Senin, 05 Januari 2009

Ibn Rusyd - Kebangkitan Jasmani atau Kebangkitan Ruhani

Makalah Filsafat di Univ. Paramadina

Lahir di Cordova – Spanyol pada 520 H. Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd, namanya. Di dunia Barat dan di dalam literatur Latin abad tengah akhir ia dikenal Averroes. Ayah dan kakeknya adalah seorang ahli hukum terkenal - dalam mazhab Maliki (mazhab yang dominan di wilayah Maghribi dan Andalusia) - di zamannya. Ibn Rusyd kecil sendiri adalah seorang anak yang mempunyai banyak minat dan talenta. Dia mendalami banyak ilmu, seperti kedokteran, hukum, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd mendalami filsafat, logika, dan teologi dari Ibn Thufail. Belajar ilmu fikih lewat ayahnya, sehingga dalam usia yang masih muda, ia sudah hafal kitab al-Muwattha’, karya Imam Malik. Ia belajar ilmu kedokteran melalui Abu Ja’far Harun dan Ibn Jarbun al-Balansi. Ia dipandang filsuf yang paling menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya (700 – 1200M). keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun 1200 – 1650 M. Ia wafat di Maraques – Maroko pada 9 Safar 595 H, setelah tiga bulan berlalu, jenazahnya dipindahkan ke Cordova.

Karyanya

Ibn Rusyd menulis dalam banyak bidang, antara lain ilmu fikih, kedokteran, ilmu falak, filsafat, dan lain-lain. Karyanya yang paling besar dan berpengaruh di Barat, yang dikenal Averroism adalah komentarnya atas karya-karya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat, juga dalam ilmu jiwa, fisika logika (manthiq), dan akhlak. Manuskrip-manuskrip Arabnya sudah tidak ada, namun masih terdapat terjemahan-terjemahannya dalam bahasa Latin dan Ibrani. Karya-karyanya yang lain adalah:

a. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid fi al-Fiqh.
b. Kitab al-Kulliyat fi at-Thibb – telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
c. Tahafut at-Tahafut – yang merupakan sanggahan terhadap kitab al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah
d. Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
e. Fash al-Maqal fima baina al-Hikmah wa as-Syari’ah min al-Ittishal.
f. Dhamimah li Masalah al-Qadim.

Filsafatnya

Filsafat Ibn Rusyd sangat dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Banyak waktunya dihabisi dalam mengomentari karya-karya Aristoteles, sehingga ia digelar komentator. Aristoteles menurutnya manusia istimewa dan pemikir terbesar yang telah mencapai kebenaran. Meskipun Ibn Rusyd terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles, akan tetapi tidak semua ia kuasai dan pahami, karena Ibn Rusyd tidak memahami bahasi Yunani.

Ibn Rusyd sebagai filsuf besar, juga memikir, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja pikiran-pikiran mereka, tetapi menerima yang setuju dan menolak yang sebaliknya. Yang paling terkenal, ia mengkritik al-Ghazali (450 – 505 H). Berikut ulasannya.

Pokok Permasalahan

Melalui buku Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran para filsuf), al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Satu dari masalah tersebut – karena sebagai pokok permasalahan pada tulisan ini – adalah tidak adanya pembangkitan jasmani.

Sehubungan serangan dan pengkafiran al-Ghazali itu, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan dan pengkafiran. Dalam rangka pembelaan itu ia menulis buku Tahafut at-Tahafut (kekacauan dalam kekacauan), yang menunjukkan secara tegas bahwa al-Ghazali-lah yang sebenarnya dalam kekacauan pemikiran, bukan para filsuf. Berikut penjelasan Ibn Rusyd terhadap al-Ghazali dalam satu masalah tersebut.

Al-Ghazali menganggap para filusuf mengingkari kebangkitan jasmani di akhirat. Ia mengkafirkan para filsuf yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud ruhani, tidak dalam wujud jasmani. Sebab dalam Al Qur’an sendiri dikatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka.

Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak membantah adanya keangkitan jasmani, karena hampir semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan jasmani, namun dari sesuatu yang telah hancur itu tidak mungkin bisa dibentuk kembali, maka kalau pun ada kebangkitan jasmani tentunya dalam bentuk lain, tidak dalam bentuk manusia sekarang ini.

Di akhirat nanti, semua yang terdapat di sana tidaklah seperti apa yang kita lihat dan alami di dunia ini, semua tidak pernah terpikirkan oleh manusia, sehingga kehidupan di akhirat nanti tidak akan sama dengan kehidupan di dunia saat ini. Dan alam akhirat ini hanyalah suatu fase lanjutan dari jalur kehidupan manusia, dan tentunya tidaklah berlebihan apabila nanti dalam kebangkitannya tidak terjadi kebangkitan jasmani, atau paling tidak jasmani yang bangkit adalah jasmani dalam bentuk yang berbeda.

Ibn Rusyd juga mengkritik Al-Ghazali – dalam Tahafut at-Tahafut-nya - sebab di salah satu karyanya dikatakan bahwa khusus bagi kaum sufi tidak ada kebangkitan jasmani mereka hanya mengenal kebangkitan ruh saja,[1] disini terlihat adanya ketidak konsistenan Al-Ghazali dalam konsep kebangkitan jasmani.

Pendapat Ibn Rusyd, bahwa bagi orang-orang awam soal pembangkitan perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam wujud ruhani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.[2]


[1] Nasution, Falsafat dan Misticisme, hlm. 47.
[2] Musa, Bain, hlm. 222

Tidak ada komentar: