Senin, 16 Maret 2009

Beberapa Tingkatan Maqâmât

Oleh: Achmad Zaenal Fikri

Taubat
Dalam bahasa Arab taubat adalah isim mashdar dari tâba – yatûbu artinya raja’a – yarji’i berarti kembali. Menurut istilah, arti taubat adalah kembali dari alam fisik (tabi’at) ke spiritualitas jiwa, setelah terbukanya fitrah dan ruh oleh gelapnya hawa nafsu karena dosa-dosa dan kedurhakaan.[1]
Mu’awiyyah ibn Wahab berkata: aku mendengar Imam Ja’far berkata: “Kalau seorang hamba menuju Allah dengan taubat yang tulus (tawbatan nashûha) maka Allah mencintainya dan menutupi (dosa-dosanya) di dunia dan di akhirat”. Aku berkata: Bagaimana Dia menutupinya? Imam menjawab: “Allah membuat lupa dua malaikat (yang bertugas mencatat amal perbuatan) apa yang telah dicatat keduanya mengenai dosa-dosanya. Lalu Dia menginspirasikan kepada anggota badannya (dengan kata-kata), “Sembunyikanlah dosa-dosa,” dan Dia menginspirasikan kepada tempat-tempat di bumi (dengan perkataan), “Sembunyikanlah dosa-dosa yang biasa dilakukannya di atasmu.” