engkau sudi mengampuniku, merahmatiku, dan menampakkan wajah kakekku Muhammad saww. Kelak di hari kiamat”.
Sesudah itu beliau menangis tersedu-sedu, lalu kembali berdo’a: “Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, kemaksiatanku sekali-kali tidak untuk menentang-Mu. Ketika aku bermaksiat kepada-Mu, maka itu bukan karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku tidak tahu bencana (akhirat)-Mu atau menantang siksa-Mu. Tetapi hal itu semata-mata karena aku digelincirkan oleh diriku. Karena itu, berilah aku pertolongan untuk menghadapi semua ini, melalui penutup-Mu yang member ketentraman hati. Siapa kelak yang bakal menyelamatkanku dari siksa-Mu? Dengan tali apa aku harus berpegang bila Engkau putuskan tali-Mu? Oh, alangkah buruk nasibku ketika kelak berdiri di hadapan-Mu. Alangkah sialnya aku bila umurku panjang tapi dosaku bertumpuk, sementara aku tidak pernah bertobat kepada-Mu. Tidakkah aku akan sangat malu pada-Mu, Tuhanku?”
Tangisannya semakin menjadi-jadi ketika beliau melanjutkan: “Apakah Engkau akan membakarku dengan api neraka, wahai puncak segala harapan? Jika memang demikian, di manakah Harapanku dan di mana pula Kekasihku? Aku datang (kepada-Mu) dengan amal yang buruk dan penuh dosa. Di persada ini tiada yang begitu berdosa seperti aku”.
Sambil terus bercucuran air mata, beliau bertutur: “Mahasuci Engkau! Engkau dimaksiati seakan-akan Engkau tidak tampak, sementara kasih sayang-Mu berupa perbuatan-perbuatan baik-Mu kepada para hamba tidak pernah terhenti, seakan-akan Engkau tak pernah dimaksiati. Seolah-olah Engkaulah yang membutuhkan mereka, padahal Engkau, wahai Junjunganku, sama sekali tiada membutuhkan mereka”.
Sebentar kemudian beliau tersungkur ke tanah dalam keadaan sujud. Pelan-pelan aku mendekatinya dan mengangkat kepalanya untuk kuletakkan di pangkuanku. Aku pun hanyut dalam tangis, sampai-sampai air mataku membanjiri pipinya. Beliau duduk dan berkata:
“Siapakah gerangan yang mengganggu dzikirku ini?”
“Saya Thawus, wahai putra rasulullah,” jawabku.
“Duhai, apa yang membuat tuan sedemikian prihatin dan bersedih seperti ini? Kamilah yang melakukan semua ini, lantara kami adalah orang-orang yang bermaksiat dan berdosa. Sedangkan tuan adalah ‘Ali Zainal ‘Abidin, ayah tuan adalah al-Husein ibn ‘Ali, cucu Rasulullah, nenek tuan adalah Fathimah az-Zahra. Dan ayah nenek tuan adalah Rasulullah saww.”
Sembari menatapku beliau berkata:
“Sudahlah Thawus………sudahlah. Jangan kau bawa-bawa ayah, ibu, dan kakekku. Sebab, Allah menciptakan surga bagi para pelaku kebaikan, sekalipun dia negro dari Habasyah. Dan menciptakan neraka bagi para pelaku kemaksiatan, sekalipun dia orang Quraisy. Tidakkah engkau mendengar firman Allah swt. yang berbunyi:
Apabila sangkakala telah ditiup, maka tiada lagi pertalian nasab di antara mereka, dan tiada pula mereka akan saling menyapa. (al-Muminun: 101)
“Demi Allah, tiada yang bermanfaat bagimu kelak kecuali amal salehmu sendiri.”
Dua puluh tahun menangisi ayahnya. Pernah suatu hari ada yang menasehati tentang keadaan yang terus menerus menangis, Imâm ‘Alî Zainal ‘Ābidîn menjawab: “Ya’qūb adalah seorang nabî, anaknya, Yūsuf juga nabî, Ya’qūb menangisi anaknya sampai matanya buta, sedangkan aku, aku melihat sendiri ayahku, paman-pamanku dibantai dihadapanku, setiap aku melihat bibi-bibiku, aku teringat berlariannya mereka dari kemah ke kemahnya yang dibakar, bagaimana mungkin kesedihanku bisa berakhir”.
Selain para pemuka mistisisme dari kalangan keluarga nabî sendiri, banyak dari mereka juga yang bertemu langsung dengan Ahlulbait, seperti Hasan al-Bashrî, termasuk tokoh sufi klasik yang dilahirkan pada 26 H dan meninggal pada 110 H telah menulis kitab berjudul Ri’âyah Huqūqillah, sebagai kitab suluk yang pertama dalam dunia sufi.
Jadi, latar belakang yang membuat munculnya dunia tasawuf, adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan dalam ajaran-ajaran Islâm yang terjadi dilingkungan penguasa masa itu.

b. Kedudukannya dalam Studi Agama Islâm
Tasawuf merupakan ilmu yang memusatkan studi dalam bidang akhlâk, baik lahir maupun batin. Seperti yang telah kami singgung, bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari Islâm. Setelah manusia mengenal Allah, mengetahui beban taklif dalam beribadah menyembah terhadap-Nya, terakhir, dia mesti memperbaiki akhlâk, baik terhadap manusia maupun terhadap Sang Pencipta, terutama terhadap Allah. Karena bagaimanapun kita hidup lama di dunia, kita pasti akan kembali keharibaan Allah swt.
Firman Allah: “wahai manusia, sesungguhnya kamu sedang bekerja (beramal) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. (Al-Insyiqâq: 6)
Allah swt. mempunyai nama-nama, biasa disebutnya asmâ al-Husnâ. Dari banyaknya asmâ al-Husnâ-Nya tersebut dibagi dua macam: 1.) Jamâl (keindahan) dan 2.) Jalâl (kebesaran). Nama-nama Allah swt yang masuk dalam kategori Jamâl, seperti; ar-Rahmân, ar-Rahîm, al-Ghafūr (Maha Pengampun), dll. Sedangkan nama-nama-Nya yang masuk dalam kategori Jalâl, seperti; al-Jabbâr (Maha Memaksa), al-Muntaqîm (Maha Membalas), dll.
Para mutashawwifîn atau ‘urafâ, sangat menginginkan kembali keharibaan-Nya ke asma-Nya yang Jamâl, karena mereka mengetahui hakikat kedekatan diri kepada Allah.
Tulisan ini kami tutup dengan ucapan Amîrul Mukminîn Imâm ‘Alî ibn Abî Thâlib: “Manusia beribadah kepada Allah swt. terbagi tiga kategori: pertama, mereka yang beribadah karena takut kepada neraka, merekalah ibadahnya budak (‘ibâdah al-‘abîd). Kedua, mereka yang beribadah menyembah Allah karena mengharap keuntungan, merekalah ibadahnya pedagang (‘ibâdah at-tujjâr). Ketiga, mereka yang menyembah bersimpuh karena kecintaan mereka kepada Allah, mereka tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang Tuhan-Nya, merekalah para pecinta Allah (‘ibâdah al-muhibbîn)”.

Nikah Beda Agama dalam Tafsir al-Manar

A. Mukaddimah
Allah Yang Maha Bijaksana telah meletakkan keinginan dan naluri yang beraneka ragam dalam diri manusia, sehingga dengan perantara itu ia dapat menyempurnakan kehidupan material dan spiritualnya. Yang penting di antara naluri-naluri itu harus terdapat keseimbangan, sehingga tidak ada dominasi satu atau beberapa naluri terhadap naluri-naluri fitri yang lain. Jika tidak demikian, manusia akan mengalami stagnasi dalam rangka mewujudkan pengembangan diri yang menyeluruh dan ia tidak akan dapat menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Menurut terminologi para ulama etika, agama Islam yang suci menginginkan penyeimbangan seluruh fungsi naluri manusia, bukan menonaktifkan seluruh fungsinya. Di antara faktor utama pengontrol naluri adalah pernikahan dan pembentukan keluarga.
Pernikahan akan memberikan arti kepada kehidupan. Seorang pemuda yang datang melamar seorang gadis, ia akan ditanya, “Apakah engkau berani menghadapi kehidupan?”. Pertanyaan ini artinya, apakah ia memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab?
Jadi, pernikahan bukan hanya sekedar sarana untuk membebaskan diri dari kesendirian, bahkan ia merupakan jalan untuk mencapai kesehatan, kebersamaan, dan kesatuan naluri. Dan ini adalah yang paling penting.
Akhir-akhir ini, kegiatan nikah beda agama banyak terjadi, terutama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ulama dan fuqahâ. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Kontroversi itu semakin gencar ketika munculnya isu adanya kekosongan hukum di Indonesia mengenai kawin beda agama. UU. No. 1/ 1974 tentang Perkawinan dianggap tidak lengkap, karena tidak memuat pasal-pasal tentang itu. Bahkan, Kantor Catatan Sipil bersikeras menolak melaksanakan perkawinan semacam itu, karena dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Betulkah terjadi kekosongan hukum di Indonesia? Akan tetapi penulis mencoba melihat dari pendapat Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam karya tafsîr legendarisnya, al-Manâr.

B. Latarbelakang Sosial – Intelektual Rasyîd Ridhâ.
Sayyid Muhammad Rasyîd ibn ‘Alî Ridhâ ibn Syamsuddîn bin Bahâ’uddîn al-Qalmūnî al-Baghdâdî al-Husainî, namanya. Bangsawan ‘Arâb yang memiliki garis keturunan langsung dari Imâm al-Husein ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib as. Ia lahir pada 1865 M. Gelar sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridhâ dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh. Salah seorang kakek Rasyîd Ridhâ bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara' sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyîd Ridhâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrâhîm Ahmad al-Adawî: Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka.
Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara. Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttâb, Ridhâ dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidâiyyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, aqîdah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Utsmâniyyah. Ridhâ tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa ‘Arâb sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manâr. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyĩd Ridhâ juga belajar dari Syaikh Mahmũd Nasyabah yang ahli di bidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridhâ mampu menilai hadits-hadits yang dha’ĩf dan maudhũ’ sehingga dia digelari " Voltaire "-nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
Voltaire (1694-1778 M) adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M.
Ridhâ juga belajar dari Syaikh Abdul Ganĩ ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadits Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukanĩ yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyyah), al-Ustadz Muhammad al-Huseini, Syaikh Muhammad Kâmil ar-Rafi dan Ridhâ selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushũl dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita: Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun. Ridha menulis dalam buku hariannya: Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya. Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridhâ menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi.
Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihyâ ‘Ulũmiddĩn karya Imâm al-Ghazâlĩ yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya. Majalah al-Urwah al-Wutsqâ yang diterbitkan oleh Jamâluddĩn al-Afghânĩ dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyĩd Ridhâ dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.



C. Corak dan Metode Tafsir al-Manar.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 M dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barâkah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah. Ridhâ sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kassyâf karya az-Zamakhsyarĩ adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridhâ terjadi pada tahun 1894 M, juga di Tripoli dan kali ini Rasyĩd Ridhâ menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 M di Kairo - Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyĩd Ridhâ mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama. Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manâr dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridhâ.
Al-Manâr sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 M berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia. Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewujudkan Madrasah Dâr ad-Da'wah wa al-Irsyâd, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Tafsĩr al-Manâr yang bernama Tafsĩr al-Qur’ân al-Hakĩm memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahĩh dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syar’iyyah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'ân sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâluddĩn al-Afghânĩ, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manâr yang dipimpin oleh Ridhâ. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fâtihah sampai surah an-Nisâ ayat: 125 kemudian Ridhâ selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân sendirian sampai dengan ayat: 52 surah Yũsuf (penafsiran Ridhâ sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya di bidang hadits dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah. Di sisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadits-hadits yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadits Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau, Hisyam, salah seorang perawi hadits ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadits itu pada A'war al-Mashish.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami' al-Bayân fĩ Tafsir al-Qur'ân, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafâtih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kassyâf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwâr at-Tanzĩl wa Asrâr at-Ta'wĩl, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Rũh al-Ma’ânĩ serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsũr. Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur'an sebagai isyarat pembenar. (detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174). Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar - masih menurut beliau - berusaha menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ridhâ wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia) dari kota Suez - Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya: Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
D. Mengenai Nikah Beda Agama.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya memuat berbagai persoalan dalam hidup dan kehidupan ini. Hukum perkawinan beda agama, secara literal ditemukan dua buah ayat yang membicarakannya, yaitu Surat al-Baqarah: 221 dan Surat al-Mâ’idah: 5.
                               •     •      ••   
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

 •                                             
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.

Asbâb an-Nuzũl ayat yang disebutkan pertama di atas, Riwayat dari Ibn Mundzir, Ibn Abu Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil dia berkata: ayat ini – (2: 221) – turun mengenai Ibn Abi Marstadi al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi saww. untuk mnegawini seorang wanita cantik lagi musyrik, maka turunlah ayat tersebut.
Suyuthi dalam Asbâb an-Nuzũl-nya menyebutkan bahwa ayat:   al-Wahidi meriwayatkan melalui jalur as-Sadyu dari Abu Malik kemudian dari Ibn Abbas dia berkata: ayat tersebut dituju untuk Abdullah ibn Ruwahah yang memiliki budak perempuan hitam, Abdullah marah kemudian menamparnya, maka Ibn Ruwahah dihinggapi rasa takut, kemudian Nabi saww. datang memberikan kabar: aku akan memerdekakan dia dan aku akan menikahi dia. Maka Nabi saww. melakukan kemudian orang-orang mencela Nabi, mereka berkata: dia (Nabi saww.) menikahi seorang budak, maka turunlah ayat tersebut. Rasyid Ridha menilai riwayat di atas ini, melalui Ibn Jarir bahwa periwayatan as-Sadyu terputus.
Ayat yang disebutkan pertama di atas, menimbulkan dua konsekuensi hukum, yaitu larangan lelaki muslim mengawini wanita musyrik dan larangan wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik. Adapun yang disebutkan kedua, menimbulkan konsekuensi yang membolehkan lelaki muslim mengawini wanita ahlul kitab.
Mengenai musyrik pada ayat pertama di atas, menurut Ibn Jarir Thabari adalah para penyembah berhala-berhala di kalangan orang-orang ‘Arab yang hidup pada masa Nabi saww.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud orang-orang musyrik perempuan – di dalam ayat 221 surah al-Baqarah – bukan wanita-wanita ahlul kitab dari wanita-wanita ‘Arab. Akan tetapi sebagian mereka berpendapat bahwa orang-orang musyrik itu mencakup ahlul kitab, karena sebagian mereka – ahlu kitab – ada yang musyrik.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita-wanita musyrik merekalah wanita-wanita ‘Arab yang tidak mempunyai kitab. Karena yang demikian itu, al-Qur’an memperkenalkan mereka melalui ayat 105 surat al-Baqarah:
•          •                 
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dan ayat 1 surat al-Bayyinah:
            
Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,

Adapun tentang surat al-Ma’idah ayat 5 turun setelah surat al-Baqarah; karena itu yang berpendapat bahwa lafazh; musyrikât itu mencakup kitâbiyyât, dan ayat tersebut di surat al-Ma’idah menghapus ayat yang di surat al-Baqarah. Sebagian mufassir, sebaliknya, bahwa ayat 221 surat al-Baqarah menghapus ayat 5 dari surat al-Ma’idah.
Mengenai konsekuensi pada ayat kedua di atas, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama salaf tidak membolehkan lelaki muslim mengawini wanita non-muslim secara mutlak, sedangkan sebagian yang lainnya membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan wanita Majusi.
Dalam hal mengawini wanita bukan musyrik dan bukan pula ahlul kitab, seperti; Majusi, Shaib, Hindu, Buddha, Shito, dan Konfutze, al-Qur’an berdiam diri.
Hal ini menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak? Menurut ath-Thabari, mereka itu digolongkan sebagai ahlul kitab, karena menganut faham tauhid (mengesakan Tuhan). Bahkan, menurut data sejarah, mereka mempunyai rasul dan kitab suci (tergolong agama samawi).
Pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha:
Sayyid sependapat dengan ath-Thabari di atas. Beliau menegaskan bahwa untuk kepentingan politik dan penyebaran Islam, dibolehkan mengawini wanita-wanita non-muslim secara mutlak untuk menjadikannya muslimah. Tetapi sebaliknya, dengan alasan sad al-dzari’ah, tidak dibenarkan pria muslim yang lemah akidahnya untuk mengawini wanita non-muslim, khususnya wanita-wanita Eropa saat ini.
Komentar Penulis:
Memilih pasangan dalam hidup berumah tangga merupakan batu pertama pondasi suatu bangunan, ia harus kokoh dan kuat, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak.
Dalam uraiannya tentang makalah ini, penulis menggarisbawahi, bahwa anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya, berbeda dengan lalat atau serangga yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang hanya membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga ia mencapai usia remaja. Berapa tahun ia akan dibimbing oleh orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau bapaknya musyrik? Kalaupun sang anak kemudian beriman, dapat diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang tuanya di masa kecil. Karena itu Islam melarang perkawinan tersebut.




Daftar Pustaka:
- Tafsir al-Manar, cetakan Dar al-Fikr Beirut
- Kotektualitas al-Qur’an, karya: Prof. Dr. Umar Shihab, MA
- Rasionalitas al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Terbitan Lentera Hati, Edisi Baru Cetakan 1 April 2006 M

Jumat, 09 Januari 2009

ASYURA KAPAN SAJA, KARBALA DIMANA SAJA

Oleh: Ustadz Husein Shahab. MA

Bismillâhir Rahmânir Rahîm Alhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn. Allâhumma shalli ‘ala Muhammadin wa ali Muhammad. Shallallâhu ‘alaika ya Ibna Rasulillah Shallallâhu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah Shallallâhu ‘alaika ya Sayyidas Syuhada’ Shallallâhu ‘alaika ya Husain ibna ‘Alî wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Salam sejahtera bagimu wahai pejuang agung Karbala. Salam sejahtera bagimu wahai pahlawan Islam nan mulia. Salam sejahtera bagimu wahai penyuluh perjalanan umat manusia. Semoga Allah menjadikan kami orang-orang yang dapat meneruskan jejak langkahmu. Dan memperoleh syafaatmu kelak berkat wilayahmu

KARBALA seperti kata sebuah riwayat adalah rangkaian dari dua kata “karbun” dan “bala’”, yang artinya adalah kesedihan dan derita.

Karbala adalah syiar jihad keluarga Nabi yang mulia di dalam menegakkan kalimat al-haq.
Karbala adalah simbol perjuangan Ahlul Bait Nabi dan para pengikutnya di dalam upaya memisahkan antara Islam Muhammadi dan Islam Umawi.

Keagungan peristiwa Karbala dengan jelas terbukti melalui kehadiran Imam Husain as. beserta sejumlah keluarga dan sahabatnya di sana dalam rangka menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.

Bukankah Husain bin ‘Alî as. adalah manusia surga seperti yang disabdakan oleh datuknya, Nabi saw, “Innal Hasan(a) wal Husain sayyida syabâb ahlil jannah…” “Sungguh, Hasan dan Husain adalah dua penghulu pemuda surga…”

Bukankah Husain termasuk dalam golongan Ahlul Bait Nabi yang disebutkan berkali-kali dalam al-Quran; dan bahkan dalam salah satu sabdanya Nabi berkata, “Anâ silmun liman sâlamtum, wa harbun liman hârabtum”, bahwa aku akan damai dengan siapapun yang berdamai dengan kalian, dan juga akan perang dengan siapapun yang perang dengan kalian.

Bukankah Husain adalah orang yang disabdakan Nabi, “Man ahabbanî wa ahabba hadhaini wa abâhuma wa ummahumâ kâna ma’î fil jannah”, bahwa siapa yang cinta kepadaku dan cinta kepada kedua orang ini (Hasan dan Husain) serta kedua ayah dan ibunya maka dia akan bersamaku di surga.”

Dalam riwayat Asma’ binti ‘Umais dikisahkan bahwa suatu hari Nabi saw sedang memangku Husain as yang masih bayi. Kemudian Nabi menangis sambil memandangi wajah Husain as. Asma’ bertanya, “Ya, Rasulullah! Ayahku dan ibuku adalah tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi sehingga kau menangis ketika memandang wajah putramu Husain?”
“Wahai Asma’!” Sahut Nabi berlinang air mata. “Anakku ini kelak akan dibunuh oleh sekelompok umatku yang zalim. Sungguh, aku tak berkenan memberi mereka syafaat kelak di hari kiamat…”

Umat yang disebut oleh Nabi sebagai al-fi’atul bâghiyah atau umat yang zalim ini adalah musuh-musuh Husain yang memerangi beliau dan 72 sahabat serta belasan Ahlul Baitnya di sebuah padang sahara yang bernama padang Karbala. Pasukan mereka dipimpin oleh Ibnu Ziyad dan Umar bin Sa’ad atas perintah Yazid bin Muawiyyah ‘alaihil la’nah dengan jumlah pasukan sekitar 30.000 orang.

Karbala adalah saksi hidup makna pengorbanan kepada agama Allah. Semua pejuang Karbala mulai dari Imam Husain yang paling suci sampai kepada anak-anak karbala yang tak berdosa, semuanya berkorban demi tegaknya agama Allah Swt. Husain menjelaskan perjuangannya menentang kezaliman Yazid dan kemunkaran-kemunkaran yang dilakukannya:
“Kami adalah keluarga Nabi. Tambang Risalah. Tempat kunjungan para malaikat dan pusat rahmat Ilahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at.”

Dalam pandangan Imam Husain, keluarga Nabi yang suci yang merupakan kriteria kebenaran tidak boleh dicampuradukkan dengan kebatilan yang yang dibawa oleh Yazid. Islam Muhammadi harus dipisahkan dengan Islam Umawi. Nabi Muhammad harus dibedakan dengan Abu Sufyan. ‘Alî tidak boleh digandengkan dengan Muawiyyah. Husain tidak boleh dipolusi dan dinodai oleh orang seperti Yazid. Umat harus diselamatkan dari pengkaburan ideologi dan akidah seperti yang dikehendaki oleh Yazid dan orang-orangnya.
Husain berkata lagi:

“Ayyuhannas. Dengarlah kata-kataku dan janganlah kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washy-nya dan orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw? Bukankah Sayyidina Hamzah penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar yang memiliki dua sayap di surga adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa kami adalah penghulu pemuda surga?”

“Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan keangkuhan dan mencari perang. Sungguh aku keluar ke sini untuk mencari ishlah demi kepentingan umat datukku Muhammad saw. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku ‘Alî al-Murtadha…”

Pidato panjang Husain di Karbala menjelaskan kepada kita betapa suci perjuangannya itu. Beliau ingin menjunjung tinggi agama Allah dan ajaran datuknya, Muhammad saw. Beliau siap untuk berkorban apapun demi tegaknya agama ini. Beliau bahkan membawa putra dan putrinya agar mereka juga siap berkorban untuk menyalakan api agama Allah sehingga sinarnya bisa sampai ke seluruh umat manusia dan bisa menerangi seluruh isi jagad raya.

Ketika tekad sucinya itu diancam dan digertak oleh musuh-musuh Allah, Husain menjawab dengan kalimat terkenalnya yang kemudian menggerakkan seluruh semangat pejuang Islam yang datang setelahnya. “In kâna dînu Muhammad lam yastaqim illâ bi saifî, fayâ suyûfu khudzîni…” “Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa berdiri kecuali dengan merenggut nyawaku, maka aku rela bersimbah darah demi tegaknya agama Muhammad saw….”
Karbala kemudian memang menyaksikan pertumpahan darah yang sangat tragis sepanjang sejarah umat manusia. Butir-butir pasir Karbala menyaksikan kesetiaan sejumlah orang-orang mukmin yang yang cinta kepada Allah, kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya.

Ketika peperangan Karbala telah dikobarkan oleh pasukan Umar bin Sa’ad, ribuan anak panah dan tombak dilemparkan ke kemah Husain as. Hampir setiap sahabat dan keluarga Husain terluka karenanya. Seorang wanita tua, istri ‘Abdullâh bin Umair berkata kepada suaminya ‘Abdullâh,
“Ya ‘Abdallâh, bi abi anta wa ummi, qâtil dûnat tayyibîn dzuriyyata Muhammad saw…” “Wahai ‘Abdallâh, demi ayah dan ibuku. Berperanglah demi mempertahankan anak zuriat Muhammad saw…”

Tak lama setelah ia keluar, terdengar lantunan salam, “Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh.” ‘Abdullâh bin Umair gugur. Kepalanya dilemparkan ke kemah Husain. Ummu Umair menyambut kepala sang suami dengan senyum penuh keimanan. Dibersihkannya pipinya yang tak berleher dari pasir-pasir Karbala. Suaranya lirih, “Hanîan laka bil jannah…” “Selamat… selamat atas keberhasilanmu wahai suamiku tercinta. Surgalah balasan bagimu dari Allah…”
Suara lirih istri sejati ini terdengar oleh Syimir. Dengan geram ia perintahkan kepala Ummu Umair juga dipenggal. Jadilah ia wanita pertama yang syahid di Karbala.

‘Amir bin Qarthah al-Anshârî juga adalah sahabat Husain yang sangat setia. Ia tidak ingin sedikitpun luka mengenai putra Fâthimah al-Zahra ini. Setiap kali anak panah ditujukan kepada Husain, ia pasang badan untuk melindunginya. Ia berjuang mati-matian untuk menjaga putra Nabi dengan segala daya, hingga badannya ditancap-tancap puluhan anak panah. Amir tidak lagi merasakan sakitnya tusukan tombak dan panah. Cintanya kepada Husain mengobati seluruh deritanya di Karbala. Dengan tubuh yang bersimbah darah seperti itu ia menghadap.
“A wafaitu ya Husain…” “Apakah aku telah tunaikan kesetiaanku untukmu ya Husain?”
“Na’am. Anta amâmi fil jannah. Faqra’ Rasûlallâh ‘annîs salâm…” “Ya. Engkau akan berada di hadapanku kelak di surga. Dan sampaikan salamku kepada Rasulullah…”
Demikian pula dengan Muslim bin ‘Ausajah.

Riwayat berkata bahwa sebelum Muslim bin ‘Ausajah gugur, Habib bin Muzahir sempat memeluknya dan mencium-cium pipinya. Habib berkata, “Ya Muslim, seandainya engkau punya wasiat yang bisa kusampaikan, katakanlah kepadaku…”
Muslim berkata, “Ya, Habib! Aku berwasiat kepadamu agar kau bela Husain bin ‘Alî sampai tetes darahmu yang terakhir. Pastikan dirinya selamat meskipun kau gugur karenanya.”
Bahkan anak-anak remaja Karbala tak mau ketinggalan dalam membela Husain as. Putra Wahab tiba-tiba keluar dari kemahnya sesaat setelah melihat ayahnya jatuh ditebas musuh. Husain sempat menghalanginya.

“Wahai anakku! Engkau masih belum wajib berjihad.” Kata Husain. “Ayahmu baru saja terbunuh. Ibumu tentu tidak ingin kehilanganmu setelah ayahmu syahid?”
Anak remaja ini kemudian datang memeluk Husain sambil berkata, “Demi jiwaku yang ada di tangan Allah. Ya Husain, ibuku bangga denganku apabila aku bisa terbunuh dalam membelamu. Perkenankan aku keluar membelamu ya Husain…”
Remaja ini kemudian gugur menyusul sang ayah.

Demikian juga dengan putra Muslim bin Ausajah. Ayahnya gugur. Kepalanya dipenggal. Sang ibu memintanya untuk membela Husain. Sang ibu tidak rela anaknya hidup sementara Husain dan anak-anak Nabi yang lain disakiti. Ia perintahkan putranya keluar. Tak lama berselang kepala putra Ausjah tercinta dilemparkan ke kemah sang ibu yang mulia ini. Bukan jeritan tangis yang diraungkannya. Bukan suara sesal yang dikumandangkannya. Bukan rasa iba yang dipintanya. Ia berkata dengan suara yang didengar oleh isi alam semesta: “Ahsanta ya bunayya…”

“Demi Allah! Ahsanta ya bunayya…Engkau telah berbuat baik dan telah berbakti kepadaku wahai putraku dan penyejuk hatiku … Engkau telah senangkan hati Fâthimah al-Zahra. Engkau telah bahagiakan jiwa Rasulullah… Engkau telah mengabdi kepada Husain bin ‘Alî…”

Kesyahidan mereka kemudian disusul oleh syahadah putra-putra Ahlul Bait Nabi saw. ‘Alî Akbar minta izin dari ayahnya untuk keluar ke medan perang Karbala. Pemuda tampan ini adalah putra Husain yang berwajahkan datuknya, Muhammad saw. Sehingga Husain sering berkata, “Apabila kami rindu kepada Rasulullah, maka kami akan melihat wajah ‘Alî Akbar.”

Husain terasa berat memberi izin putranya. Apakah ia akan biarkan ‘Alî Akbar pergi menjemput maut? Husain mengangkat tangannya ke arah langit dan berdoa, “Saksikan ya Allah, telah menghadap mereka seseorang yang paling mirip wajahnya dengan wajah Rasulullah….”

‘Alî Akbar keluar dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Lebih dari seratus musuh-musuhnya tewas di pedangnya. Tapi kehausan yang mencekiknya memaksanya pulang ke kemah ayahnya.

“Wahai ayah tercinta.” Kata Akbar. “Rasa haus telah mencekikku. Besi yang berat ini telah menghimpitku. Adakah setetes air yang bisa kuteguk?”

Di dalam riwayat dikatakan bahwa Husain memberikan kepadanya cincinnya untuk dikecup. Sebagian yang lain berkata bahwa Husain mengulurkan lidahnya untuk diisap oleh putranya tercinta. Tapi apa daya. Lidah Husain lebih kering dari kayu-kayu sahara yang kering.
‘Alî Akbar keluar lagi dari kemahnya untuk kedua kali. Ia kini tidak segagah sebelumnya. Dalam keadaan badan yang sudah mulai goyah tiba-tiba kepalanya dipukul dari belakang oleh seorang durjana. ‘Alî berteriak, “ya abatâh…” “Duhai ayahku Husain…”

Kuda ‘Alî Akbar berlari tanpa tujuan yang jelas, hingga membawanya ke kemah musuh. Di sana ‘Alî dikepung dari berbagai sudut. Badan ‘Alî dicabik-cabik dengan tombak-tombak yang tajam. Pedang yang tajam mengiris-iris mukanya yang memancar sinar Muhammad saw. Suaranya yang parau kemudian mengirim salam terakhir untuk ayahnya, "’Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Setelah satu persatu isi keluarganya gugur, harapan Husain tertumpu pada saudaranya Abul Fadhl ‘Abbas. Ia adalah pembawa bendera pasukan Husain sekaligus pelindung putri-putri az-Zahra yang kini mulai yatim di Karbala.
Suara tangis mereka yang haus di kemah Karbala yang panas telah mengiris-iris hati Abbas bin ‘Alî as. Ia berjanji akan menembus pasukan musuh untuk bisa menjemput air. Ia berjanji kepada wajah-wajah Fâthimah dan Khâdijah untuk bisa meminum walau setetes air Furat.

Sebelum tiba di tepi sungai Syimir menyaksikan gelagat ‘Abbas yang ingin mengambil air. Dengan suara lantang ia berkata, “Hai anak Abu Turab, sekiranya seluruh air di dunia ini berada di bawah kekuasaanku, aku tidak akan berikan setetes pun kepada kalian sebelum kalian memberikan bai’atnya kepada Yazid…”

Ketangkasannya memang bisa menghantarnya sampai ke tepian sungai. ‘Abbas ingin minum menghilangkan rasa haus yang telah mencekiknya selama tiga hari. Tangannya telah penuh dengan air. Bibirnya hampir-hampir saja menyentuh sejuknya air Furat. Namun ia teringat akan Husain dan keluarga Nabi di kemah sana. “Demi Allah.” Kata ‘Abbas. “Tidak layak aku minum air ini sementara kehausan telah mencekik saudaraku Husain…”

Syimir kemudian memerintahkan kepada seluruh pasukannya untuk menghadang Abbas dan merampas atau menumpahkan airnya. Abbas menghadapi mereka dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Dari balik pohon kurma, tiba-tiba seorang pengecut menebaskan pedangnya memotong tangan kanan Abbas. Abbas menangkap wadah air dengan tangan kirinya. Ia ingin menyelamatkan air itu agar bisa diminum oleh bibir-bibir kecil Fâthimah. Pedang yang lain kemudian menebas tangan kirinya. Abbas masih berusaha menyelamatkan air itu dengan menggigit talinya. Tapi para durjana itu memanah wadah air itu sampai tumpah dan jatuh dari mulutnya. Kepalanya kini terhantam besi. Badannya disayat-sayat dengan pedang yang tajam. Perutnya ditikam. Abbas menangis, bukan karena sakit. Ia menangis karena tak dapat menghilangkan haus putri-putri Fâthimah. Tak lama Husain mendengar suara Abbas yang terakhir, ‘alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Sepeninggalnya Abbas, Husain berkata, “Kini tulang punggungku patah sudah. Kini saatnya aku menghadap Tuhanku…”
Husain berdiri kokoh di hadapan ribuan musuh yang mengepungnya. Husain menguman-dangkan falsafah perjuangannya di Karbala.

Al-mautu awla min rukub al-‘ari. Wal ‘aru aula min dukhulin nari. Ana al-Husain ibnu ‘Alî. ‘alaitu an la antsani. ahmi ‘iyalati abi. amdhi ‘ala dinin nabi.
(Sungguh, mati lebih utama ketimbang jatuh pada kehinaan; dan lebih utama ketimbang masuk ke dalam api neraka jahannam. Akulah Husain bin ‘Alî yang tak akan pernah tunduk pada kezaliman. Aku bela keluarga ayahku aku berjalan di atas agama sang Nabi)

Sejarah mencatat banyak lawan tewas di tangannya. Husain dikepung oleh ribuan orang. Umar bin Sa’ad memerintahkan pasukannya menyerang Husain dari berbagai penjuru. Dia berkata. “Celaka kalian. Inilah putra singa orang Arab. Inilah putra ‘Alî bin Abi Thalib. Serang dan kepung dia dari berbagai sudut!!!”

Peperangan yang tak seimbang itu akhirnya memaksa Husain duduk sejenak istirahat melepas rasa letihnya. Tiba-tiba Abu Hatuf membidikkan anak panahnya ke dahi Husain. Tempat sujud itu kini menyemprotkan darah segar. Wajah Husain bersimbah darah. Janggutnya kini berwarna merah. Husain berkata, “Ya Allah. Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambamu yang durhaka ini kepadaku. Ya Allah hancurkan mereka. Habisi mereka. Jangan Kausisakan satupun mereka di atas muka bumi. Jangan Kau ampuni mereka…”

Husain berdiri lagi dengan tenaga yang tersisa. Darahnya yang banyak tumpah telah menguras seluruh tenaganya. Saat wajahnya terangkat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan dan persis mengenai dahinya yang luka. Darahnya tambah tumpah. Sebagian darah suci itu menutupi matanya. Husain mengambil ujung bajunya untuk membersihkan matanya. Tengah tangannya terangkat tiba-tiba sebuah anak panah bermata tiga kemudian dilesatkan dan persis mengenai jantungnya. Dada Husain luka. Jantungnya robek. Anak panah itu bahkan menembus dadanya hingga ke belakang. Husain menyebut-nyebut nama Allah, “Dengan asma’ Allah. Dengan bantuan Allah. Dan di atas agama Allah. Ilahi Engkau Maha tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra dari putri Nabi-Mu yang masih ada di atas muka bumi ini…”

Darah tumpah itu ditampung dengan kedua tangannya, lalu dilemparkannya ke langit. Demi Allah, tidak setetespun dari darah itu yang kemudian jatuh ke bumi. Demi Allah, sungguh darah Husain tidak lebih hina dari darahnya unta Nabi Shaleh as.

Husain mengambil sisa-sisa darah yang ada lalu mengoles-oleskannya ke wajahnya seraya berkata, “Seperti inilah aku akan berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Aku akan katakan bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan…”

Husain jatuh tersungkur. Wajahnya bukan hanya berlumuran darah. Pasir Karbala hampir-hampir menyelimuti sekujur tubuhnya. Saat Husain tergeletak Umar bin Sa’ad berteriak, “Turun kalian dan penggal lehernya!!!”

Imam Bâqir as berkata, “Setelah itu mereka perlakukan Husain sedemikian buruk hingga kepada anjingpun mereka dilarang memperlakukan sedemikian.”
Mereka tusuk Husain dari belakang. Mereka sobek Husain dengan pedang yang tajam. Mereka tombak kepala Husain. Mereka lempar Husain dengan batu. Bahkan, mereka penggal kepalanya yang mulia…

Wa ‘alaika minnas salâm ya Abâ ‘Abdillâh…
Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn []

Sisa keluarga Ahlul Bait yang masih tersisa dibawa ke Kuffah & Damaskus dengan cara di rantai dan diborgol seperti tawanan untuk dihadapkan kepada Yazid 'alaihil la'nah termasuk penggalan kepala Imam Husein dan seluruh Martyr Karbala.

Senin, 05 Januari 2009

Muhkam dan Mutasyabih

بسم الله الرحمن الرحيم
Makalah Ulum al-Qur'an di Univ. Paramadina

A. Mukaddimah

Al-Qur'an al-Karim adalah kitab standar kehidupan umat manusia dari bangsa dan penganut faham apa pun. Al-Qur'an adalah standar (rujukan) umat manusia yang hidup di segala zaman dan ruang. Dia tetap up to date walaupun manusia berlomba-lomba menciptakan dan meningkatkan kebudayaan dan peradaban mereka tidak akan dapat mengejar kemajuan al-Qur'an.

Misalnya: Sampai hari ini umat manusia belum bisa menyusun alfabet-alfabet jenis-jenis hewan, pada hal al-Qur'an sudah menyebut dan menyinggungnya 1400 tahun yang lalu, belum lagi permasalahan astronomi dan perbintangan atau metafisik lainnya.

Jika masa kini seorang atheis misalnya, tidak mengakui al-Qur'an karena ia tidak bertuhan sama sekali. Seorang Kristen, belum sampai menemukan kebenaran yang dikandung oleh al-Qur'an sehingga ia belum sanggup mengimaninya, maka yakinlah pada suatu saat ia akan pasti mencarinya, tidak dapat tidak.

Seorang yang dahaga akan mencari air, yang lapar akan mencari makanan, begitu pula yang rohaninya kering, pasti akan mencari al-Qur'an.

Sejak Allah menurunkan kalimat-Nya yang pertama di bulan Ramadhan 14 abad yang silam, kalimat-kalimat yang berbunyi:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
"Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan". (QS.96 : 1)

Perlu dicatat bahwa seruan membaca harus ditafsirkan secara luas agar orang sampai pada pengertian bahwa: "tidak ada satu ilmu pengetahuan di atas dunia ini yang dicapai oleh manusia tanpa membaca "iqra' sebagai kuncinya (pendahuluannya) tetapi keagungan kata membaca "iqra' yang dipakai oleh al-Qur'an yaitu dengan tambahan "bismi rabbik" (dengan nama Tuhanmu). Maksudnya ialah: "Bacalah wahai Rasul, wahai manusia dengan nama Tuhan-Mu. Ini adalah satu ikatan agar ilmu pengetahuan tidak menyeleweng dan disalahgunakan.

Penemu-penemu ilmu pengetahuan yang baru, karena mereka membaca untuk mendapatkan popularitas atau membaca untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau membaca ilmu untuk ilmu (Sience for Sience), maka mereka acapkali tidak dibahagiakan dengan ilmu yang merupakan hasil membaca "iqra' tadi.

Umat manusia dilanda oleh penyelewengan-penyelewengan hasil membaca "iqra' yang dilakukan bukan karena Allah. Di antara hasil-hasilnya ialah: senjata-senjata konvensional dan non konvensional yang akan membelah bumi. Mereka siang dan malam ditimpa rasa takut terhadap hasil ciptaan mereka sendiri, sehingga banyak dari mereka yang stress akibat penyimpangan dari maksud kata membaca "iqra' yang diinginkan oleh Allah Maha Pencipta.

Sejak awal ayat tersebut diturunkan, maka sejak detik-detik itu al-Qur'an merupakan buku bacaan yang paling populer bagi umat manusia hingga akhir zaman nanti.

“Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang paling banyak dibaca dan dipelajari di atas dunia.”[1]
“Tidak ada buku sepanjang sejaraj yang populer dibaca dan dipelajari manusia melebihi al-Qur’an.”[2]

Hal demikian itu bukanlah berarti bahwa tidak ada di antara manusia yang sudah mengenal bahwa al-Qur’an itu daripada Allah diperuntukkan kepadanya, dan kepada sesamanya, authentic, tidak disentuh oleh keraguan, apalagi kebathilan, namun karena kecongkaan atau individualitet ia menolaknya. Ia lebih suka memilih adanya pertentangan antara hati kecil dan fikirannya, berjalan lebih lama daripada mengamankan stabilisasi bathin! Bukankah itu sesungguhnya siksaan bathin?

Umat manusia telah berada di tepi jurang kehancuran yang akan melenyapkan kita sama sekali akibat dari bermacam-macam penyakit jiwa dan akhlak yang menimpa kita, sehingga mereka lupa kepada Allah.

Ilmu sekuler yang dikandung oleh otaknya mendorong ia selalu membuahkan alat pembinasa bagi ia dan sesamanya.

Akibat dari egoisme, syofinisme, demoralisasi yang berkecamuk di mana-mana. Menusia hidup penuh dengan ketakutan akibat perbuatannya sendiri.

Jika Allah swt. masih belum mentaqdirkan kehancuran total terhadap kita, maka Ia akan menyampaikan umat manusia ini kepada-Nya. Jalan yang tidak berliku-liku, tak berlatar belakang itu dan ini, simple, pintas, jelas dan tegas itulah as-Shirat al-Mustaqim. Tetapi tidak ada jalan ke sana kecuali melalui al-Qur’an, baru jalan itu selamat tercapai.

Umat manusia harus bersyukur kepada Allah bahwa Ia masih berkenan memelihara al-Qur’an sampai sekarang dalam keadaan authentik.

Ada golongan yang bukan saja menolak al-Qur’an namun ia mengingkari al-Qur’an itu dari pada Allah. Ia mengatakan bahwa al-Qur’an dikarang oleh seorang yang bernama Muhammad akibat penyakit ayan atau penyakit gila.

Kepada mereka itu, dapat dibaca di dalam buku “Benarkah Al-Qur’an Wahyu Allah”. Dalam bahasan buku tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an memang benar dari Allah, tiada mengandung syak lagi, tentunya dengan dalil-dalil aqli (akal).

Memang tidak mudah kita kumpulkan dalil-dalil akal untuk menyimpulkan bahwa al-Qur’an wahyu Allah yang diturunkan atas Nabi Muhammad saww. Kita boleh mencoba sebelum masuk ke pembahasan muhkam dan mutasyabih dalam makalah ini. Untuk mengumpulkan dua atau tiga dalil akal bahwa al-Qur’an itu dari Allah bukan karangan Muhammad.

Tidak ada alternatif lain yang dapat mengatakan bahwa al-Qur’an itu mutlak (bahasanya, susunan titik komanya) daripada Allah. Sebab kalau dikatakan bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad maka pasti kita menganggap bahwa Muhammad itu adalah Tuhan.

Sebenarnya untuk mengetahui kebenaran al-Qur’an, orang tidak perlu melalui jalan yang berliku-liku, bertentangan dengan rasio atau perasaan, ia memerlukan dua syarat mutlak:
1. Ilmu pengetahuan.
2. Ketidak fanatikan.

Sebelum penulis memulai makalah ini, penulis ingin menegaskan bahwa kita sebagai pewaris kitab suci ini, terbagi pada lima golongan:
1. Golongan yang hanya menerima al-Qur’an saja namun ia tidak atau belum membacanya. Ia tidak mempunyai kesempatan belajar membaca dalam bahasa aslinya. Jadi, ia hanya menerimanya sebagai kitab suci dari Allah.
2. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya.
3. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya dan mengerti artinya.
4. Mereka yang membacanya, mengerti maknyanya, kemudian ia berhasil menerapkan isinya pada diri dan keluarganya.
5. Yang terakhir, mereka yang membacanya dengan bahasa aslinya, mengerti maknanya, mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

Masing-masing tidak tahu, kita pembaca tergolong dari golongan yang mana? Mudah-mudahan kita dapat mewujudkan maksud diturunkannya kitab suci al-Qur’an, yaitu:
“Kita membacanya dan mendapat pahala, kita mengamalkannya mendapat dua pahala, kita mengajarkannya mendapat tiga pahala.
Makalah ini akan menjelaskan mengenai Muhkam dan Mutasyabih, dimulai dari pengertian Muhkam dan Mutasyabih baik secara umum atau khusus, pandangan para ulama tentang muhkam dan mutasyabih, dan menjadi bahan perbedaan pendapat di antara mereka.

B. Pengertian

Pengertian Muhkam dan Mutashabih Secara Umum

Pada awalnya pembahasan muhkam dan mutasyabih, adalah cabang dari ilmu kalam. Karena al-Qur’an merupakan teks suci yang cukup sulit terdeteksi maknanya, maka ulama ahli memasukkan pembahasan muhkam dan mutasyabih tersebut sebagai kajian ilmu tafsir. Seperti dalam ilmu fikih, ada qath’i dan ada zhanni. Yang qath’i adalah muhkam, dan yang zhanni adalah mutasyabih.

Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan.[3] Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.[4] Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Al-hukm berarti memutuskan perkara antara dua hal. Maka, hakim adalah orang yang mencegah dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa. Ihkam al-kalam berarti memperkuat perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.

Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[5] Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.

Karena pengertian itu, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah Muhkam. Sebagaimana firman Allah: "inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya diperkuat dan dijelaskan secara rinci yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. Hud: 1)
Maksudnya, bahwa kata-katanya fasih, kuat, tiada tandingan, sekaligus dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan.

Sedangkan mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Tashâbaha ar-rajulâni, dua orang saling menyerupai[6]. Dalam istilah fikih, seseorang menemukan kata syubhat, artinya sesuatu barang atau perkara yang belum jelas kehalalannya dan keharamannya. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.

Dengan pengertian itulah, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat sebagaimana didalam firman-Nya: ""Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)". (Qs. Az-Zumar: 23).

Seperti firman Allah swt: "dan mereka diberi yang serupa dengannya". (Qs. Al-Baqarah: 25). Ayat ini menerangkan sekaligus memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh berupa surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir dan terdapat pula buah-buahan yang serupa tapi tidak sama seperti buah-buahan yang terdapat di dunia.

Masing-masing muhkam dan mutasyabih dalam pengertian secara mutlak dan umum, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak menjadikan kontradiksi ayat al-Qur'an yang satu dengan ayat-ayat yang lain.

Jadi, pernyataan bahwa "al-Qur'an itu semuanya muhkam, karena adalah dengan pengertian kuat, sastranya tinggi, yakni ayat-ayatnya serupa, saling membenarkan satu sama lain. Tidak ada kontradiksi di dalam al-Qur'an. Allah berfirman: "Apakah mereka tidak memahami al-Qur'an, dan seandainya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapati banyak pertentangan (satu sama lain) di dalamnya". (Qs. An-Nisa_: 82)

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus

Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7)
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2. Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur'an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْض (البقرة: 255)
"Kursi-Nya meliputi langit dan bumi".
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
"Yang Maha Pengasih, yang bersemanyam di atas 'Arsy".
تَجْرِى بِأَعْيُنِنَا جَزَاءًا لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (القمر: 14)
"(bahteranya nabi Nuh as) berlayar dengan pantauan mata Kami. (seperti itulah musibah yang Kami turunkan) sebagai balasan bagi orang yang ingkar".
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَايُبَايِعُوْنَ اللهَ, يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
"Sesungguhnya orang-orang yang membai'at-mu ya Rasul, mereka-lah yang berikrar menerima (bahwa Tuhan mereka) adalah Allah. Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka".
وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (القصص: 88)
"dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah".

C. Pandangan Para Ulama

Para ulama membagi ayat-ayat mutasyabih:
· Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat, dll.
· Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari lahir dari singkatnya redaksi.
· Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan melakukan penyucian diri.[7]
Abdullah ibn Abbas dan Ibnu Mas'ud ra: Bahwasanya ayat-ayat muhkam adalah yang menghapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang dihapus. Begitu juga riwayat dari ad-Dhahhak.[8]
Menurut Mujahid: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang Allah jelaskan akan kehalalannya, keharamannya dan tidak ada kerancuan maknanya.[9]

Demikian juga Imam Syafi'i berkata sebagai berikut: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin takwilnya lebih dari satu, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil.[10]

Jika kita melihat pendapatnya Imam Syafi’i di atas, bahwa ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil, kita bisa mengambil contoh mengenai kata “nikah”[11] di dalam al-Qur’an, bisa berarti dua, al-wath_u (berkumpul dalam arti bersetubuh) atau al-‘aqdu (sebuah perjanjian).
Atau bisa juga kita lihat dalam ayat: “wanita-wanita yang dithalak (diceraikan) hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.[12] “Quru” bisa berarti suci atau bisa berarti haidh. “Tiga quru”, sementara ulama - yang bermazhab Hanafi – dipahami dalam arti tiga kali haid. Sedangkan ulama yang bermazhab Maliki dan Syafi’i, tiga quru diartikan tiga kali suci (masa antara dua kali haid).[13]

Riwayat dari Qotadah: bahwa ayat-ayat muhkamat yaitu ayat yang wajib diamalkan.[14]
Yahya ibn Ya'mur berkomentar: bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang mencakup hal-hal kewajiban seorang hamba, larangan, dan ayat-ayat muhkam juga sebagai pondasi kekuatan umat Islam.[15]

al-Ashfahani dalam Mufrodatnya berkomentar bahwa muhkam itu yang memberikan faedah pengertian kepada satu hukum. Hukum lebih umum dari pada hikmah, karena setiap hikmah yaitu hukum sedangkan hukum belum tentu menjadi buah hikmah.[16] Sedangkan mutasyabihat al-Ashfahani berkomentar panjang dan membagi menjadi 3 macam: 1.) mutasyabihat dari segi lafazh, 2.) mutasyabihat dari segi makna, dan 3.) mutasyabihat dari segi keduanya. Dan mutasyabihat dari segi lafazh terbagi menjadi 2 macam. Tidak mudah sepertinya untuk menjelaskan pembagian dari segi lafazh, karena setelah itu terdapat bagiannya lagi. Mutasyabihat dari segi makna, al-Ashfahani memberikan contoh kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan dalam benak kita. Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi 5 bagian: 1.) dilihat dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu al-musyrikin – 9:5. 2.) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau sunnah, contohnya: fankihuu maa thόba lakum – 4:3. 3.) mutasyabihat dari segi waktu seperti nâsikh dan mansûkh, contoh: ittaqullha haqqo tuqόtih – 3:102. 4.) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat tersebut turun ditempat itu, seperti: wa laisa al-birro bi an tuu al-buyût min zhuhûrihâ – 2:189. Dan yang ke 5.) dari segi syarat-syarat yang menentuakan sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.[17]

Sedangkan menurut Jabir ibn Abdullah al-Anshari ra, dan ini sependapat juga oleh Shi'bi dan Sufyan ats-Tsauri: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang diketahui dan dapat dipahami oleh para ulama akan makna dan tafsirnya, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat rahasia Allah, hanya Allah swt. yang mengetahui, seperti hari kiamat, kematian seseorang, dll.[18]

Setelah melihat beberapa komentar sebagian ulama, dalam pendapat mereka sebenarnya (laa tanaafiya) tidak saling bertentangan.

D. Perbedaan Pendapat

'Athaf atau Isti'naf.

Surat Ali Imran ayat 7 merupakan salah satu bahan perhatian ulama yang mendalami ilmu al-Qur'an. Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Di antara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.

Sampai di kalimat: "wamǻ ya’lamu ta’wìlahū illallah. War rǻsikhūna fil ‘ilm. Yang menjadi bahan perbedaan pendapat adalah huruf wawu setelah kalimat illallah, wawu tersebut athaf (penyambung) atau wawu isti’naf (permulaan). Karena jika waqaf (terhenti) sampai di kalimat illallah, berarti yang hanya mengetahui ayat-ayat mutasyabih adalah Allah swt. Adapun jika wawu itu athaf, atau tidak waqaf, maka ada yang mengetahui takwilnya selain Allah swt.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah ada yang mengetahui takwil al-Qur'an selain Allah swt? pertanyaan ini juga yang menjadi bahan perbedaan pendapat antara ulama. Mayoritas ahli ushul dan sahabat Nabi khususnya Ibn Abbas, perbendapat bahwa "wawu" tersebut huruf 'athaf, karena pengakuan Ibn Abbas sendiri bahwa dirinya mengetahui takwil. Anâ minar râsikhîna alladzîna ya'lamûna ta'wîlahu.[19] Begitu juga Nabi saw. pernah berdo'a untuk Abdullah Ibn Abbas: Allahumma faqqihhu fiddîn wa 'allimhu at-Ta'wil.[20]

Alasan DR. Wahbah az-Zuhaili, karena bahwasanya Allah swt menghina orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan mencari-cari fitnah dan menyesatkan orang lain.
Ancaman bagi mereka yang menimbulkan fitnah dengan mentakwilkan ayat-ayat mutasyãbih. 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. membacakan ayat: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7) 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyãbihãt, maka merekalah orang-orang yang Allah namai dalam ayat tersebut – fî qulûbihim zaigh – di dalam hati mereka condong kepada kesesatan, maka jauhilah. Muslim.[21]
Di hadits lain Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan untuk mencari-cari fitnah dari hal-hal yang mutasyãbih, tujuan mereka hanya untuk saling mendebat, maka jangan kalian duduk bersama mereka.[22]

Kemudian alasan mereka yang berpendapat bahwa wawu 'athaf, di karenakan ada hadits dari Nabi saw, ketika beliau saw ditanya tentang ciri-ciri arrâsikhûn, beliau saw menjawab: “Mereka yang baik budi pekertinya, selalu benar dalam ucapannya, konsisten dalam perbuatannya, suci hatinya, menjaga perut dan kemaluannya (dari hal-hal yang syubhat apalagi yang haram), maka mereka-lah ar-râsikh fil 'ilm.[23]

Jadi, yang mengetahui ayat-ayat yang mutasyãbih tentu orang-orang yang suci. Akan tetapi setiap permasalahan, tidak terlepas dari pertanyaan "siapa?".

Yang menarik untuk dijadikan pengetahuan, yang harus kita hargai pendapatnya, mereka dari kalangan Syi'ah moderat[24] berpendapat, bahwa mayoritas ulama mereka menafsirkan "wawu" tersebut huruf 'athaf. Tentu kita bertanya: siapa yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat selain Allah swt menurutnya?
Ahli Tafsir legendaris mereka 'Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai dalam kitabnya al-Qur'an fil Islam bab muhkam dan mutasyabih,[25] mereka yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyãbihat adalah mereka yang tercantum di dalam Qs. Al-Waqi'ah: 79.
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنََ

Al-muthahharûn menurut mereka bukan dituju kepada orang-orang yang suci karena berwudhu. Mereka menafsirkan al-muthahharun adalah orang-orang yang disucikan (isim maf'ul). Alasan mereka adalah dikarenakan al-Qur'an al-Karim merupakan kitab yang suci, maka yang harus mengetahui kandungan isinya yaitu orang-orang yang suci, tidak boleh orang-orang yang kotor dan yang berdosa. Kita selalu bertanya: "siapa lagi menurut mereka orang-orang yang disucikan?

Karena sebaik-baik cara untuk mengetahui al-Qur’an adalah dengan al-Qur’an itu sendiri. Karena al-Qur’an itu sendiri merupakan satu kesatuan yang isinya saling berhubungan antara satu ayat dengan lainnya, serta saling menafsirkan.

Ketika mereka mendapatkan pertanyaan: “Siapa orang-orang yang disucikan? Mereka menjawab terdapat di Qs. Al-Ahzab: 33 "Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala noda (dosa) dari kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan sesuci-sucinya.
Berdasarkan riwayat dari 'Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa'id al-Khudri, Anas ibn Malik, ayat ini turun untuk Rasulullah saww. Imam 'Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husein.[26]

Muhammad ibn Ya'qub meriwayatkan dengan sanad yang tersambung sampai Imam Ja'far as-Shadiq as.[27] Imam Ja'far berkata: "Kami adalah orang-orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati, dan kami adalah orang-orang yang mendalam ilmunya (râsikhûna fil ilm) dan kami juga termasuk orang-orang yang dihasudi……"[28]

Muslim dalam shahihnya meriwayatkan, Nabi saww. meninggalkan dua pusaka untuk umatnya agar selamat dan tidak tersesat, yaitu al-Qur'an dan keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri: Pada suatu hari Rasulullah saww. berdiri di hadapan kita di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau bersabda: Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku hanya seorang manusia, aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dan aku tinggalkan kepada kalian ats-tsaqalain (2 pusaka), yang pertama al-Qur'an, didalamnya terdapat petunjuk, maka perpegang teguhlah kalian. Lalu beliau menganjurkan agar berpegang teguh dengan al-Qur'an, kemudian beliau melanjutkan: dan ahlu baitku; kuperingatkan kalian akan Ahlu Baitku. (beliau ucapkan tiga kali).[29]

Jadi, mereka mazhab Syi'ah lebih mengambil jalan aman, karena di samping Rasul meninggalkan al-Qur'an – apalagi pada waktu itu al-Qur'an belum terkodifikasi – beliau juga meninggalkan orang-orang yang lebih faham, yaitu keluarganya yang Allah swt sucikan; bukan hanya ayat-ayat mutasyabihat, bahkan seluruh isi kandungan al-Qur'an Ahlul Bait mengetahuinya.
Sebagaimana ucapan Imam Syafi'i ra.: "Shâhibul baiti adrό" (tuan rumah lebih mengetahui).[30] Dengan mengenal pribadi-pribadi yang maksum, kita juga tidak sembarangan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena betapapun pandainya seseorang menafsirkan ayat al-Qur'an mereka juga termasuk: "wamâ ûtîtum minal ilmi illâ qalîlan". Dan tidaklah Aku berikan ilmu kepada kalian melainkan sedikit.[31]
Selesai sudahlah makalah ini, mudah-mudahan menjadi bahan pengetahuan, apalagi menambahkan ketaatan kita kepada Allah swt. tentu kita tidak mau menjadi orang-orang yang Allah cantumkan dalam firman-Nya:
عَامِلَةٌ نَاصِبَة. تَصْلَى نَارًا حَـامِيَة.
"Beramal dengan kelelahan. nanti mereka masuk neraka hamiyah".


Bibliografi
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Al-Qur'an fil Islam
3. Tafsir Qummi
4. Ulum al-Qur'an
5. Tafsir al-Mishbah
6. Tafsir ats-Tsauri
7. Tafsir al-Mawardi
8. Tafsir al-Qur'an
9. Tafsir al-Qurthubi
10. At-Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari'ah wal Manhaj
11. Jami' al-Bayan
12. Ad-Durrul Mantsur
13. Ahkam al-Qur'an
14. Ma'ani al-Qur'an
15. Terjemah Mabâhits fii ulum al-Qur'an
Hadits
1. Shahih Muslim
2. Shahih Turmudzi
3. Musnad Ahmad
4. Mustadrak al-Hakim
5. Khasâis Amiril Mukminin
6. Al-Mu'jam Shaghir
Lain-lain
1. Kamus al-Kautsar Arab - Indonesia
2. al-Mufradat al-Ashfahani
3. Itmâm ad-Dirâyah li Qurrâ an-Nuqâyah
4. Encyclopedia Britanica

[1] Encyclopedia Britanica, jilid 15 hal. 898
[2] Prof. Philip K. Hitty, guru besar di Universitas Brenston.
[3] Sayyid Muhammad Baqir Hakim, ulum al-Qur'an hal. 165.
[4] Idem.
[5] Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, terjemahan dari Mabahits fi ulum al-Qur'an. Hal. 264.
[6] Husein al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab – Indonesia, hal. 186 cet. Yayasan Pendidikan Islam - Bangil
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, tafsir Qs. Ali Imran: 7
[8] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 235; Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur juz 2 hal. 4; Sufyan ats-Tsauri, Tafsir ats-Tsauri halaman 75; al-Jasshos, ahkam al-Qur'an juz 2 hal. 3
[9] An-Nukat wa al-'uyun Tafsir al-Mawardi, juz 1 hal. 369 - 370 cet. Dar al-Kutub – Beirut.
[10] Idem.
[11] Dalam Qs. 2:235 dan Qs. 2:237
[12] Qs. 2:228
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah 1/456
[14] Abdurrahman ash-Shan'ani, Tafsir al-Qur'an juz 1 hal. 115.
[15] An-Nuhasi, Ma'ani al-Qur'an juz 1 hal. 344
[16] Mufradat al-Ashfahani bab "ha (kecil)" halaman. 127
[17] Mufradat al-Ashfahani bab "Syim" halaman 255
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi juz 4hal. 9-10
[19] Ust DR. Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa as-Syari'ah wa al-Manhaj. Juz 3 hal. 154
[20] Idem.
[21] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 4 hal. 9; ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243
[22] Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243.
[23] Ibn Jarir at-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 252.
[24] Karena mazhab yang satu ini terpecah, yang kami maksud adalah Syi'ah Imamiyyah – yang mempunyai 12 orang Imam; Imam 'Ali ibn Abi Thalib, al-Hasan, al-Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far as-Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali ar-Ridha, Muhammad al-Jawwad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan keyakinan mereka bahwa yang ke 12 adalah Imam al-Mahdi sudah lahir dan di ghaibkan oleh Allah swt.
Syi’ah menganggap 12 orang tersebut sebagai Imam, Khalifah, atau Amir setelah Nabi saww, karena bersumber dari Shahih al-Bukhari juz 9 hadits: 101 ktb al-Ahkam bab al-istikhlaf; shahih Muslim juz 3 hadits: 1452, riwayat dari Jabir ibn Samurah. Syarat Imam harus maksum; lihat Qs. 2:124
[25] Cetakan Jam'iyyah al-Ijtima'iyyah Kuwait – Beirut.
[26] Shahih Muslim kitab Fadhail as-Shahabah bab fadhail Ahli bait an-Nabi juz 2 hal. 368 cet. Isa al-Halaby; juz 15 hal. 194 Syarah an-Nawawi cet. Mesir; Shahih Turmudzi juz 5 hal. 30 cet Dar al-Fikr; Musnad Ahmad juz 5 hal. 25 cet. Dar Ma'arif – Mesir; Mustadrak al-Hakim juz 3 hal. 133, 146, 147, 158; juz 2 hal. 416; al-Mu'jam Shaghir juz 1 hal. 65 dan 135; an-Nasai, Khasa'ish Amirul Mu'minin hal. 4 cet at-Taqaddum al-ilmiyyah – Mesir; hal. 8 cet Beirut; hal. 49 cet. Al-Haidariyyah.
[27] Imam ke 6 Mazhab Syi'ah Imamiyah. Ia putera Imam Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Fathimah binti Rasulullah saww.
[28] 'Ali ibn Ibrahim, Tafsir Qummi juz 1 hal. 96.
[29] Bab Fadhail Ali ibn Abi Thalib juz 2 hal. 362; cetakan yang bersama Syarahnya juz 15 hal. 180.
[30] Jalaluddin as-Suyuthi, itmam ad-Dirayah li Qurra an-Nuqayah halaman 166.
[31] Qs. 17:85