Jumat, 09 Januari 2009

ASYURA KAPAN SAJA, KARBALA DIMANA SAJA

Oleh: Ustadz Husein Shahab. MA

Bismillâhir Rahmânir Rahîm Alhamdulillâhi Rabbil ‘Alamîn. Allâhumma shalli ‘ala Muhammadin wa ali Muhammad. Shallallâhu ‘alaika ya Ibna Rasulillah Shallallâhu ‘alaika ya Aba ‘Abdillah Shallallâhu ‘alaika ya Sayyidas Syuhada’ Shallallâhu ‘alaika ya Husain ibna ‘Alî wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Salam sejahtera bagimu wahai pejuang agung Karbala. Salam sejahtera bagimu wahai pahlawan Islam nan mulia. Salam sejahtera bagimu wahai penyuluh perjalanan umat manusia. Semoga Allah menjadikan kami orang-orang yang dapat meneruskan jejak langkahmu. Dan memperoleh syafaatmu kelak berkat wilayahmu

KARBALA seperti kata sebuah riwayat adalah rangkaian dari dua kata “karbun” dan “bala’”, yang artinya adalah kesedihan dan derita.

Karbala adalah syiar jihad keluarga Nabi yang mulia di dalam menegakkan kalimat al-haq.
Karbala adalah simbol perjuangan Ahlul Bait Nabi dan para pengikutnya di dalam upaya memisahkan antara Islam Muhammadi dan Islam Umawi.

Keagungan peristiwa Karbala dengan jelas terbukti melalui kehadiran Imam Husain as. beserta sejumlah keluarga dan sahabatnya di sana dalam rangka menegakkan kebenaran dan menumbangkan kebatilan.

Bukankah Husain bin ‘Alî as. adalah manusia surga seperti yang disabdakan oleh datuknya, Nabi saw, “Innal Hasan(a) wal Husain sayyida syabâb ahlil jannah…” “Sungguh, Hasan dan Husain adalah dua penghulu pemuda surga…”

Bukankah Husain termasuk dalam golongan Ahlul Bait Nabi yang disebutkan berkali-kali dalam al-Quran; dan bahkan dalam salah satu sabdanya Nabi berkata, “Anâ silmun liman sâlamtum, wa harbun liman hârabtum”, bahwa aku akan damai dengan siapapun yang berdamai dengan kalian, dan juga akan perang dengan siapapun yang perang dengan kalian.

Bukankah Husain adalah orang yang disabdakan Nabi, “Man ahabbanî wa ahabba hadhaini wa abâhuma wa ummahumâ kâna ma’î fil jannah”, bahwa siapa yang cinta kepadaku dan cinta kepada kedua orang ini (Hasan dan Husain) serta kedua ayah dan ibunya maka dia akan bersamaku di surga.”

Dalam riwayat Asma’ binti ‘Umais dikisahkan bahwa suatu hari Nabi saw sedang memangku Husain as yang masih bayi. Kemudian Nabi menangis sambil memandangi wajah Husain as. Asma’ bertanya, “Ya, Rasulullah! Ayahku dan ibuku adalah tebusanmu. Apa gerangan yang terjadi sehingga kau menangis ketika memandang wajah putramu Husain?”
“Wahai Asma’!” Sahut Nabi berlinang air mata. “Anakku ini kelak akan dibunuh oleh sekelompok umatku yang zalim. Sungguh, aku tak berkenan memberi mereka syafaat kelak di hari kiamat…”

Umat yang disebut oleh Nabi sebagai al-fi’atul bâghiyah atau umat yang zalim ini adalah musuh-musuh Husain yang memerangi beliau dan 72 sahabat serta belasan Ahlul Baitnya di sebuah padang sahara yang bernama padang Karbala. Pasukan mereka dipimpin oleh Ibnu Ziyad dan Umar bin Sa’ad atas perintah Yazid bin Muawiyyah ‘alaihil la’nah dengan jumlah pasukan sekitar 30.000 orang.

Karbala adalah saksi hidup makna pengorbanan kepada agama Allah. Semua pejuang Karbala mulai dari Imam Husain yang paling suci sampai kepada anak-anak karbala yang tak berdosa, semuanya berkorban demi tegaknya agama Allah Swt. Husain menjelaskan perjuangannya menentang kezaliman Yazid dan kemunkaran-kemunkaran yang dilakukannya:
“Kami adalah keluarga Nabi. Tambang Risalah. Tempat kunjungan para malaikat dan pusat rahmat Ilahi. Karena kamilah maka Allah membuka dan mengakhiri segala sesuatu. Sementara Yazid adalah seorang yang fasik, peminum arak, pembunuh nyawa yang tak berdosa dan terang-terangan melanggar perintah Allah. Orang seumpamaku takkan mungkin akan memberinya bai’at.”

Dalam pandangan Imam Husain, keluarga Nabi yang suci yang merupakan kriteria kebenaran tidak boleh dicampuradukkan dengan kebatilan yang yang dibawa oleh Yazid. Islam Muhammadi harus dipisahkan dengan Islam Umawi. Nabi Muhammad harus dibedakan dengan Abu Sufyan. ‘Alî tidak boleh digandengkan dengan Muawiyyah. Husain tidak boleh dipolusi dan dinodai oleh orang seperti Yazid. Umat harus diselamatkan dari pengkaburan ideologi dan akidah seperti yang dikehendaki oleh Yazid dan orang-orangnya.
Husain berkata lagi:

“Ayyuhannas. Dengarlah kata-kataku dan janganlah kalian terburu-buru ingin memerangiku hingga aku bisa memberi kalian nasehat yang mana kalian berhak mendengarnya. Lihatlah siapa diriku dan diri kalian. Sadarlah dan perhatikan baik-baik kedudukan aku di sisi kalian. Apakah kalian boleh membunuhku dan menginjak-injak keluargaku. Bukankah aku adalah putra dari putri Nabi kalian dan putra washy-nya dan orang pertama yang beriman kepada Nabi Muhammad saw? Bukankah Sayyidina Hamzah penghulu para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far at-Thayyar yang memiliki dua sayap di surga adalah pamanku? Bukankah kalian pernah mendengar sabda Nabi tentangku dan saudaraku Hasan bahwa kami adalah penghulu pemuda surga?”

“Demi Allah. Aku tidak keluar ke Karbala ini dengan keangkuhan dan mencari perang. Sungguh aku keluar ke sini untuk mencari ishlah demi kepentingan umat datukku Muhammad saw. Aku ingin menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Aku ingin berjalan di jalannya datukku Muhammad dan ayahku ‘Alî al-Murtadha…”

Pidato panjang Husain di Karbala menjelaskan kepada kita betapa suci perjuangannya itu. Beliau ingin menjunjung tinggi agama Allah dan ajaran datuknya, Muhammad saw. Beliau siap untuk berkorban apapun demi tegaknya agama ini. Beliau bahkan membawa putra dan putrinya agar mereka juga siap berkorban untuk menyalakan api agama Allah sehingga sinarnya bisa sampai ke seluruh umat manusia dan bisa menerangi seluruh isi jagad raya.

Ketika tekad sucinya itu diancam dan digertak oleh musuh-musuh Allah, Husain menjawab dengan kalimat terkenalnya yang kemudian menggerakkan seluruh semangat pejuang Islam yang datang setelahnya. “In kâna dînu Muhammad lam yastaqim illâ bi saifî, fayâ suyûfu khudzîni…” “Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa berdiri kecuali dengan merenggut nyawaku, maka aku rela bersimbah darah demi tegaknya agama Muhammad saw….”
Karbala kemudian memang menyaksikan pertumpahan darah yang sangat tragis sepanjang sejarah umat manusia. Butir-butir pasir Karbala menyaksikan kesetiaan sejumlah orang-orang mukmin yang yang cinta kepada Allah, kepada Rasulullah saw dan kepada keluarganya.

Ketika peperangan Karbala telah dikobarkan oleh pasukan Umar bin Sa’ad, ribuan anak panah dan tombak dilemparkan ke kemah Husain as. Hampir setiap sahabat dan keluarga Husain terluka karenanya. Seorang wanita tua, istri ‘Abdullâh bin Umair berkata kepada suaminya ‘Abdullâh,
“Ya ‘Abdallâh, bi abi anta wa ummi, qâtil dûnat tayyibîn dzuriyyata Muhammad saw…” “Wahai ‘Abdallâh, demi ayah dan ibuku. Berperanglah demi mempertahankan anak zuriat Muhammad saw…”

Tak lama setelah ia keluar, terdengar lantunan salam, “Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh.” ‘Abdullâh bin Umair gugur. Kepalanya dilemparkan ke kemah Husain. Ummu Umair menyambut kepala sang suami dengan senyum penuh keimanan. Dibersihkannya pipinya yang tak berleher dari pasir-pasir Karbala. Suaranya lirih, “Hanîan laka bil jannah…” “Selamat… selamat atas keberhasilanmu wahai suamiku tercinta. Surgalah balasan bagimu dari Allah…”
Suara lirih istri sejati ini terdengar oleh Syimir. Dengan geram ia perintahkan kepala Ummu Umair juga dipenggal. Jadilah ia wanita pertama yang syahid di Karbala.

‘Amir bin Qarthah al-Anshârî juga adalah sahabat Husain yang sangat setia. Ia tidak ingin sedikitpun luka mengenai putra Fâthimah al-Zahra ini. Setiap kali anak panah ditujukan kepada Husain, ia pasang badan untuk melindunginya. Ia berjuang mati-matian untuk menjaga putra Nabi dengan segala daya, hingga badannya ditancap-tancap puluhan anak panah. Amir tidak lagi merasakan sakitnya tusukan tombak dan panah. Cintanya kepada Husain mengobati seluruh deritanya di Karbala. Dengan tubuh yang bersimbah darah seperti itu ia menghadap.
“A wafaitu ya Husain…” “Apakah aku telah tunaikan kesetiaanku untukmu ya Husain?”
“Na’am. Anta amâmi fil jannah. Faqra’ Rasûlallâh ‘annîs salâm…” “Ya. Engkau akan berada di hadapanku kelak di surga. Dan sampaikan salamku kepada Rasulullah…”
Demikian pula dengan Muslim bin ‘Ausajah.

Riwayat berkata bahwa sebelum Muslim bin ‘Ausajah gugur, Habib bin Muzahir sempat memeluknya dan mencium-cium pipinya. Habib berkata, “Ya Muslim, seandainya engkau punya wasiat yang bisa kusampaikan, katakanlah kepadaku…”
Muslim berkata, “Ya, Habib! Aku berwasiat kepadamu agar kau bela Husain bin ‘Alî sampai tetes darahmu yang terakhir. Pastikan dirinya selamat meskipun kau gugur karenanya.”
Bahkan anak-anak remaja Karbala tak mau ketinggalan dalam membela Husain as. Putra Wahab tiba-tiba keluar dari kemahnya sesaat setelah melihat ayahnya jatuh ditebas musuh. Husain sempat menghalanginya.

“Wahai anakku! Engkau masih belum wajib berjihad.” Kata Husain. “Ayahmu baru saja terbunuh. Ibumu tentu tidak ingin kehilanganmu setelah ayahmu syahid?”
Anak remaja ini kemudian datang memeluk Husain sambil berkata, “Demi jiwaku yang ada di tangan Allah. Ya Husain, ibuku bangga denganku apabila aku bisa terbunuh dalam membelamu. Perkenankan aku keluar membelamu ya Husain…”
Remaja ini kemudian gugur menyusul sang ayah.

Demikian juga dengan putra Muslim bin Ausajah. Ayahnya gugur. Kepalanya dipenggal. Sang ibu memintanya untuk membela Husain. Sang ibu tidak rela anaknya hidup sementara Husain dan anak-anak Nabi yang lain disakiti. Ia perintahkan putranya keluar. Tak lama berselang kepala putra Ausjah tercinta dilemparkan ke kemah sang ibu yang mulia ini. Bukan jeritan tangis yang diraungkannya. Bukan suara sesal yang dikumandangkannya. Bukan rasa iba yang dipintanya. Ia berkata dengan suara yang didengar oleh isi alam semesta: “Ahsanta ya bunayya…”

“Demi Allah! Ahsanta ya bunayya…Engkau telah berbuat baik dan telah berbakti kepadaku wahai putraku dan penyejuk hatiku … Engkau telah senangkan hati Fâthimah al-Zahra. Engkau telah bahagiakan jiwa Rasulullah… Engkau telah mengabdi kepada Husain bin ‘Alî…”

Kesyahidan mereka kemudian disusul oleh syahadah putra-putra Ahlul Bait Nabi saw. ‘Alî Akbar minta izin dari ayahnya untuk keluar ke medan perang Karbala. Pemuda tampan ini adalah putra Husain yang berwajahkan datuknya, Muhammad saw. Sehingga Husain sering berkata, “Apabila kami rindu kepada Rasulullah, maka kami akan melihat wajah ‘Alî Akbar.”

Husain terasa berat memberi izin putranya. Apakah ia akan biarkan ‘Alî Akbar pergi menjemput maut? Husain mengangkat tangannya ke arah langit dan berdoa, “Saksikan ya Allah, telah menghadap mereka seseorang yang paling mirip wajahnya dengan wajah Rasulullah….”

‘Alî Akbar keluar dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Lebih dari seratus musuh-musuhnya tewas di pedangnya. Tapi kehausan yang mencekiknya memaksanya pulang ke kemah ayahnya.

“Wahai ayah tercinta.” Kata Akbar. “Rasa haus telah mencekikku. Besi yang berat ini telah menghimpitku. Adakah setetes air yang bisa kuteguk?”

Di dalam riwayat dikatakan bahwa Husain memberikan kepadanya cincinnya untuk dikecup. Sebagian yang lain berkata bahwa Husain mengulurkan lidahnya untuk diisap oleh putranya tercinta. Tapi apa daya. Lidah Husain lebih kering dari kayu-kayu sahara yang kering.
‘Alî Akbar keluar lagi dari kemahnya untuk kedua kali. Ia kini tidak segagah sebelumnya. Dalam keadaan badan yang sudah mulai goyah tiba-tiba kepalanya dipukul dari belakang oleh seorang durjana. ‘Alî berteriak, “ya abatâh…” “Duhai ayahku Husain…”

Kuda ‘Alî Akbar berlari tanpa tujuan yang jelas, hingga membawanya ke kemah musuh. Di sana ‘Alî dikepung dari berbagai sudut. Badan ‘Alî dicabik-cabik dengan tombak-tombak yang tajam. Pedang yang tajam mengiris-iris mukanya yang memancar sinar Muhammad saw. Suaranya yang parau kemudian mengirim salam terakhir untuk ayahnya, "’Alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Setelah satu persatu isi keluarganya gugur, harapan Husain tertumpu pada saudaranya Abul Fadhl ‘Abbas. Ia adalah pembawa bendera pasukan Husain sekaligus pelindung putri-putri az-Zahra yang kini mulai yatim di Karbala.
Suara tangis mereka yang haus di kemah Karbala yang panas telah mengiris-iris hati Abbas bin ‘Alî as. Ia berjanji akan menembus pasukan musuh untuk bisa menjemput air. Ia berjanji kepada wajah-wajah Fâthimah dan Khâdijah untuk bisa meminum walau setetes air Furat.

Sebelum tiba di tepi sungai Syimir menyaksikan gelagat ‘Abbas yang ingin mengambil air. Dengan suara lantang ia berkata, “Hai anak Abu Turab, sekiranya seluruh air di dunia ini berada di bawah kekuasaanku, aku tidak akan berikan setetes pun kepada kalian sebelum kalian memberikan bai’atnya kepada Yazid…”

Ketangkasannya memang bisa menghantarnya sampai ke tepian sungai. ‘Abbas ingin minum menghilangkan rasa haus yang telah mencekiknya selama tiga hari. Tangannya telah penuh dengan air. Bibirnya hampir-hampir saja menyentuh sejuknya air Furat. Namun ia teringat akan Husain dan keluarga Nabi di kemah sana. “Demi Allah.” Kata ‘Abbas. “Tidak layak aku minum air ini sementara kehausan telah mencekik saudaraku Husain…”

Syimir kemudian memerintahkan kepada seluruh pasukannya untuk menghadang Abbas dan merampas atau menumpahkan airnya. Abbas menghadapi mereka dengan ketangkasan perang ‘Alî bin Abi Thalib. Dari balik pohon kurma, tiba-tiba seorang pengecut menebaskan pedangnya memotong tangan kanan Abbas. Abbas menangkap wadah air dengan tangan kirinya. Ia ingin menyelamatkan air itu agar bisa diminum oleh bibir-bibir kecil Fâthimah. Pedang yang lain kemudian menebas tangan kirinya. Abbas masih berusaha menyelamatkan air itu dengan menggigit talinya. Tapi para durjana itu memanah wadah air itu sampai tumpah dan jatuh dari mulutnya. Kepalanya kini terhantam besi. Badannya disayat-sayat dengan pedang yang tajam. Perutnya ditikam. Abbas menangis, bukan karena sakit. Ia menangis karena tak dapat menghilangkan haus putri-putri Fâthimah. Tak lama Husain mendengar suara Abbas yang terakhir, ‘alaika minnis salam ya Aba ‘Abdillâh…”

Sepeninggalnya Abbas, Husain berkata, “Kini tulang punggungku patah sudah. Kini saatnya aku menghadap Tuhanku…”
Husain berdiri kokoh di hadapan ribuan musuh yang mengepungnya. Husain menguman-dangkan falsafah perjuangannya di Karbala.

Al-mautu awla min rukub al-‘ari. Wal ‘aru aula min dukhulin nari. Ana al-Husain ibnu ‘Alî. ‘alaitu an la antsani. ahmi ‘iyalati abi. amdhi ‘ala dinin nabi.
(Sungguh, mati lebih utama ketimbang jatuh pada kehinaan; dan lebih utama ketimbang masuk ke dalam api neraka jahannam. Akulah Husain bin ‘Alî yang tak akan pernah tunduk pada kezaliman. Aku bela keluarga ayahku aku berjalan di atas agama sang Nabi)

Sejarah mencatat banyak lawan tewas di tangannya. Husain dikepung oleh ribuan orang. Umar bin Sa’ad memerintahkan pasukannya menyerang Husain dari berbagai penjuru. Dia berkata. “Celaka kalian. Inilah putra singa orang Arab. Inilah putra ‘Alî bin Abi Thalib. Serang dan kepung dia dari berbagai sudut!!!”

Peperangan yang tak seimbang itu akhirnya memaksa Husain duduk sejenak istirahat melepas rasa letihnya. Tiba-tiba Abu Hatuf membidikkan anak panahnya ke dahi Husain. Tempat sujud itu kini menyemprotkan darah segar. Wajah Husain bersimbah darah. Janggutnya kini berwarna merah. Husain berkata, “Ya Allah. Engkau saksikan sendiri apa yang dilakukan oleh hamba-hambamu yang durhaka ini kepadaku. Ya Allah hancurkan mereka. Habisi mereka. Jangan Kausisakan satupun mereka di atas muka bumi. Jangan Kau ampuni mereka…”

Husain berdiri lagi dengan tenaga yang tersisa. Darahnya yang banyak tumpah telah menguras seluruh tenaganya. Saat wajahnya terangkat, tiba-tiba sebuah batu besar dilemparkan dan persis mengenai dahinya yang luka. Darahnya tambah tumpah. Sebagian darah suci itu menutupi matanya. Husain mengambil ujung bajunya untuk membersihkan matanya. Tengah tangannya terangkat tiba-tiba sebuah anak panah bermata tiga kemudian dilesatkan dan persis mengenai jantungnya. Dada Husain luka. Jantungnya robek. Anak panah itu bahkan menembus dadanya hingga ke belakang. Husain menyebut-nyebut nama Allah, “Dengan asma’ Allah. Dengan bantuan Allah. Dan di atas agama Allah. Ilahi Engkau Maha tahu bahwa mereka telah membunuh satu-satunya putra dari putri Nabi-Mu yang masih ada di atas muka bumi ini…”

Darah tumpah itu ditampung dengan kedua tangannya, lalu dilemparkannya ke langit. Demi Allah, tidak setetespun dari darah itu yang kemudian jatuh ke bumi. Demi Allah, sungguh darah Husain tidak lebih hina dari darahnya unta Nabi Shaleh as.

Husain mengambil sisa-sisa darah yang ada lalu mengoles-oleskannya ke wajahnya seraya berkata, “Seperti inilah aku akan berjumpa dengan datukku Muhammad saw. Aku akan katakan bahwa yang membunuhku adalah Fulan bin Fulan…”

Husain jatuh tersungkur. Wajahnya bukan hanya berlumuran darah. Pasir Karbala hampir-hampir menyelimuti sekujur tubuhnya. Saat Husain tergeletak Umar bin Sa’ad berteriak, “Turun kalian dan penggal lehernya!!!”

Imam Bâqir as berkata, “Setelah itu mereka perlakukan Husain sedemikian buruk hingga kepada anjingpun mereka dilarang memperlakukan sedemikian.”
Mereka tusuk Husain dari belakang. Mereka sobek Husain dengan pedang yang tajam. Mereka tombak kepala Husain. Mereka lempar Husain dengan batu. Bahkan, mereka penggal kepalanya yang mulia…

Wa ‘alaika minnas salâm ya Abâ ‘Abdillâh…
Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn []

Sisa keluarga Ahlul Bait yang masih tersisa dibawa ke Kuffah & Damaskus dengan cara di rantai dan diborgol seperti tawanan untuk dihadapkan kepada Yazid 'alaihil la'nah termasuk penggalan kepala Imam Husein dan seluruh Martyr Karbala.

Senin, 05 Januari 2009

Muhkam dan Mutasyabih

بسم الله الرحمن الرحيم
Makalah Ulum al-Qur'an di Univ. Paramadina

A. Mukaddimah

Al-Qur'an al-Karim adalah kitab standar kehidupan umat manusia dari bangsa dan penganut faham apa pun. Al-Qur'an adalah standar (rujukan) umat manusia yang hidup di segala zaman dan ruang. Dia tetap up to date walaupun manusia berlomba-lomba menciptakan dan meningkatkan kebudayaan dan peradaban mereka tidak akan dapat mengejar kemajuan al-Qur'an.

Misalnya: Sampai hari ini umat manusia belum bisa menyusun alfabet-alfabet jenis-jenis hewan, pada hal al-Qur'an sudah menyebut dan menyinggungnya 1400 tahun yang lalu, belum lagi permasalahan astronomi dan perbintangan atau metafisik lainnya.

Jika masa kini seorang atheis misalnya, tidak mengakui al-Qur'an karena ia tidak bertuhan sama sekali. Seorang Kristen, belum sampai menemukan kebenaran yang dikandung oleh al-Qur'an sehingga ia belum sanggup mengimaninya, maka yakinlah pada suatu saat ia akan pasti mencarinya, tidak dapat tidak.

Seorang yang dahaga akan mencari air, yang lapar akan mencari makanan, begitu pula yang rohaninya kering, pasti akan mencari al-Qur'an.

Sejak Allah menurunkan kalimat-Nya yang pertama di bulan Ramadhan 14 abad yang silam, kalimat-kalimat yang berbunyi:
إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِى خَلَقَ
"Bacalah, dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan". (QS.96 : 1)

Perlu dicatat bahwa seruan membaca harus ditafsirkan secara luas agar orang sampai pada pengertian bahwa: "tidak ada satu ilmu pengetahuan di atas dunia ini yang dicapai oleh manusia tanpa membaca "iqra' sebagai kuncinya (pendahuluannya) tetapi keagungan kata membaca "iqra' yang dipakai oleh al-Qur'an yaitu dengan tambahan "bismi rabbik" (dengan nama Tuhanmu). Maksudnya ialah: "Bacalah wahai Rasul, wahai manusia dengan nama Tuhan-Mu. Ini adalah satu ikatan agar ilmu pengetahuan tidak menyeleweng dan disalahgunakan.

Penemu-penemu ilmu pengetahuan yang baru, karena mereka membaca untuk mendapatkan popularitas atau membaca untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau membaca ilmu untuk ilmu (Sience for Sience), maka mereka acapkali tidak dibahagiakan dengan ilmu yang merupakan hasil membaca "iqra' tadi.

Umat manusia dilanda oleh penyelewengan-penyelewengan hasil membaca "iqra' yang dilakukan bukan karena Allah. Di antara hasil-hasilnya ialah: senjata-senjata konvensional dan non konvensional yang akan membelah bumi. Mereka siang dan malam ditimpa rasa takut terhadap hasil ciptaan mereka sendiri, sehingga banyak dari mereka yang stress akibat penyimpangan dari maksud kata membaca "iqra' yang diinginkan oleh Allah Maha Pencipta.

Sejak awal ayat tersebut diturunkan, maka sejak detik-detik itu al-Qur'an merupakan buku bacaan yang paling populer bagi umat manusia hingga akhir zaman nanti.

“Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang paling banyak dibaca dan dipelajari di atas dunia.”[1]
“Tidak ada buku sepanjang sejaraj yang populer dibaca dan dipelajari manusia melebihi al-Qur’an.”[2]

Hal demikian itu bukanlah berarti bahwa tidak ada di antara manusia yang sudah mengenal bahwa al-Qur’an itu daripada Allah diperuntukkan kepadanya, dan kepada sesamanya, authentic, tidak disentuh oleh keraguan, apalagi kebathilan, namun karena kecongkaan atau individualitet ia menolaknya. Ia lebih suka memilih adanya pertentangan antara hati kecil dan fikirannya, berjalan lebih lama daripada mengamankan stabilisasi bathin! Bukankah itu sesungguhnya siksaan bathin?

Umat manusia telah berada di tepi jurang kehancuran yang akan melenyapkan kita sama sekali akibat dari bermacam-macam penyakit jiwa dan akhlak yang menimpa kita, sehingga mereka lupa kepada Allah.

Ilmu sekuler yang dikandung oleh otaknya mendorong ia selalu membuahkan alat pembinasa bagi ia dan sesamanya.

Akibat dari egoisme, syofinisme, demoralisasi yang berkecamuk di mana-mana. Menusia hidup penuh dengan ketakutan akibat perbuatannya sendiri.

Jika Allah swt. masih belum mentaqdirkan kehancuran total terhadap kita, maka Ia akan menyampaikan umat manusia ini kepada-Nya. Jalan yang tidak berliku-liku, tak berlatar belakang itu dan ini, simple, pintas, jelas dan tegas itulah as-Shirat al-Mustaqim. Tetapi tidak ada jalan ke sana kecuali melalui al-Qur’an, baru jalan itu selamat tercapai.

Umat manusia harus bersyukur kepada Allah bahwa Ia masih berkenan memelihara al-Qur’an sampai sekarang dalam keadaan authentik.

Ada golongan yang bukan saja menolak al-Qur’an namun ia mengingkari al-Qur’an itu dari pada Allah. Ia mengatakan bahwa al-Qur’an dikarang oleh seorang yang bernama Muhammad akibat penyakit ayan atau penyakit gila.

Kepada mereka itu, dapat dibaca di dalam buku “Benarkah Al-Qur’an Wahyu Allah”. Dalam bahasan buku tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an memang benar dari Allah, tiada mengandung syak lagi, tentunya dengan dalil-dalil aqli (akal).

Memang tidak mudah kita kumpulkan dalil-dalil akal untuk menyimpulkan bahwa al-Qur’an wahyu Allah yang diturunkan atas Nabi Muhammad saww. Kita boleh mencoba sebelum masuk ke pembahasan muhkam dan mutasyabih dalam makalah ini. Untuk mengumpulkan dua atau tiga dalil akal bahwa al-Qur’an itu dari Allah bukan karangan Muhammad.

Tidak ada alternatif lain yang dapat mengatakan bahwa al-Qur’an itu mutlak (bahasanya, susunan titik komanya) daripada Allah. Sebab kalau dikatakan bahwa al-Qur’an itu karangan Muhammad maka pasti kita menganggap bahwa Muhammad itu adalah Tuhan.

Sebenarnya untuk mengetahui kebenaran al-Qur’an, orang tidak perlu melalui jalan yang berliku-liku, bertentangan dengan rasio atau perasaan, ia memerlukan dua syarat mutlak:
1. Ilmu pengetahuan.
2. Ketidak fanatikan.

Sebelum penulis memulai makalah ini, penulis ingin menegaskan bahwa kita sebagai pewaris kitab suci ini, terbagi pada lima golongan:
1. Golongan yang hanya menerima al-Qur’an saja namun ia tidak atau belum membacanya. Ia tidak mempunyai kesempatan belajar membaca dalam bahasa aslinya. Jadi, ia hanya menerimanya sebagai kitab suci dari Allah.
2. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya.
3. Mereka yang membacanya dalam bahasa aslinya dan mengerti artinya.
4. Mereka yang membacanya, mengerti maknyanya, kemudian ia berhasil menerapkan isinya pada diri dan keluarganya.
5. Yang terakhir, mereka yang membacanya dengan bahasa aslinya, mengerti maknanya, mengamalkannya, kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

Masing-masing tidak tahu, kita pembaca tergolong dari golongan yang mana? Mudah-mudahan kita dapat mewujudkan maksud diturunkannya kitab suci al-Qur’an, yaitu:
“Kita membacanya dan mendapat pahala, kita mengamalkannya mendapat dua pahala, kita mengajarkannya mendapat tiga pahala.
Makalah ini akan menjelaskan mengenai Muhkam dan Mutasyabih, dimulai dari pengertian Muhkam dan Mutasyabih baik secara umum atau khusus, pandangan para ulama tentang muhkam dan mutasyabih, dan menjadi bahan perbedaan pendapat di antara mereka.

B. Pengertian

Pengertian Muhkam dan Mutashabih Secara Umum

Pada awalnya pembahasan muhkam dan mutasyabih, adalah cabang dari ilmu kalam. Karena al-Qur’an merupakan teks suci yang cukup sulit terdeteksi maknanya, maka ulama ahli memasukkan pembahasan muhkam dan mutasyabih tersebut sebagai kajian ilmu tafsir. Seperti dalam ilmu fikih, ada qath’i dan ada zhanni. Yang qath’i adalah muhkam, dan yang zhanni adalah mutasyabih.

Muhkam diambil dari kata ihkâm, artinya kekokohan, kesempurnaan.[3] Bisa bermakna, menolak dari kerusakan.[4] Muhkam adalah ayat-ayat yang (dalâlah) maksud petunjuknya jelas dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Al-hukm berarti memutuskan perkara antara dua hal. Maka, hakim adalah orang yang mencegah dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa. Ihkam al-kalam berarti memperkuat perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah.

Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.[5] Ayat-ayat seperti ini wajib diimani dan diamalkan isinya.

Karena pengertian itu, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah Muhkam. Sebagaimana firman Allah: "inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya diperkuat dan dijelaskan secara rinci yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. Hud: 1)
Maksudnya, bahwa kata-katanya fasih, kuat, tiada tandingan, sekaligus dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan.

Sedangkan mutasyabih diambil dari kata tasyâbaha – yatasyâbahu, artinya keserupaan dan kesamaan, terkadang menimbulkan kesamaran antara dua hal. Tashâbaha ar-rajulâni, dua orang saling menyerupai[6]. Dalam istilah fikih, seseorang menemukan kata syubhat, artinya sesuatu barang atau perkara yang belum jelas kehalalannya dan keharamannya. Mutasyabih adalah ayat-ayat yang makna lahirnya bukanlah yang dimaksudkannya. Oleh karena itu makna hakikinya dicoba dijelaskan dengan penakwilan. Bagi seorang muslim yang keimanannya kokoh, wajib mengimani dan tidak wajib mengamalkannya. Dan tidak ada yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihât melainkan Allah swt.

Dengan pengertian itulah, Allah swt menyifati al-Qur'an bahwa seluruhnya adalah mutasyabihat sebagaimana didalam firman-Nya: ""Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)". (Qs. Az-Zumar: 23).

Seperti firman Allah swt: "dan mereka diberi yang serupa dengannya". (Qs. Al-Baqarah: 25). Ayat ini menerangkan sekaligus memberi kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh berupa surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir dan terdapat pula buah-buahan yang serupa tapi tidak sama seperti buah-buahan yang terdapat di dunia.

Masing-masing muhkam dan mutasyabih dalam pengertian secara mutlak dan umum, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak menjadikan kontradiksi ayat al-Qur'an yang satu dengan ayat-ayat yang lain.

Jadi, pernyataan bahwa "al-Qur'an itu semuanya muhkam, karena adalah dengan pengertian kuat, sastranya tinggi, yakni ayat-ayatnya serupa, saling membenarkan satu sama lain. Tidak ada kontradiksi di dalam al-Qur'an. Allah berfirman: "Apakah mereka tidak memahami al-Qur'an, dan seandainya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, pasti mereka mendapati banyak pertentangan (satu sama lain) di dalamnya". (Qs. An-Nisa_: 82)

Pengertian Muhkam dan Mutasyabih Secara Khusus

Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah.

Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7)
Muhkam dan mutasyabih terjadi banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting di antaranya sebagai berikut:
1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya Allah-lah yang mengetahui akan maksudnya.
2. Muhkam adalah ayat yang dapat diketahui secara langsung, sedangkan mutashabih baru dapat diketahui dengan memerlukan penjelasan ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam al-Qur'an dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Seperti halal dan haram, kewajiban dan larangan, janji dan ancaman.
Sementara ayat-ayat mutasyabih, mereka mencontohkan dengan nama-nama Allah dan sifat-Nya, seperti:
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْض (البقرة: 255)
"Kursi-Nya meliputi langit dan bumi".
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
"Yang Maha Pengasih, yang bersemanyam di atas 'Arsy".
تَجْرِى بِأَعْيُنِنَا جَزَاءًا لِمَنْ كَانَ كُفِرَ (القمر: 14)
"(bahteranya nabi Nuh as) berlayar dengan pantauan mata Kami. (seperti itulah musibah yang Kami turunkan) sebagai balasan bagi orang yang ingkar".
إِنَّ الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَايُبَايِعُوْنَ اللهَ, يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)
"Sesungguhnya orang-orang yang membai'at-mu ya Rasul, mereka-lah yang berikrar menerima (bahwa Tuhan mereka) adalah Allah. Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka".
وَلاَتَدْعُ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لاَإِلَهَ إِلاَّ هُوَ كُلُّ شَيْئٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ (القصص: 88)
"dan jangan (pula) engkau sembah tuhan yang lain selain Allah. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah".

