Kamis, 12 Maret 2009

Nikah Beda Agama dalam Tafsir al-Manar

A. Mukaddimah
Allah Yang Maha Bijaksana telah meletakkan keinginan dan naluri yang beraneka ragam dalam diri manusia, sehingga dengan perantara itu ia dapat menyempurnakan kehidupan material dan spiritualnya. Yang penting di antara naluri-naluri itu harus terdapat keseimbangan, sehingga tidak ada dominasi satu atau beberapa naluri terhadap naluri-naluri fitri yang lain. Jika tidak demikian, manusia akan mengalami stagnasi dalam rangka mewujudkan pengembangan diri yang menyeluruh dan ia tidak akan dapat menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Menurut terminologi para ulama etika, agama Islam yang suci menginginkan penyeimbangan seluruh fungsi naluri manusia, bukan menonaktifkan seluruh fungsinya. Di antara faktor utama pengontrol naluri adalah pernikahan dan pembentukan keluarga.
Pernikahan akan memberikan arti kepada kehidupan. Seorang pemuda yang datang melamar seorang gadis, ia akan ditanya, “Apakah engkau berani menghadapi kehidupan?”. Pertanyaan ini artinya, apakah ia memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab?
Jadi, pernikahan bukan hanya sekedar sarana untuk membebaskan diri dari kesendirian, bahkan ia merupakan jalan untuk mencapai kesehatan, kebersamaan, dan kesatuan naluri. Dan ini adalah yang paling penting.
Akhir-akhir ini, kegiatan nikah beda agama banyak terjadi, terutama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ulama dan fuqahâ. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Kontroversi itu semakin gencar ketika munculnya isu adanya kekosongan hukum di Indonesia mengenai kawin beda agama. UU. No. 1/ 1974 tentang Perkawinan dianggap tidak lengkap, karena tidak memuat pasal-pasal tentang itu. Bahkan, Kantor Catatan Sipil bersikeras menolak melaksanakan perkawinan semacam itu, karena dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Betulkah terjadi kekosongan hukum di Indonesia? Akan tetapi penulis mencoba melihat dari pendapat Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam karya tafsîr legendarisnya, al-Manâr.

B. Latarbelakang Sosial – Intelektual Rasyîd Ridhâ.
Sayyid Muhammad Rasyîd ibn ‘Alî Ridhâ ibn Syamsuddîn bin Bahâ’uddîn al-Qalmūnî al-Baghdâdî al-Husainî, namanya. Bangsawan ‘Arâb yang memiliki garis keturunan langsung dari Imâm al-Husein ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib as. Ia lahir pada 1865 M. Gelar sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridhâ dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh. Salah seorang kakek Rasyîd Ridhâ bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara' sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyîd Ridhâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrâhîm Ahmad al-Adawî: Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka.
Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara. Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttâb, Ridhâ dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidâiyyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, aqîdah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Utsmâniyyah. Ridhâ tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa ‘Arâb sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manâr. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyĩd Ridhâ juga belajar dari Syaikh Mahmũd Nasyabah yang ahli di bidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridhâ mampu menilai hadits-hadits yang dha’ĩf dan maudhũ’ sehingga dia digelari " Voltaire "-nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
Voltaire (1694-1778 M) adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M.
Ridhâ juga belajar dari Syaikh Abdul Ganĩ ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadits Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukanĩ yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyyah), al-Ustadz Muhammad al-Huseini, Syaikh Muhammad Kâmil ar-Rafi dan Ridhâ selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushũl dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita: Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun. Ridha menulis dalam buku hariannya: Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya. Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridhâ menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi.
Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihyâ ‘Ulũmiddĩn karya Imâm al-Ghazâlĩ yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya. Majalah al-Urwah al-Wutsqâ yang diterbitkan oleh Jamâluddĩn al-Afghânĩ dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyĩd Ridhâ dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.



C. Corak dan Metode Tafsir al-Manar.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 M dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barâkah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah. Ridhâ sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kassyâf karya az-Zamakhsyarĩ adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridhâ terjadi pada tahun 1894 M, juga di Tripoli dan kali ini Rasyĩd Ridhâ menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 M di Kairo - Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyĩd Ridhâ mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama. Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manâr dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridhâ.
Al-Manâr sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 M berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia. Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewujudkan Madrasah Dâr ad-Da'wah wa al-Irsyâd, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Tafsĩr al-Manâr yang bernama Tafsĩr al-Qur’ân al-Hakĩm memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahĩh dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syar’iyyah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'ân sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâluddĩn al-Afghânĩ, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manâr yang dipimpin oleh Ridhâ. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fâtihah sampai surah an-Nisâ ayat: 125 kemudian Ridhâ selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân sendirian sampai dengan ayat: 52 surah Yũsuf (penafsiran Ridhâ sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya di bidang hadits dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah. Di sisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadits-hadits yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadits Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau, Hisyam, salah seorang perawi hadits ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadits itu pada A'war al-Mashish.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami' al-Bayân fĩ Tafsir al-Qur'ân, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafâtih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kassyâf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwâr at-Tanzĩl wa Asrâr at-Ta'wĩl, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Rũh al-Ma’ânĩ serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsũr. Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur'an sebagai isyarat pembenar. (detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174). Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar - masih menurut beliau - berusaha menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ridhâ wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia) dari kota Suez - Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya: Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
D. Mengenai Nikah Beda Agama.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya memuat berbagai persoalan dalam hidup dan kehidupan ini. Hukum perkawinan beda agama, secara literal ditemukan dua buah ayat yang membicarakannya, yaitu Surat al-Baqarah: 221 dan Surat al-Mâ’idah: 5.
                               •     •      ••   
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

 •                                             
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.

Asbâb an-Nuzũl ayat yang disebutkan pertama di atas, Riwayat dari Ibn Mundzir, Ibn Abu Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil dia berkata: ayat ini – (2: 221) – turun mengenai Ibn Abi Marstadi al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi saww. untuk mnegawini seorang wanita cantik lagi musyrik, maka turunlah ayat tersebut.
Suyuthi dalam Asbâb an-Nuzũl-nya menyebutkan bahwa ayat:   al-Wahidi meriwayatkan melalui jalur as-Sadyu dari Abu Malik kemudian dari Ibn Abbas dia berkata: ayat tersebut dituju untuk Abdullah ibn Ruwahah yang memiliki budak perempuan hitam, Abdullah marah kemudian menamparnya, maka Ibn Ruwahah dihinggapi rasa takut, kemudian Nabi saww. datang memberikan kabar: aku akan memerdekakan dia dan aku akan menikahi dia. Maka Nabi saww. melakukan kemudian orang-orang mencela Nabi, mereka berkata: dia (Nabi saww.) menikahi seorang budak, maka turunlah ayat tersebut. Rasyid Ridha menilai riwayat di atas ini, melalui Ibn Jarir bahwa periwayatan as-Sadyu terputus.
Ayat yang disebutkan pertama di atas, menimbulkan dua konsekuensi hukum, yaitu larangan lelaki muslim mengawini wanita musyrik dan larangan wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik. Adapun yang disebutkan kedua, menimbulkan konsekuensi yang membolehkan lelaki muslim mengawini wanita ahlul kitab.
Mengenai musyrik pada ayat pertama di atas, menurut Ibn Jarir Thabari adalah para penyembah berhala-berhala di kalangan orang-orang ‘Arab yang hidup pada masa Nabi saww.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud orang-orang musyrik perempuan – di dalam ayat 221 surah al-Baqarah – bukan wanita-wanita ahlul kitab dari wanita-wanita ‘Arab. Akan tetapi sebagian mereka berpendapat bahwa orang-orang musyrik itu mencakup ahlul kitab, karena sebagian mereka – ahlu kitab – ada yang musyrik.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita-wanita musyrik merekalah wanita-wanita ‘Arab yang tidak mempunyai kitab. Karena yang demikian itu, al-Qur’an memperkenalkan mereka melalui ayat 105 surat al-Baqarah:
•          •                 
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dan ayat 1 surat al-Bayyinah:
            
Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,

Adapun tentang surat al-Ma’idah ayat 5 turun setelah surat al-Baqarah; karena itu yang berpendapat bahwa lafazh; musyrikât itu mencakup kitâbiyyât, dan ayat tersebut di surat al-Ma’idah menghapus ayat yang di surat al-Baqarah. Sebagian mufassir, sebaliknya, bahwa ayat 221 surat al-Baqarah menghapus ayat 5 dari surat al-Ma’idah.
Mengenai konsekuensi pada ayat kedua di atas, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama salaf tidak membolehkan lelaki muslim mengawini wanita non-muslim secara mutlak, sedangkan sebagian yang lainnya membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan wanita Majusi.
Dalam hal mengawini wanita bukan musyrik dan bukan pula ahlul kitab, seperti; Majusi, Shaib, Hindu, Buddha, Shito, dan Konfutze, al-Qur’an berdiam diri.
Hal ini menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak? Menurut ath-Thabari, mereka itu digolongkan sebagai ahlul kitab, karena menganut faham tauhid (mengesakan Tuhan). Bahkan, menurut data sejarah, mereka mempunyai rasul dan kitab suci (tergolong agama samawi).
Pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha:
Sayyid sependapat dengan ath-Thabari di atas. Beliau menegaskan bahwa untuk kepentingan politik dan penyebaran Islam, dibolehkan mengawini wanita-wanita non-muslim secara mutlak untuk menjadikannya muslimah. Tetapi sebaliknya, dengan alasan sad al-dzari’ah, tidak dibenarkan pria muslim yang lemah akidahnya untuk mengawini wanita non-muslim, khususnya wanita-wanita Eropa saat ini.
Komentar Penulis:
Memilih pasangan dalam hidup berumah tangga merupakan batu pertama pondasi suatu bangunan, ia harus kokoh dan kuat, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak.
Dalam uraiannya tentang makalah ini, penulis menggarisbawahi, bahwa anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya, berbeda dengan lalat atau serangga yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang hanya membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga ia mencapai usia remaja. Berapa tahun ia akan dibimbing oleh orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau bapaknya musyrik? Kalaupun sang anak kemudian beriman, dapat diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang tuanya di masa kecil. Karena itu Islam melarang perkawinan tersebut.




Daftar Pustaka:
- Tafsir al-Manar, cetakan Dar al-Fikr Beirut
- Kotektualitas al-Qur’an, karya: Prof. Dr. Umar Shihab, MA
- Rasionalitas al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Terbitan Lentera Hati, Edisi Baru Cetakan 1 April 2006 M

Tidak ada komentar: