Kamis, 12 Maret 2009

Asal-usul Tasawuf dan Kedudukannya dalam Islãm

a. Latarbelakang Tasawuf
Tasawuf dan Islãm tidak dapat dipisahkan. Seperti kesadaran secara tinggi atau kebangkitan pun tidak dapat dipisahkan dari Islãm. Islãm bukanlah fenomena sejarah yang berawal 1.400 tahun yang lalu melainkan kebangkitan yang abadi. Tasawuf merupakan jantungnya Islãm. Usianya setua masa bangkitnya kesadaran manusia.
Bangkitnya tasawuf dikarenakan adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan ajaran Islãm yang semakin meningkat, terutama yang dilakukan oleh penguasa masa itu. Para penguasa atau raja sering menggunakan nama Islãm demi untuk membenarkan tujuan mereka, membuang aspek-aspek ajarannya yang tidak sesuai dengan gaya hidup mereka yang royal. Sejak saat itulah sejarah mencatat kebangkitan, pembaruan dan militansi di banyak kelompok muslim yang ikhlas di seluruh dunia Islãm yang kian meluas. Mereka ingin mengembalikan risalah atau ajaran nabî yang suci dan murni. Ini merupakan kebagkitan spontan dari individu-individu yang menemukan sunnah nabî yang benar, yang diilhami oleh cahaya pemuasan batin.
Menurut Abul Qãsim Qusyairî, kaum sufi muncul di abad kesembilan, sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya nabi Muhammad saww. Lantas muncul pertanyaan, mengapa perlu waktu bertahun-tahun untuk sungguh-sungguh tertarik dengan ilmu kebatinan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita tengok pada awal abad ke tujuh. Di mana di tanah ‘Arãb terdapat sebuah masyarakat dan berbagai suku yang pecah belah yang selama berabad-abad terlibat dalam tradisi peperangan, penyembahan berhala, dan nilai-nilai kekuasaan lainnya. Meskipun orang ‘Arãb melakukan perdagangan di luar tanah ‘Arãb, namun pengaruh budaya lain pada mereka sangat sedikit. Maka oleh karena itu didapati beberapa kaum menjalani hidup dengan mengembara selama berabad-abad dengan sedikti mengalami perubahan. Mendadak, suatu “aroma nubuah dan cahaya kenabian” yang begitu menakjubkan terwujud di tengah-tengah mereka.
Selama 23 tahun nabî Muhammad saww. menyanyikan kebenaran untuk menyelamatkan umat manusia, mengajarkan hakikat kehidupan bagi mereka yang buta, memberikan kesadaran bahwa manusia lahir ke dunia untuk mempelajari jalan-jalan penciptaan seraya melakukan perjalanan kembali ke asalnya, Pencipta Yang Esa. Karena, meskipun pada hakikatnya manusia itu mempunyai kebebasan, ia diikat dan dibatasi oleh hukum-hukum lahiriah yang mengatur kehidupan.
Kebenaran abadi terus diserukan nabî, akan tetapi dibalas dengan intimidasi dan teror, hanya segelintir orang yang hatinya tulus mendukung. Penganiayaan terus terjadi, terpaksa sebagian merka hijrah mencari perlindungan. Sejarah mencatat hijrahnya Rasûl saww. ke Yastrib – sekarang Madãnah – pada tahun 632. Keberhasilan dakwah nabî saww. melihat Islãm semakin mendominasi tanah ‘Arãb, maka mereka semua masuk Islãm dalam jumlah ribuan. Sejarah terus ditulis oleh para ahli sejarah dan saya tidak mungkin menulisnya secara lengkap.
Ketika nabî meninggal, komunitas muslim yang baru mulai bermunculan. Akibatnya, berlangsunglah pemilihan yang terburu-buru dan tegang atas Abû Bakar sebagai pemimpin pertama komunitas tersebut.
Nabî saww. telah menyatakan dalam banyak kesempatan, kepada siapa kaum muslimin harus merujuk tentang segala perkara sepeninggal beliau saww, bak seorang dokter yang bertanggung jawab, ketika hendak cuti atau pensiun, memberitahu para pasien kepada siapa mereka harus merujuk bila tidak ada. Namun, timbul ketidaksepakatan mengenai apakah nabî telah menunjuk Imãm ‘Alî secara khusus sebagai pengganti beliau saww. – bukan pengganti sebagai nabî – atau tidak.
Kepemimpinan Abû Bakar berlangsung selama dua tahun yang di dalamnya tidak terlepas perselisihan internal. Setelah wafatnya Abû Bakar di tahun 634, ‘Umar yang telah ditunjuk oleh Abû Bakar sebagai wakilnya, menjadi pemimpin muslimin berikutnya. Sepuluh tahun memimpin terjadi ekspansi besar-besaran. Dari Mesir, Persia, dan Empirium Bizantium ditaklukan, termasuk Yerusalem. ‘Umar dibunuh oleh seorang budak Persia – Abû Lu’lu – tahun 644.
Pemimpin berikutnya, ‘Utsmãn, diangkat oleh ‘Umar untuk sekelompok orang yang telah ditunjuk oleh ‘Umar. ‘Utsmãn memimpin selama dua belas tahun, banyak kaum muslimîn yang benar-benar kembali ke cara hidup jahiliyah. ‘Utsmãn dibunuh pada tahun 656.
Di zaman Imãm ‘Alî – berlangsung enam tahun – banyak kaum muslimîn yang hanya mengaku sebagai muslim, mereka tidak meresapi jalan hidup Islãm. Tiga peperangan besar terjadi di masa itu. Jamal, Shiffîn (tahun 657), dan Nahrawãn. Imãm ‘Alî ditikam secara mematikan ketika sujud dalam shalat.
Banyak kiranya lembaran-lembaran hitam sejarah pasca nabî Muhammad saww. Hingga kekuasaan beralih monarki yang absolut. Padahal tidak ada sabda nabi tentang sistem monarki. Sampai meletusnya perang yang tidak seimbang, Imãm Husein ibn ‘Alî diundang ke Karbalã dan dipaksa untuk membai’at Yazîd ibn Mu’ãwiyah, hingga kisah ini menyayat hati kaum muslimîn.
Muncullah sang sufi sejati, putra dari al-Husein ibn ‘Alî, yaitu ‘Alî Zainal ‘Ābidîn, yang terkenal sayyid as-sãjidîn, ¬pemuka orang-orang yang sujud. Warisan intelektual dan spiritual Imam yang paling popular adalah ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Do’a-do’a dan munajat yang terkandung dalam gita suci ini tak lain berasal dari ungkapan-ungkapan spontan Imam ihwal berbagai pengalamn batin yang dilaluinya.
Satu kisah yang disaksikan Ibn Thawus merupakan gambaran keagungan hati Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin; “Saya perbah melihat ‘Ali Zainal ‘Abidin bertawaf mengelilingi Ka’bah sejak isya hingga menjelang sahur. Setelah itu beliau melakukan berbagai ibadah lain. Ketika sudah tidak ada seorang pun di sekitarnya, ia mulai menatap langit, mengadahkan tangannya lalu berdo’a: “Tuhanku, berkelip-kelip sudah bintang-gemintang di langit-Mu, terpejam sudah mata para hamba-Mu, dan telah terbuka lebar pula berbagai pintu-Mu, aku dating kepada-Mu agar Engkau sudi mengampuniku, merahmatiku, dan menampakkan wajah kakekku Muhammad saww. Kelak di hari kiamat”.
Sesudah itu beliau menangis tersedu-sedu, lalu kembali berdo’a: “Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, kemaksiatanku sekali-kali tidak untuk menentang-Mu. Ketika aku bermaksiat kepada-Mu, maka itu bukan karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku tidak tahu bencana (akhirat)-Mu atau menantang siksa-Mu. Tetapi hal itu semata-mata karena aku digelincirkan oleh diriku. Karena itu, berilah aku pertolongan untuk menghadapi semua ini, melalui penutup-Mu yang member ketentraman hati. Siapa kelak yang bakal menyelamatkanku dari siksa-Mu? Dengan tali apa aku harus berpegang bila Engkau putuskan tali-Mu? Oh, alangkah buruk nasibku ketika kelak berdiri di hadapan-Mu. Alangkah sialnya aku bila umurku panjang tapi dosaku bertumpuk, sementara aku tidak pernah bertobat kepada-Mu. Tidakkah aku akan sangat malu pada-Mu, Tuhanku?”
Tangisannya semakin menjadi-jadi ketika beliau melanjutkan: “Apakah Engkau akan membakarku dengan api neraka, wahai puncak segala harapan? Jika memang demikian, di manakah Harapanku dan di mana pula Kekasihku? Aku datang (kepada-Mu) dengan amal yang buruk dan penuh dosa. Di persada ini tiada yang begitu berdosa seperti aku”.
Sambil terus bercucuran air mata, beliau bertutur: “Mahasuci Engkau! Engkau dimaksiati seakan-akan Engkau tidak tampak, sementara kasih sayang-Mu berupa perbuatan-perbuatan baik-Mu kepada para hamba tidak pernah terhenti, seakan-akan Engkau tak pernah dimaksiati. Seolah-olah Engkaulah yang membutuhkan mereka, padahal Engkau, wahai Junjunganku, sama sekali tiada membutuhkan mereka”.
Sebentar kemudian beliau tersungkur ke tanah dalam keadaan sujud. Pelan-pelan aku mendekatinya dan mengangkat kepalanya untuk kuletakkan di pangkuanku. Aku pun hanyut dalam tangis, sampai-sampai air mataku membanjiri pipinya. Beliau duduk dan berkata:
“Siapakah gerangan yang mengganggu dzikirku ini?”