C. Pandangan Para Ulama

Para ulama membagi ayat-ayat mutasyabih:
· Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat, dll.
· Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari lahir dari singkatnya redaksi.
· Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan melakukan penyucian diri.[7]
Abdullah ibn Abbas dan Ibnu Mas'ud ra: Bahwasanya ayat-ayat muhkam adalah yang menghapus, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang dihapus. Begitu juga riwayat dari ad-Dhahhak.[8]
Menurut Mujahid: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang Allah jelaskan akan kehalalannya, keharamannya dan tidak ada kerancuan maknanya.[9]

Demikian juga Imam Syafi'i berkata sebagai berikut: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang tidak mungkin takwilnya lebih dari satu, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil.[10]

Jika kita melihat pendapatnya Imam Syafi’i di atas, bahwa ayat mutasyabih adalah ayat yang kemungkinan bermacam-macam takwil, kita bisa mengambil contoh mengenai kata “nikah”[11] di dalam al-Qur’an, bisa berarti dua, al-wath_u (berkumpul dalam arti bersetubuh) atau al-‘aqdu (sebuah perjanjian).
Atau bisa juga kita lihat dalam ayat: “wanita-wanita yang dithalak (diceraikan) hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.[12] “Quru” bisa berarti suci atau bisa berarti haidh. “Tiga quru”, sementara ulama - yang bermazhab Hanafi – dipahami dalam arti tiga kali haid. Sedangkan ulama yang bermazhab Maliki dan Syafi’i, tiga quru diartikan tiga kali suci (masa antara dua kali haid).[13]

Riwayat dari Qotadah: bahwa ayat-ayat muhkamat yaitu ayat yang wajib diamalkan.[14]
Yahya ibn Ya'mur berkomentar: bahwa ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat yang mencakup hal-hal kewajiban seorang hamba, larangan, dan ayat-ayat muhkam juga sebagai pondasi kekuatan umat Islam.[15]

al-Ashfahani dalam Mufrodatnya berkomentar bahwa muhkam itu yang memberikan faedah pengertian kepada satu hukum. Hukum lebih umum dari pada hikmah, karena setiap hikmah yaitu hukum sedangkan hukum belum tentu menjadi buah hikmah.[16] Sedangkan mutasyabihat al-Ashfahani berkomentar panjang dan membagi menjadi 3 macam: 1.) mutasyabihat dari segi lafazh, 2.) mutasyabihat dari segi makna, dan 3.) mutasyabihat dari segi keduanya. Dan mutasyabihat dari segi lafazh terbagi menjadi 2 macam. Tidak mudah sepertinya untuk menjelaskan pembagian dari segi lafazh, karena setelah itu terdapat bagiannya lagi. Mutasyabihat dari segi makna, al-Ashfahani memberikan contoh kepada sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan dalam benak kita. Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi 5 bagian: 1.) dilihat dari segi ukuran (kammiyyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu al-musyrikin – 9:5. 2.) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau sunnah, contohnya: fankihuu maa thόba lakum – 4:3. 3.) mutasyabihat dari segi waktu seperti nâsikh dan mansûkh, contoh: ittaqullha haqqo tuqόtih – 3:102. 4.) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang memang ayat tersebut turun ditempat itu, seperti: wa laisa al-birro bi an tuu al-buyût min zhuhûrihâ – 2:189. Dan yang ke 5.) dari segi syarat-syarat yang menentuakan sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat dan nikah.[17]

Sedangkan menurut Jabir ibn Abdullah al-Anshari ra, dan ini sependapat juga oleh Shi'bi dan Sufyan ats-Tsauri: Sesungguhnya ayat-ayat muhkam adalah ayat yang diketahui dan dapat dipahami oleh para ulama akan makna dan tafsirnya, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat-ayat rahasia Allah, hanya Allah swt. yang mengetahui, seperti hari kiamat, kematian seseorang, dll.[18]

Setelah melihat beberapa komentar sebagian ulama, dalam pendapat mereka sebenarnya (laa tanaafiya) tidak saling bertentangan.

D. Perbedaan Pendapat

'Athaf atau Isti'naf.

Surat Ali Imran ayat 7 merupakan salah satu bahan perhatian ulama yang mendalami ilmu al-Qur'an. Allah swt berfirman: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Di antara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutashabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.

Sampai di kalimat: "wamǻ ya’lamu ta’wìlahū illallah. War rǻsikhūna fil ‘ilm. Yang menjadi bahan perbedaan pendapat adalah huruf wawu setelah kalimat illallah, wawu tersebut athaf (penyambung) atau wawu isti’naf (permulaan). Karena jika waqaf (terhenti) sampai di kalimat illallah, berarti yang hanya mengetahui ayat-ayat mutasyabih adalah Allah swt. Adapun jika wawu itu athaf, atau tidak waqaf, maka ada yang mengetahui takwilnya selain Allah swt.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah ada yang mengetahui takwil al-Qur'an selain Allah swt? pertanyaan ini juga yang menjadi bahan perbedaan pendapat antara ulama. Mayoritas ahli ushul dan sahabat Nabi khususnya Ibn Abbas, perbendapat bahwa "wawu" tersebut huruf 'athaf, karena pengakuan Ibn Abbas sendiri bahwa dirinya mengetahui takwil. Anâ minar râsikhîna alladzîna ya'lamûna ta'wîlahu.[19] Begitu juga Nabi saw. pernah berdo'a untuk Abdullah Ibn Abbas: Allahumma faqqihhu fiddîn wa 'allimhu at-Ta'wil.[20]

Alasan DR. Wahbah az-Zuhaili, karena bahwasanya Allah swt menghina orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan mencari-cari fitnah dan menyesatkan orang lain.
Ancaman bagi mereka yang menimbulkan fitnah dengan mentakwilkan ayat-ayat mutasyãbih. 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. membacakan ayat: "Dia (Allah)-lah yang menurunkan al-kitab (al-Quran) kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamât, itulah pokok-pokok isi al-Quran, dan yang lain terdapat juga ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihât untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Qs. Ali Imran: 7) 'Aisyah berkata: Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyãbihãt, maka merekalah orang-orang yang Allah namai dalam ayat tersebut – fî qulûbihim zaigh – di dalam hati mereka condong kepada kesesatan, maka jauhilah. Muslim.[21]
Di hadits lain Rasulullah saww. bersabda: "Jika kalian melihat orang-orang yang mentakwilkan al-Qur'an dengan tujuan untuk mencari-cari fitnah dari hal-hal yang mutasyãbih, tujuan mereka hanya untuk saling mendebat, maka jangan kalian duduk bersama mereka.[22]

Kemudian alasan mereka yang berpendapat bahwa wawu 'athaf, di karenakan ada hadits dari Nabi saw, ketika beliau saw ditanya tentang ciri-ciri arrâsikhûn, beliau saw menjawab: “Mereka yang baik budi pekertinya, selalu benar dalam ucapannya, konsisten dalam perbuatannya, suci hatinya, menjaga perut dan kemaluannya (dari hal-hal yang syubhat apalagi yang haram), maka mereka-lah ar-râsikh fil 'ilm.[23]

Jadi, yang mengetahui ayat-ayat yang mutasyãbih tentu orang-orang yang suci. Akan tetapi setiap permasalahan, tidak terlepas dari pertanyaan "siapa?".

Yang menarik untuk dijadikan pengetahuan, yang harus kita hargai pendapatnya, mereka dari kalangan Syi'ah moderat[24] berpendapat, bahwa mayoritas ulama mereka menafsirkan "wawu" tersebut huruf 'athaf. Tentu kita bertanya: siapa yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat selain Allah swt menurutnya?
Ahli Tafsir legendaris mereka 'Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai dalam kitabnya al-Qur'an fil Islam bab muhkam dan mutasyabih,[25] mereka yang mengetahui takwil ayat-ayat mutasyãbihat adalah mereka yang tercantum di dalam Qs. Al-Waqi'ah: 79.
لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُوْنََ

Al-muthahharûn menurut mereka bukan dituju kepada orang-orang yang suci karena berwudhu. Mereka menafsirkan al-muthahharun adalah orang-orang yang disucikan (isim maf'ul). Alasan mereka adalah dikarenakan al-Qur'an al-Karim merupakan kitab yang suci, maka yang harus mengetahui kandungan isinya yaitu orang-orang yang suci, tidak boleh orang-orang yang kotor dan yang berdosa. Kita selalu bertanya: "siapa lagi menurut mereka orang-orang yang disucikan?

Karena sebaik-baik cara untuk mengetahui al-Qur’an adalah dengan al-Qur’an itu sendiri. Karena al-Qur’an itu sendiri merupakan satu kesatuan yang isinya saling berhubungan antara satu ayat dengan lainnya, serta saling menafsirkan.

Ketika mereka mendapatkan pertanyaan: “Siapa orang-orang yang disucikan? Mereka menjawab terdapat di Qs. Al-Ahzab: 33 "Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan segala noda (dosa) dari kalian wahai Ahlul bait dan mensucikan sesuci-sucinya.
Berdasarkan riwayat dari 'Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa'id al-Khudri, Anas ibn Malik, ayat ini turun untuk Rasulullah saww. Imam 'Ali, Fathimah, al-Hasan dan al-Husein.[26]

Muhammad ibn Ya'qub meriwayatkan dengan sanad yang tersambung sampai Imam Ja'far as-Shadiq as.[27] Imam Ja'far berkata: "Kami adalah orang-orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaati, dan kami adalah orang-orang yang mendalam ilmunya (râsikhûna fil ilm) dan kami juga termasuk orang-orang yang dihasudi……"[28]

Muslim dalam shahihnya meriwayatkan, Nabi saww. meninggalkan dua pusaka untuk umatnya agar selamat dan tidak tersesat, yaitu al-Qur'an dan keluarganya. Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri: Pada suatu hari Rasulullah saww. berdiri di hadapan kita di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum seraya berpidato. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah, menyampaikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau bersabda: Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku hanya seorang manusia, aku merasa bahwa utusan Tuhanku (malaikat maut) akan segera datang dan aku akan memenuhi panggilan itu. Dan aku tinggalkan kepada kalian ats-tsaqalain (2 pusaka), yang pertama al-Qur'an, didalamnya terdapat petunjuk, maka perpegang teguhlah kalian. Lalu beliau menganjurkan agar berpegang teguh dengan al-Qur'an, kemudian beliau melanjutkan: dan ahlu baitku; kuperingatkan kalian akan Ahlu Baitku. (beliau ucapkan tiga kali).[29]

Jadi, mereka mazhab Syi'ah lebih mengambil jalan aman, karena di samping Rasul meninggalkan al-Qur'an – apalagi pada waktu itu al-Qur'an belum terkodifikasi – beliau juga meninggalkan orang-orang yang lebih faham, yaitu keluarganya yang Allah swt sucikan; bukan hanya ayat-ayat mutasyabihat, bahkan seluruh isi kandungan al-Qur'an Ahlul Bait mengetahuinya.
Sebagaimana ucapan Imam Syafi'i ra.: "Shâhibul baiti adrό" (tuan rumah lebih mengetahui).[30] Dengan mengenal pribadi-pribadi yang maksum, kita juga tidak sembarangan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena betapapun pandainya seseorang menafsirkan ayat al-Qur'an mereka juga termasuk: "wamâ ûtîtum minal ilmi illâ qalîlan". Dan tidaklah Aku berikan ilmu kepada kalian melainkan sedikit.[31]
Selesai sudahlah makalah ini, mudah-mudahan menjadi bahan pengetahuan, apalagi menambahkan ketaatan kita kepada Allah swt. tentu kita tidak mau menjadi orang-orang yang Allah cantumkan dalam firman-Nya:
عَامِلَةٌ نَاصِبَة. تَصْلَى نَارًا حَـامِيَة.
"Beramal dengan kelelahan. nanti mereka masuk neraka hamiyah".


Bibliografi
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Al-Qur'an fil Islam
3. Tafsir Qummi
4. Ulum al-Qur'an
5. Tafsir al-Mishbah
6. Tafsir ats-Tsauri
7. Tafsir al-Mawardi
8. Tafsir al-Qur'an
9. Tafsir al-Qurthubi
10. At-Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari'ah wal Manhaj
11. Jami' al-Bayan
12. Ad-Durrul Mantsur
13. Ahkam al-Qur'an
14. Ma'ani al-Qur'an
15. Terjemah Mabâhits fii ulum al-Qur'an
Hadits
1. Shahih Muslim
2. Shahih Turmudzi
3. Musnad Ahmad
4. Mustadrak al-Hakim
5. Khasâis Amiril Mukminin
6. Al-Mu'jam Shaghir
Lain-lain
1. Kamus al-Kautsar Arab - Indonesia
2. al-Mufradat al-Ashfahani
3. Itmâm ad-Dirâyah li Qurrâ an-Nuqâyah
4. Encyclopedia Britanica

[1] Encyclopedia Britanica, jilid 15 hal. 898
[2] Prof. Philip K. Hitty, guru besar di Universitas Brenston.
[3] Sayyid Muhammad Baqir Hakim, ulum al-Qur'an hal. 165.
[4] Idem.
[5] Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, terjemahan dari Mabahits fi ulum al-Qur'an. Hal. 264.
[6] Husein al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab – Indonesia, hal. 186 cet. Yayasan Pendidikan Islam - Bangil
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, tafsir Qs. Ali Imran: 7
[8] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 235; Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mantsur juz 2 hal. 4; Sufyan ats-Tsauri, Tafsir ats-Tsauri halaman 75; al-Jasshos, ahkam al-Qur'an juz 2 hal. 3
[9] An-Nukat wa al-'uyun Tafsir al-Mawardi, juz 1 hal. 369 - 370 cet. Dar al-Kutub – Beirut.
[10] Idem.
[11] Dalam Qs. 2:235 dan Qs. 2:237
[12] Qs. 2:228
[13] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah 1/456
[14] Abdurrahman ash-Shan'ani, Tafsir al-Qur'an juz 1 hal. 115.
[15] An-Nuhasi, Ma'ani al-Qur'an juz 1 hal. 344
[16] Mufradat al-Ashfahani bab "ha (kecil)" halaman. 127
[17] Mufradat al-Ashfahani bab "Syim" halaman 255
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi juz 4hal. 9-10
[19] Ust DR. Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-'Aqidah wa as-Syari'ah wa al-Manhaj. Juz 3 hal. 154
[20] Idem.
[21] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 4 hal. 9; ibn Jarir ath-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243
[22] Jami' al-Bayan juz 3 hal. 243.
[23] Ibn Jarir at-Thabari, Jami' al-Bayan juz 3 hal. 252.
[24] Karena mazhab yang satu ini terpecah, yang kami maksud adalah Syi'ah Imamiyyah – yang mempunyai 12 orang Imam; Imam 'Ali ibn Abi Thalib, al-Hasan, al-Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far as-Shadiq, Musa al-Kazhim, Ali ar-Ridha, Muhammad al-Jawwad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, dan keyakinan mereka bahwa yang ke 12 adalah Imam al-Mahdi sudah lahir dan di ghaibkan oleh Allah swt.
Syi’ah menganggap 12 orang tersebut sebagai Imam, Khalifah, atau Amir setelah Nabi saww, karena bersumber dari Shahih al-Bukhari juz 9 hadits: 101 ktb al-Ahkam bab al-istikhlaf; shahih Muslim juz 3 hadits: 1452, riwayat dari Jabir ibn Samurah. Syarat Imam harus maksum; lihat Qs. 2:124
[25] Cetakan Jam'iyyah al-Ijtima'iyyah Kuwait – Beirut.
[26] Shahih Muslim kitab Fadhail as-Shahabah bab fadhail Ahli bait an-Nabi juz 2 hal. 368 cet. Isa al-Halaby; juz 15 hal. 194 Syarah an-Nawawi cet. Mesir; Shahih Turmudzi juz 5 hal. 30 cet Dar al-Fikr; Musnad Ahmad juz 5 hal. 25 cet. Dar Ma'arif – Mesir; Mustadrak al-Hakim juz 3 hal. 133, 146, 147, 158; juz 2 hal. 416; al-Mu'jam Shaghir juz 1 hal. 65 dan 135; an-Nasai, Khasa'ish Amirul Mu'minin hal. 4 cet at-Taqaddum al-ilmiyyah – Mesir; hal. 8 cet Beirut; hal. 49 cet. Al-Haidariyyah.
[27] Imam ke 6 Mazhab Syi'ah Imamiyah. Ia putera Imam Muhammad al-Baqir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husein ibn Fathimah binti Rasulullah saww.
[28] 'Ali ibn Ibrahim, Tafsir Qummi juz 1 hal. 96.
[29] Bab Fadhail Ali ibn Abi Thalib juz 2 hal. 362; cetakan yang bersama Syarahnya juz 15 hal. 180.
[30] Jalaluddin as-Suyuthi, itmam ad-Dirayah li Qurra an-Nuqayah halaman 166.
[31] Qs. 17:85

Ibn Rusyd - Kebangkitan Jasmani atau Kebangkitan Ruhani

Makalah Filsafat di Univ. Paramadina

Lahir di Cordova – Spanyol pada 520 H. Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd, namanya. Di dunia Barat dan di dalam literatur Latin abad tengah akhir ia dikenal Averroes. Ayah dan kakeknya adalah seorang ahli hukum terkenal - dalam mazhab Maliki (mazhab yang dominan di wilayah Maghribi dan Andalusia) - di zamannya. Ibn Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat, logika, dan teologi dari Ibn Thufail. Belajar ilmu fikih lewat ayahnya, sehingga dalam usia yang masih muda, ia sudah hafal kitab al-Muwattha’, karya Imam Malik. Ia belajar ilmu kedokteran melalui Abu Ja’far Harun dan Ibn Jarbun al-Balansi. Ia dipandang filsuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya (700 – 1200M). keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun 1200 – 1650 M. Ia wafat di Maraques – Maroko pada 9 Safar 595 H, setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova.

Karyanya

Ibn Rusyd menulis dalam banyak bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Karyanya yang paling besar dan berpengaruh di Barat, yang dikenal Averroism adalah komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, juga dalam ilmu jiwa, fisika logika (manthiq), dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:

a. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
b. Kitab al-Kulliyat fi at-Thibb – telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
c. Tahafut at-Tahafut – yang merupakan sanggahan terhadap kitab al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah
d. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
e. Fash al-Maqal fima baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishal.
f. Dhamimah li Masalah al-Qadim.

Filsafatnya

Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Banyak waktunya dihabisi dalam mengomentari karya-karya Aristoteles, sehingga ia digelar komentator. Aristoteles menurutnya manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran. Meskipun Ibn Rusyd terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles, akan tetapi tidak semua ia kuasai dan pahami, karena Ibn Rusyd tidak memahami bahasi Yunani.

Ibn Rusyd sebagai filsuf besar, juga memikir, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya. Yang paling terkenal, ia mengkritik al-Ghazali (450 – 505 H). Berikut ulasannya.

Pokok Permasalahan

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filsuf), al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Satu dari masalah tersebut – karena sebagai pokok permasalahan pada tulisan ini – adalah tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran al-Ghazali itu, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran. Dalam rangka pembelaan itu ia menulis buku Tahafut at-Tahafut (kekacauan dalam kekacauan), yang menunjukkan secara tegas bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya dalam kekacauan pemikiran, bukan para filsuf. Berikut penjelasan Ibn Rusyd terhadap al-Ghazali dalam satu masalah tersebut.

Al-Ghazali menganggap para filusuf mengingkari kebangkitan jasmani di akhirat. Ia mengkafirkan para filsuf yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud ruhani, tidak dalam wujud jasmani. Sebab dalam Al Qur’an sendiri dikatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka.

Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak membantah adanya keangkitan jasmani, karena hampir semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan jasmani, namun dari sesuatu yang telah hancur itu tidak mungkin bisa dibentuk kembali, maka kalau pun ada kebangkitan jasmani tentunya dalam bentuk lain, tidak dalam bentuk manusia sekarang ini.

Di akhirat nanti, semua yang terdapat di sana tidaklah seperti apa yang kita lihat dan alami di dunia ini, semua tidak pernah terpikirkan oleh manusia, sehingga kehidupan di akhirat nanti tidak akan sama dengan kehidupan di dunia saat ini. Dan alam akhirat ini hanyalah suatu fase lanjutan dari jalur kehidupan manusia, dan tentunya tidaklah berlebihan apabila nanti dalam kebangkitannya tidak terjadi kebangkitan jasmani, atau paling tidak jasmani yang bangkit adalah jasmani dalam bentuk yang berbeda.

Ibn Rusyd juga mengkritik Al-Ghazali – dalam Tahafut at-Tahafut-nya - sebab di salah satu karyanya dikatakan bahwa khusus bagi kaum sufi tidak ada kebangkitan jasmani mereka hanya mengenal kebangkitan ruh saja,[1] disini terlihat adanya ketidak konsistenan Al-Ghazali dalam konsep kebangkitan jasmani.

Pendapat Ibn Rusyd, bahwa bagi orang-orang awam soal pembangkitan perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam wujud ruhani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.[2]


[1] Nasution, Falsafat dan Misticisme, hlm. 47.
[2] Musa, Bain, hlm. 222

Benarkah Nabi Bermuka Masam dan Tersihir?

Oleh: Achmad Zaenal Fikri ibn Ahmad Ismail

بسم الله الرحمن الرحيم

Kemajuan umat Islam, bagaimana mereka memahami teks suci yang otentik. Berbagai tafsiran ulama dari yang membela nabi, ada yang diam tak menyikapi, bahkan diantara mereka ada yang mendiskreditkan Nabi saww. tanpa disadari.

Dari penelitian para ulama, disimpulkan bahwa keterangan-keterangan tentang sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an yang sampai dari para sahabat maupun tabi’in, tidak terlepas dari ijtihad dan pendapat pribadi mereka. Hal ini terlihat adanya ketidakpastian yang mencerminkan adanya ra’yu (pandangan) pribadi. Tidak jarang mereka mengatakan dengan tiada kepastian: “saya mengira bahwa ayat itu turun dalam kejadian itu”.[1]

Bahkan tidak jarang adanya usaha pemalsuan untuk tujuan-tujuan tertentu – yang tanpa disadari – menjatuhkan nama baik atau mendiskreditkan kenabian nabi suci Muhammad saw.

Riwayat-riwayat yang meniupkan racun, merusak kemaksuman pribadi nabi Muhammad saww. anehnya, mengapa harus marah, ketika datang fitnahan dari musuh Islam, bahwa al-Qur’an adalah ayat-ayat setan, yang keluar dari mulut kotor Salman Rusydi. Bukankah umat Islam sendiri yang membuka peluang bahwa – pendapat kalangan umum - ketika wahyu al-Qur’an turun, timbul rasa takut di jiwa sang rasul. Tidak! Sungguh tidak! bahkan nabi saw. bergembira ketika turun wahyu. Sebagaimana firman Allah:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَاهُوَشِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْن (الإسراء: 82)

Jadi, kalau bagi orang-orang yang beriman saja al-Qur’an sebagai penawar dan rahmat, apalagi bagi sang kekasih Ilahi, Nabi Muhammad saww.

Mestinya umat Islam bergembira, jika ada sebesar lubang jarum pintu yang terbuka untuk mensucikan perangai nabi dari sesuatu yang tidak layak. Tapi aneh, malah kita marah-marah.

Pasal Pertama

Firman Allah dalam Surat Abasa ayat 1 – 10:
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia akan membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu member manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya telah cukup maka kamu melayaninya, padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada Allah, maka kamu mengabaikannya.[2]

Dalam kitab Sunan Turmudzi disebutkan bahwa pelaku dalam ayat tersebut adalah nabi saw. Al-hakim meriwayatkan hadits serupa dengan sanad yang sama. Bunyi hadits tersebut adalah;
Diriwayatkan dari Sa’id ibn Yahya ibn Sa’id al-Umawi, dari ayahku dari Hisyam ibn Urwah, dari ayahnya (Urwah ibn Zubair), dari Aisyah ra. berkata: Ibnu Ummi Maktum mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata: berilah aku petunjuk! Saat itu Rasulullah saw. Sedang bersama pembesar musyrikin, lalu Rasulullah saw. berpaling darinya (ibn Ummi Maktum). Kemudian Ibnu Ummi Maktum bertanya: Apakah saya melakukan kesalahan dalam ucapan saya tadi? Rasulullah saw. menjawab: Tidak!. Di saat itu turunlah Surat Abasa.[3]

Telaah atas Riwayat Tersebut

1. Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan, jadi hadits tersebut bukan Muttafaq ‘alaih.
2. Hadits tersebut dianggap mursal oleh jama’ah (sekelompok ulama).[4]
3. Sebab turunnya ayat tersebut terjadi kesimpang siuran, yakni;
a) Delegasi Bani Asad datang menemui Rasul saww. dan tidak ada hubungannya dengan Ibnu Ummi Maktum.
b) Sebab turunnya, al-A’la ibn Yazid al-Hadhrami ditanya oleh Rasulullah saw, “Apakah ia dapat membaca al-Qur’an?” Kemudian dia menjawab: “Ya, dan membaca Surah Abasa”.
c) Sebab turunnya karena datangnya Abdullah ibn Ummi Maktum kepada Rasulullah saww.[5]
4. Abu Isa mengomentari bahwa hadits ini adalah Hasan Gharib (langka).
5. Dalam hadits-hadits tersebut tedapat para perawi sebagai berikut;
a) Urwah ibn Zubair (ayah Hisyam)
b) Hisyam ibn Urwah
c) Ummul Mukminin Aisyah ra.
Tentang Para Perawi di atas
a. Urwah ibn Zubair
Ibn Hajar al-Asqalani menilainya, dia berpredikat “nashibi” (pembenci keluarga Nabi saw), dengan demikian riwayatnya lemah dan tidak dapat dipercaya.[6]

b. Hisyam ibn Urwah
Dia termasuk orang yang Mudallis (menyandarkan riwayat bukan pada orang yang sebenarnya) dengan demikian riwayatnya tidak bisa dipercaya.[7] Bahkan dia seorang pembohong.[8]

c. Aisyah ra.
Kalau kita lihat kembali ayat tersebut turun di Mekkah, sedangkan Aisyah ra. masih kecil. Sehingga kita ragu dari mana beliau mendengar hadits tersebut.
Setelah kita ketahui tentang mereka, ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab;
1. Sampai hatikah kaum muslimin berpegang dengan hadits yang perawi dan sanadnya seperti di atas. Atas resiko keluhuran budi nabi Muhammad saww?
2. Apa jawaban kita, jika ada orang akan meniru perbuatan (sunnah) nabi saw. seperti di atas berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di bawah ini?
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَـاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ (آل عمران: 31)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ...... (الأحزاب: 21)
3. Seorang mukmin yang datang bersusah payah ingin belajar tentang Islam dihadapi dengan wajah yang masam oleh nabi saww. sedang orang-orang kafir yang enggan belajar dihadapi dengan wajah sepenuhnya. Justru dalam figure sang nabi Muhammad saww. sebagai suri teladan umat.

Pasal Kedua

Pada pasal kedua ini, lewat jalur hadits tentang kisah nabi saww. disihir oleh seorang penyihir ulung yang bernama Labid ibn al-A’sham. Akan tetapi dengan hadits tersebut – menurut sebagian ulama – menjadi sebab turunnya surah Al-Falaq dan surah An-Nas.

Berbagai perawi yang meriwayatkan tentang hal ini; dari Bukhari, Muslim,[9] Nasa’i,[10] Ahmad, al-Baihaqi,[11] al-Baghawi,[12] al-Wahidy,[13] Tsa’labi,[14] ibnu Mardawaih.[15] Matan sedikit terdapat perbedaan, akan tetapi maknanya sama. Oleh karena itu, saya tulis riwayat dari Bukhari saja.

Ibrahim ibn Musa mengambil riwayat dari Isa ibn Yunus dari Hisyam, dari ayahnya dari Aisyah bahwa: Rasulullah saw. disihir oleh seseorang dari Bani Zuraiq, bernama Labid ibn al-A’sham, sehingga beliau diilusikan melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Pada suatu hari atau suatu malam, ketika beliau di sisi-ku, beliau berdo’a dan berdo’a terus, lalu bertanya: Hai Aisyah! Tahukah kau bahwa Allah telah memperkenankan do’aku? Telah datang dua orang, yang satu di samping kepalaku dan yang satu di sebelah kakiku. Apa sakitnya orang ini? Tanya salah seorang. Terkena sihir. Jawab lainnya. Siapa yang menyihirnya? Tanyanya lagi. Labid ibn al-A’sham. Sahut temannya. Dengan apa? Tanyanya lagi. Dengan sihir, rontokan rambut, dan mayang pohon kurma jantan. Di mana ia? Tanyanya lagi. Di sumur Dzarwan. Sahut temannya. Lalu Rasulullah saw. mendatangi tempat tersebut bersama beberapa sahabat beliau. Setelah kembali, beliau berkata (kepada Aisyah): Hai Aisyah, seakan-akan air sumur itu seperti tercampur pacar (kemerah-merahan), dan ujung dahan pohon kurma seperti kepala-kepala setan. Aku (Aisyah) bertanya: Mengapa tidak anda keluarkan? Beliau menjawab: Allah telah menyembuhkan saya, dan saya tidak ingin menimbulkan kejahatan. Lalu beliau memerintahkan agar sumur itu ditutup.[16]

Kalau kita paparkan semua hadits dari kitab-kitab yang lain, yang menjadi sandaran para mufassirin dan ahli hadits yang mengakui kebenaran kisah tersihirnya nabi saww. bahwa hadits tersebut bermuara pada dua sahabat, seperti; Ibn Abbas dan Zaid ibn Arqam, bahkan Aisyah – istri nabi saw. – terlibat juga dalam periwayatan hadits tersebut.

Komentar Sebagian Ulama tentang Perawi dari Masing-Masing Jalur

Riwayat Zaid ibn Arqam

An-Nasa’i dan al-Baghawi mengambil jalur dari Zaid ibn Arqam, terdapat perawi bernama Saibah ibn Abdurrahman. As-Sari berkomentar: ia jujur, namun mempunyai banyak riwayat hadits mungkar (hadits yang menyalahi riwayat orang yang lebih tsiqah).[17]

Riwayat Ibnu Abbas

Dikutip dari jalur Ikrimah dan jalur al-Kalbi dari Abu Shaleh. Jalur ibnu Abbas yang paling lemah adalah al-Kalbi dari Abu Shaleh.[18]

Riwayat Aisyah ra

Dari jalur Hisyam ibn Urwah dari Urwah ibn Zubair – keponakan Aisyah. Ibnu Abi al-Hadid, sejarawan bermazhab Mu’tazilah mengatakan bahwa; Urwah tidak mampu menyembunyikan kedengkian dan kebencian kepada Imam Ali ibn Abi Thalib kr. Sehingga ia berani dengan terang-terangan mencaci Imam Ali di masjid dan di khalayak ramai.

Jabir ibn Abdul Hamid meriwayatkan dari Muhammad ibn Syaibah, ia berkata: aku menyaksikan az-Zuhri dan Urwah di masjid kota Madinah, keduanya sedang duduk membicarakan Ali kr. Lalu keduanya mencela dan mencaci beliau. Kemudian berita ini sampai kepada Imam Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib. Maka datanglah Ali Zainal Abidin ibn Husein menemui keduanya dan berkata: Hai Urwah, ketahuilah bahwa ayahku (Ali ibn Abi Thalib) akan membawa ayahmu kepengadilan Allah, dan Allah pun akan memenangkan ayahku dan menghukum ayahmu kelak. Adapun kau hai Zuhri, seandainya kau berada di kota Mekkah, pasti akan aku perlihatkan rumah ayahmu.[19]

Anggapan yang Tidak Ada Dasarnya

Mungkin sebagian muslimin yang sudah terlanjur mempercayai hadits tersebut, merasa keberatan, kalau kisah tersebut didha’ifkan dan harus ditolak, sebab Bukhari dan Muslim meriwayatkan, karena para ulama telah menganggap kedua kitab tersebut shahih dan seluruh isinya adalah hadits-hadits yang harus diterima oleh setiap muslim.

Namun anggapan diatas sama sekali tidak dilandasi dengan dasar dan hanya didasari oleh faktor-faktor politis yang tidak sehat, karena beberapa alasan:
Pertama:
Tidak sedikit perawi-perawi Bukhari dan Muslim yang cacat dan diragukan kemurnian agamanya; seperti kaum Khawarij, nawashib, penganut aliran Murjiah, Qadariyah, dll.
Kedua:
Tidak sedikit pula dari ulama besar Sunni yang menolak anggapan bahwa seluruh hadits Bukhari dan Muslim adalah shahih dan menganggapnya sebagai sebuah fanatisme buta yang dipaksakan.
Ketiga;
Dan yang terakhir, tidak banyak di dalam kedua kitab hadits tersebut yang bertentangan dengan wahyu al-Qur’an, seperti tema ini;
1. Sang nabi yang bermuka masam dihadapan seorang yang buta adalah perbuatan yang sia-sia dan mubazir. Karena tidak bermanfaat tersenyum dan berpaling dari seorang yang buta. Surat Abasa turun tahun ke 5 kenabian, sedangkan ayat 4 dari surat al-Qalam;
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْم
itu turun lebih awal, yakni tahun ke 3 kenabian. Jadi, suatu yang tidak masuk di akal jika Allah menegur setelah memujinya dengan kalimat “’azhim”. Pujian yang datangnya dari manusia, boleh jadi jatuhnya relative, akan tetapi jika yang memujinya dari sang Maha Terpuji, tentu tidak ada luang untuk orang lain ingin menjatuhkannya.

وَرَفَعْنَالَكَ ذِكْرَكَ (الإنشراح: 4)
Bentuk teguran yang menggunakan fi’il madhi tersebut, menjadi – penulis – makin tidak percaya, lain halnya jika Allah menegur dengan ‘abasta wa tawallaita”.

2. Tidak diasingkan lagi bahwa jiwa suci nabi Muhammad saww. yang mendapat penjagaan dari Allah adalah jiwa terkuat dan paling teguh, sehingga tidak sesuatu apapun yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk atas dirinya. Al-Qur’an sendiri telah menceritakan pengakuan iblis atas ketidakberdayaannya untuk menggoda jiwa-jiwa hamba Allah yang terpilih “Mukhlasin” dalam berbagai bentuk. Ayat itu berbunyi;

قَالَ رَبِّ بِمَاأَغْوَيْتَنِى لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِيْن () إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْن (الحجر: 39-40)
Iblis berkata: ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuata maksiat) di muka bumi, dan pasti akan aku sesatkan mereka semuanya. () Kecuali hamba-hamba-Mu yang Engkau ikhlaskan.

Sebagai penutup, kami cantumkan firman Allah swt dalam surah al-Isra ayat 47:
نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَسْتَمِعُوْنَ بِهِ إِذْ يَسْتَمِعُوْنَ إِلَيْكَ وَإِذْهُمْ نَجْوَى إِذْ يَقُوْلُ الظَّالِمُوْنَ إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ رَجُلاً مَسْحُوْرًا
“Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik, (yaitu) ketika orang-orang zhalim berkata: kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang terkena sihir”.
[20]

[1] Al-Itqan juz 1 hal. 41
[2] Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama RI.
[3] Sunan Turmudzi juz 5 hal. 432 Kitab Tafsir Bab 73 No. Hadits 3331 cet. Syirkah Maktabah wa Matba’ah Mushtafa al-Babby al-Halaby wa Auladi – Mesir.
[4] Mustadrak al-Hakim juz 2 Kitab Tafsir hal. 514, cet. Dar al-Fikr.
[5] Tafsir ad-Durr al-Mantsur juz 8 hal. 410 – 416.
[6] Muqaddimah Fathul Bari, juz 2 hal. 213
[7] Muqaddimah Fathul Bari, juz 2 hal. 202
[8] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, juz 6 hal. 36; al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, juz 1 hal. 223
[9] Dengan Syarah an-Nawawi, jilid ke 7, juz 14 hal. 177-178
[10] Sunan An-Nasa’I, ktb Tahrim ad-Dam; bab Sakaratu ahlil kitab, dengan syarah As-Suyuthi 7/112-113
[11] Dalam Dalail an-Nubuwwah
[12] Dalam Tafsir Ma’alim at-Tanzil 7/323
[13] Asbab an-Nuzul, hal. 230-231, cet. Dar al-Fikr 1980
[14] Tafsir ibn Katsir 4/574
[15] Tafsir ad-Durr al-Mantsur, juz 8/ hal. 387-388
[16] Kitab at-Thibb; bab as-Sihr; hadits no. 5763 (Fathul Bari, juz 21 hal. 356 – 364)
[17] Tahdzib at-Tahdzib.
[18] Suyuthi, al-Itqan juz 2
[19] Syarah Nahjul Balaghah, jilid 1 juz 4 hal. 371
[20] Ucapan orang-orang zhalim ini juga tertulis dalam surah al-Furqan: 8