Minggu, 23 November 2008

Seputar Tauhid dalam Mazhab Ahlul Bait as.

Imam Ali as berkata:
“Pangkal agama ialah makrifat tentang Dia, kesempurnaan makrifat (pengetahuan) tentang Dia ialah membenarkan-Nya, kesempurnaan pembenaran-Nya ialah mempercayai keesaan-Nya, kesempurnaan iman akan keesaan-Nya ialah memandang Dia Suci, dan kesempurnaan kesucian-Nya ialah menolak sifat-sifat-Nya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa (sifat) itu berbeda dengan apa yang kepadanya hal itu disifatkan, dan setiap sesuatu yang disifati berbeda dengan sifat itu sendiri. Maka barangsiapa meletakkan suatu sifat kepada Allah berarti ia mengakui keserupaan-Nya, dan barangsiapa mengakui keserupaan-Nya maka ia memandang-Nya dua, dan barangsiapa memandang-Nya dua, maka ia mengakui bagian-bagian-Nya, dan barangsiapa mengakui bagian-bagian-Nya (berarti) tidak mengenal-Nya, dan barangsiapa tidak mengenal-Nya maka ia akan menunjuk-Nya, dan barangsiapa menunjuk-Nya (berarti) ia mengakui batas-batas bagi-Nya, dan barangsiapa mengakui batas-batas bagi-Nya (berarti) ia mengatakan jumlah-Nya.
Barangsiapa mengatakan: “Dalam apa Dia berada”, berarti ia berpendapat bahwa Ia bertempat, dan barangsiapa mengatakan: “Di atas apa Dia berada”, maka ia telah beranggapan bahwa Ia tidak berada di atas sesuatu lainnya.
Ia maujud, tetapi tidak melalui fenomena muncul menjadi ada. Ia ada, tetapi bukan dari sesuatu yang tidak ada. Ia bersama segala sesuatu, tetapi tidak dalam kedekatan fisik. Ia berbeda dari segala sesuatu, tetapi bukan dalam keterpisahan fisik. Ia berbuat, tetapi tanpa konotasi gerakan dan alat. Ia melihat sekalipun tak ada dari ciptaan-Nya yang dilihat. Ia hanya Satu, sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu yang dengannya Ia mungkin bersekutu atau yang mungkin Ia akan kehilangan karena ketiadaannya”.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

good to you...

elfan mengatakan...

Apa yg diuraikan tulisan di atas, mengingatkan saya pada sejarah kaum Yahudi dengan kaum Nasrani, dimana kedua kelompok ini, saling klaim tentang keberadaan Nabi Ibrahim As. Kaum Yahudi mengklaim, bahwa Nabi Ibrahim As. itu adalah termasuk ke dalam golongan Yahudi, lalu yang kaum Nasraninya juga mengklaim bahwa Nabi Ibrahim itu adalah golongannya, kaum Nasrani.


Dengan adanya perseteruan kedua belah pihak tersebut, maka datanglah Al Quran, lalu Allah SWT berfirman: "Ibrahim bukan Yahudi dan bukan (pula) Nasrani,.........(QS. 3:67)


Begitu juga halnya dengan masalah keberadaan 'ahlul bait', disatu pihak ada kaum yang mengklaim bahwa merekalah yang satu-satunya berhak 'mewarisi' mahkota atau tahta keturunan 'ahlul bait'. Ee pihak kaum yang satunya juga tak mau kalah bahwa merekalah yang pihak pewaris tahta keturunan 'ahlul bait'. Dalil kedua pihak ini, sama-sama merujuk pada peran dan keberadaan dari Bunda Fatimah, anak Saidina Muhammad SAW bin Abdullah, sebagai 'ahlul bait' yang sesungguhnya dan sering dianggap oleh sebagian besar umat Muslim sebagai pewaris 'keturunan nabi atau rasul'.


Jika kita merujuk pada Al Quran, yakni S. 11:73, 28:12 dan 33:33 maka Bunda Fatimah ini tinggal 'satu-satu'-nya dari beberapa saudara kandungnya. Benar, jika beliau inilah, salah satu pewaris dari tahta ahlul bait. Sementara saudara kandungnya yang lainnya, tidak ada yang hidup dan berkeluarga yang berumur panjang.


Begitu juga, terhadap saudara kandung Saidina Muhammad SAW juga berhak sebagai 'ahlul bait', tapi sayang saudara kandungnya juga tidak ada karena beliau adalah 'anak tunggal'. Apalagi kedua orangtua Saidina Muhammad SAW, yang juga berhak sebagai 'ahlul bait', tetapi sayangnya kedua orangtuanya ini tak ada yang hidup sampai pada pengangkatan Saidina Muhammad SAW bin Abdullah sebagai nabi dan rasul Allah SWT.


Kembali ke masalah Bunda Fatimah, karena tinggal satu-satunya sebagai pewaris tahta 'ahlul bait', maka timbullah masalah baru, bagaimana pula status dari anak-anak dari Bunda Fatimah yang bersuamikan Saidina Ali bin Abi Thalib, keponakan dari Saidina Muhammad SAW, apakah anak-anaknya juga berhak sebagai 'pewaris' tahta ahlul bait?.


Dengan meruju pada ketiga ayat di atas, maka karena Bunda Fatimah adalah berstatus sebagai 'anak perempuan' dari Saidina Muhammad SAW, dan dilihat dari sistim jalur nasab dengan dalil QS. 33:4-5, maka perempuan tidak mempunyai kewenangan untuk menurunkan nasabnya. Kewenangan menurunkan nasab tetap saja pada kaum 'laki-laki', kecuali terhadap Nabi Isa As. yang bernasab pada bundanya, Maryam.


Dari uraian tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa menurut konsep Al Quran, bahwa kita tidak mengenal sistim pewaris nasab dari pihak perempuan, artinya sistim nasab tetap dari jalur laki-laki. Otomatis Bunda Fatimah walaupun beliau adalah 'ahlul bait', tidak bisa menurunkan nasabnya pada anak-anaknya dengan Saidina Ali bin Abi Thalib. Anak-anak dari Bunda Fatimah dengan Saidina Ali, ya tetap saja bernasab pada nasab Saidina Ali saja.


Kesimpulan akhir, bahwa tidak ada pewaris tahta atau mahkota dari AHLUL BAIT, mahkota ini hanya sampai pada Bunda Fatimah anak kandung dari Saidina Muhammad SAW. Karena itu, kepada para pihak yang memperebutkan mahkota ahlul bait ini kembali menyelesaikan perselisihan fahamnya. Inilah mukjizat dari Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, sehingga tidak ada pihak hamba-Nya, manusia yang mempunyai status istimewa dihadapan Allah SWT, selain hamba pilihan-Nya, nabi, rasul dan hamba-Nya yang takwa, muttaqin.


semoga Allah SWT mengampuni saya.