“Saya Thawus, wahai putra rasulullah,” jawabku.
“Duhai, apa yang membuat tuan sedemikian prihatin dan bersedih seperti ini? Kamilah yang melakukan semua ini, lantara kami adalah orang-orang yang bermaksiat dan berdosa. Sedangkan tuan adalah ‘Ali Zainal ‘Abidin, ayah tuan adalah al-Husein ibn ‘Ali, cucu Rasulullah, nenek tuan adalah Fathimah az-Zahra. Dan ayah nenek tuan adalah Rasulullah saww.”
Sembari menatapku beliau berkata:
“Sudahlah Thawus………sudahlah. Jangan kau bawa-bawa ayah, ibu, dan kakekku. Sebab, Allah menciptakan surga bagi para pelaku kebaikan, sekalipun dia negro dari Habasyah. Dan menciptakan neraka bagi para pelaku kemaksiatan, sekalipun dia orang Quraisy. Tidakkah engkau mendengar firman Allah swt. yang berbunyi:
Apabila sangkakala telah ditiup, maka tiada lagi pertalian nasab di antara mereka, dan tiada pula mereka akan saling menyapa. (al-Muminun: 101)
“Demi Allah, tiada yang bermanfaat bagimu kelak kecuali amal salehmu sendiri.”
Dua puluh tahun menangisi ayahnya. Pernah suatu hari ada yang menasehati tentang keadaan yang terus menerus menangis, Imâm ‘Alî Zainal ‘Ābidîn menjawab: “Ya’qūb adalah seorang nabî, anaknya, Yūsuf juga nabî, Ya’qūb menangisi anaknya sampai matanya buta, sedangkan aku, aku melihat sendiri ayahku, paman-pamanku dibantai dihadapanku, setiap aku melihat bibi-bibiku, aku teringat berlariannya mereka dari kemah ke kemahnya yang dibakar, bagaimana mungkin kesedihanku bisa berakhir”.
Selain para pemuka mistisisme dari kalangan keluarga nabî sendiri, banyak dari mereka juga yang bertemu langsung dengan Ahlulbait, seperti Hasan al-Bashrî, termasuk tokoh sufi klasik yang dilahirkan pada 26 H dan meninggal pada 110 H telah menulis kitab berjudul Ri’âyah Huqūqillah, sebagai kitab suluk yang pertama dalam dunia sufi.
Jadi, latar belakang yang membuat munculnya dunia tasawuf, adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan dalam ajaran-ajaran Islâm yang terjadi dilingkungan penguasa masa itu.

b. Kedudukannya dalam Studi Agama Islâm
Tasawuf merupakan ilmu yang memusatkan studi dalam bidang akhlâk, baik lahir maupun batin. Seperti yang telah kami singgung, bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari Islâm. Setelah manusia mengenal Allah, mengetahui beban taklif dalam beribadah menyembah terhadap-Nya, terakhir, dia mesti memperbaiki akhlâk, baik terhadap manusia maupun terhadap Sang Pencipta, terutama terhadap Allah. Karena bagaimanapun kita hidup lama di dunia, kita pasti akan kembali keharibaan Allah swt.
Firman Allah: “wahai manusia, sesungguhnya kamu sedang bekerja (beramal) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. (Al-Insyiqâq: 6)
Allah swt. mempunyai nama-nama, biasa disebutnya asmâ al-Husnâ. Dari banyaknya asmâ al-Husnâ-Nya tersebut dibagi dua macam: 1.) Jamâl (keindahan) dan 2.) Jalâl (kebesaran). Nama-nama Allah swt yang masuk dalam kategori Jamâl, seperti; ar-Rahmân, ar-Rahîm, al-Ghafūr (Maha Pengampun), dll. Sedangkan nama-nama-Nya yang masuk dalam kategori Jalâl, seperti; al-Jabbâr (Maha Memaksa), al-Muntaqîm (Maha Membalas), dll.
Para mutashawwifîn atau ‘urafâ, sangat menginginkan kembali keharibaan-Nya ke asma-Nya yang Jamâl, karena mereka mengetahui hakikat kedekatan diri kepada Allah.
Tulisan ini kami tutup dengan ucapan Amîrul Mukminîn Imâm ‘Alî ibn Abî Thâlib: “Manusia beribadah kepada Allah swt. terbagi tiga kategori: pertama, mereka yang beribadah karena takut kepada neraka, merekalah ibadahnya budak (‘ibâdah al-‘abîd). Kedua, mereka yang beribadah menyembah Allah karena mengharap keuntungan, merekalah ibadahnya pedagang (‘ibâdah at-tujjâr). Ketiga, mereka yang menyembah bersimpuh karena kecintaan mereka kepada Allah, mereka tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang Tuhan-Nya, merekalah para pecinta Allah (‘ibâdah al-muhibbîn)”.

Tidak ada komentar: