Oleh: Achmad Zaenal Fikri
Taubat
Dalam bahasa Arab taubat adalah isim mashdar dari tâba – yatûbu artinya raja’a – yarji’i berarti kembali. Menurut istilah, arti taubat adalah kembali dari alam fisik (tabi’at) ke spiritualitas jiwa, setelah terbukanya fitrah dan ruh oleh gelapnya hawa nafsu karena dosa-dosa dan kedurhakaan.[1]
Mu’awiyyah ibn Wahab berkata: aku mendengar Imam Ja’far berkata: “Kalau seorang hamba menuju Allah dengan taubat yang tulus (tawbatan nashûha) maka Allah mencintainya dan menutupi (dosa-dosanya) di dunia dan di akhirat”. Aku berkata: Bagaimana Dia menutupinya? Imam menjawab: “Allah membuat lupa dua malaikat (yang bertugas mencatat amal perbuatan) apa yang telah dicatat keduanya mengenai dosa-dosanya. Lalu Dia menginspirasikan kepada anggota badannya (dengan kata-kata), “Sembunyikanlah dosa-dosa,” dan Dia menginspirasikan kepada tempat-tempat di bumi (dengan perkataan), “Sembunyikanlah dosa-dosa yang biasa dilakukannya di atasmu.” Lalu dia bertemu dengan Allah, pada saat dia bertemu Dia, dengan cara demikian rupa sehingga tidak ada yang dapat bersaksi bahwa dia telah berbuat dosa.”[2]
Syarat-syarat Taubat
Seseorang berkata: astaghfirullah, di depan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Kemudian Imam berkata kepadanya: “tsakalatka ummuk (Semoga ibumu berduka atasmu!) Tahukah kamu apa istighfar itu? Sesungguhnya istighfar adalah derajat illiyîn, dan ini merupakan sebuah kata yang berarti enam hal. Pertama, adalah menyesali masa lalu. Kedua, bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Ketiga, mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas di masa lalu) sehingga engkau bertemu dengan Allah swt. Dalam keadaan suci sedemikian, sehingga tidak ada yang dapat menuntutmu. Keempat, memenuhi setiap kewajiban yang pernah dilalaikan. Kelima, memebereskan daging tubuhmu yang membesar dengan rizki haram, sehingga daging itu meleleh akibat kesedihan dan kedukaan, dan sehingga yang tinggal hanyalah kulit yang melekat ditulang, yang setelah itu tumbuhlah daging baru di antara kulit dan tulang itu. Keenam, buatlah tubuhmu merasakan sakit ketaatan sebagaimana (kamu) merasakan senangnya berbuat dosa. Kalau engkau sudah melakukan keenam hal ini, barulah katakan: astaghfirullah.”[3]
Allah menjanjikan orang-orang yang benar-benar bertaubat, (tawbah an-nashûha), seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Ilâhî, kalbu-ku tertutup, jiwaku ternodai, akalku terkalahkan, sedangkan hawa nafsuku menang, (ya Allah) ketaatanku (kepada-Mu) sungguh sedikit, tapi maksiatku sungguh banyak, dan lidahku berlumur dosa, maka bagaimanakah daya upayaku wahai Yang Menutupi segala aib dan noda, wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib, wahai Yang Menyingkap segala duka, ampuni semua dosa-dosaku, demi kehormatan Nabi Muhammad dan keluarganya, wahai Yang Maha Pengampun, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha belas kasih dari para pengasih.[4]
Wara’
Menurut definisi ahli ma’rifat terkemuka, Khwajah ‘Abdullah Ansyari, wara’ adalah kehati-hatian yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah swt.
Tingkatan wara’
o Wara’ pada kalangan awam adalah meninggalkan dosa-dosa besar.
o Wara’ pada kalangan elit adalah berpantangan dari hal-hal yang syubhat, karena takut tergelincir ke dalam hal-hal yang haram.
o Adapun wara’ pada kalangan zahîd adalah berpantang dari hal-hal yang dibolehkan (mubah) demi menghindari beban tanggungan yang menyertainya.
o Wara’ pada kalangan ahli suluk adalah berpantang dari memandang dunia untuk mencapai pelbagai maqâm.
o Wara’ pada kalangan yang tertawan hatinya dalam wujûd Ilâhiyyah adalah melepaskan maqâm demi mencapai ambang pintu Allah dan menyaksikan keindahan-Nya.
o Yang terakhir, wara’ para wali Allah adalah menghindari perhatian pada tujuan-tujuan (ghâyât).[5]
Zuhud
Banyak orang yang salah mengartikan dari kata zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia atau anti dunia, sehingga terkesan orang yang zuhud (zâhid) berpenampilan pakaiannya compang camping, hidupnya dalam kemiskinan dan sebagainya. Arti yang sebenarnya adalah bahwa zuhud adalah sikap yang tidak meletakkan keduniaan di dalam hati pelakunya (zâhid). Para ahli hikmah (hukâmâ) banyak yang berkata: hub al-dunya ra’su kulli khathĩ’ah, (cinta dunia merupakan pangkal dari segala keburukan). Arti yang lain yaitu menghindarkan diri dari kemewahan duniawi, menguasai hawa nafsu dalam segala jenisnya.
Nabi saww. bersabda: tidaklah seorang yang zuhud melainkan Allah tumbuhkan di dalam hatinya sebuah hikmah yang dapat terucap melalui lisannya, ia melihat dunia noda dan (dengan zuhud itu), dapat menghantarkan (si zâhid) ke dâr as-salâm.[6]
Tingkatan Zuhud
Pertama, zuhud awam, yakni menahan diri dari segala larangan. Kedua, zuhud khawas, yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau tidak perlu. Ketiga, zuhud ‘arifin, yaitu meninggalkan segala sesuatu hal-hal yang dapat menghalangi untuk mengingat Allah.
Pernah suatu ketika untuk makan sahur, Ummu Kultsum[7] menawarkan dua potong roti untuk ayahnya, lalu Imam berkata: wahai putriku, mengapa dua potong roti, satu saja cukup bagi ayahmu, apakah engkau mau melihat ayahmu berdiri lama di pengadilan Allah, karena lamanya hisab?
Faqr
Secara umum berarti, belum mendapati kebutuhan pokok. Dan ini dalam hal sosial ekonomi. Tetapi dalam eksistensinya, seperti apa yang Allah firmankan dalam Qs. (35) Fathir ayat 15:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Fuqarâ adalah bentuk jama’ dari faqîr, berarti orang-orang yang (benar-benar) membutuhkan Allah swt. Pada hakikatnya semua manusia butuh kepada Allah, Allah yang memberikan segala nikmat kepada kita, dan Allah Maha Kaya, Dia tidak membutuhkan kepada siapapun, dan Dia Maha Terpuji. Kepada siapa lagi kita mengharap selain kepada Allah swt. Sabar Artinya konsisten dalam menjalani perintah dan menjauhi larangan Allah swt. serta dalam menerima segala cobaan. Imam al-Ghazali melihat dari sisi sifatnya, sabar ada dua jenis. Pertama, bersifat jasmani, yakni menyangkut ketahanan fisik dalam menjalani kesulitan dan penderitaan badan. Kedua, bersifat rohani, yakni kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan hawa nafsu.[8]
Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali, Rasulullah saww. bersabda: “Ada tiga macam sabar: pertama, sabar ketika menderita. Kedua, sabar dalam ketaatan. Ketiga, sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enma ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan ‘arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat yang lainnya, seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh arsy.[9]
Tawakkal
Secara harfiyah berarti pengakuan ketakmampuan seseorang dan penyandaran pada seseorang selain dirinya. Ittakaltu ‘alâ fulân fĩ amrin, (aku bersandar kepada seseorang dalam suatu masalah). Pengarang Manâzil as-Sâ’irĩn berkata: “Tawakkal berarti mempercayakan atau menyerahkan seluruh masalah kepada Sang Penguasa dan bersandar kepada kemampuan-Nya dalam menangani masalah-masalah itu.[10] Bisa juga berasal dari al-wakâlah, wakkala amruhu ilâ fulân, seseorang menyerahkan urusannya kepada si fulan.
Arti istilah yang lain adalah memantapkan hati untuk menyerahkan urusan hanya kepada Allah semata.[11]
Sebelum memasuki maqam ini, tawakkal, seseorang kembali ke pemurnian tauhid dahulu, tanpa landasan tauhid yang kokoh, bangunan tawakkal sia-sia belaka. Karena tawakkal juga adalah satu aspek dari unsur iman. Iman yang sempurna harus didasari ilmu.
Ridha
Maqam ridha lebih tinggi dan lebih bercahaya. Ini karena sementara mutawakkil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayakan seluruh urusannya kepada Allah swt. yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan, râdhi (orang yang telah mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang sâlik ditanya: “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab: “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak”. Yang dimaksudkannya adalagh maqam ridha.[12]
Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa maqam ridha berada di bawah maqam mahabbah dan di atas maqam sabar. Karenanya sabar yang continue dan sungguh-sungguh akan menghasilkan ridha.[13]
Taqwa
Amat banyak definisi taqwa. Menurut arti umum, taqwa adalah menjalani segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sayyid ‘Abdullah ibn ‘Alwi al-Haddad shâhib ar-Râtib, menambahkan; baik lahir maupun batin, disertai perasaan peangagungan, rasa takut, dan mengharap kepada Allah swt.[14]
Dalam kitab at-Ta’rifât karya ‘Ali ibn Muhammad al-Jurjani, mendefinisikan taqwa; ketaatan disertai dengan keikhlasan. Takutnya seorang hamba hanya kepada Allah. Menjaga adab-adab syari’at. Meninggalkan hal-hal yang dapat menjauhi dari Allah swt. Tidak melihat melainkan melihat Allah. Selalu melihat kebaikan pada diri orang lain. Meninggalkan hal-hal yang bukan untuk Allah. Yang terakhir, mengikuti Nabi saww. baik dari ucapan maupun perbuatannya.[15]
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata: Sesungguhnya orang yang bertaqwa itu akan merasakan kenikmatan dunia dan nikmat di akhirat kelak. Mereka juga menikmati dunia bersama pecinta dunia, sedang para pecinta dunia tidak akan bersama-sama mereka untuk merasakan kenikmatan akhirat.[16]
Mahabbah
Yakni, cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Menurut al-Ghazali, maqam ini adalah maqam tertinggi dari seluruh maqam yang telah dilalui sâlik, karena ia merupakan hasil kumulatif dari keseluruhan jenjang-jenjang sebelumnya. Oleh karena itu, orang yang telah mencapai pada maqam ini, ia merasakan lezat dan nikmatnya munajat kepada yang dicinta, yaitu Allah swt.
Beberapa faktor – menurut al-Ghazali – yang menyebabkan manusia mencintai Allah, pertama, secara naluriah manusia mencintai dirinya, selalu berupaya menyempurnakan dirinya, proses penyempurnaan ini akan berujung kepada mencintai Allah, karena manusia adalah karunia Allah. Kedua, manusia menyenangi orang yang suka menolong, sedangkan penolong yang paling sempurna adalah Allah Sang Maha Pengasih. Ketiga, perenungan akan kesempurnaan Allah swt. Keempat, adanya hubungan manusia dengan Allah, manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Ma’rifat
Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan langsung kepada Tuhan. Nampaknya ma’rifat lebih mengacu kepada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah kepada kualitas pengetahuan. Kualitas pengetahuan sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahui itu. Untuk mencapai kualitas tertinggi itu, seorang salik harus melakukan serial latihan keras dan sungguh-sungguh, yang disebut tasawuf amali.
[1] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 100 penerbit MIZAN.
[2] Ushûl Kâfi, al-Kulayni, kitab al-Ĩmân wa al-Kufr, bab at-Tawbah, hadits no. 1.
[3] Nahj al-Balâghah, Sayyid ar-Radhi. hlm. 549 hikam, no. 417 cet. Beirut 1387 H
[4] Do’a shobah Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib as. di waktu sujud. Dalam buku do’a harian, hlm. 84-85, cet. Zahra Publishing House.
[5] Memupuk Keluhuran Budi Pekerti, Imam Khomeini. halaman 23-24. Penerbit MISBAH
[6] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 20-21.
[7] Putri Imam ‘Ali ibn Abi Thalib kr. (anak ke-4) yang nama aslinya Zainab as-Sughra
[8] Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Prof. H. A. Rivavy Siregar. Hlm. 91. Penerbit Rajawali Pers.
[9] Ushûl al-Kâfi, bab “as-Shabr” hadits no. 15
[10] Khwajah ‘Abdullah al-Anshari.
[11] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 30
[12] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 50. penerbit MIZAN.
[13] al-Ghazâlî, al-Munqidz min adh-Dhalâl, cet. Cairo 1316 H.
[14] An-Nasâ’ih ad-Dîniyyah wa al-Washâya al-îmâniyyah. hlm. 8. Pustaka R & HD
[15] Halaman 65. cetakan Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah Beirut – Lebanon.
[16] Nahj al-Balâghah, Subhi ash-Shaleh, kitab 27, hal. 383.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar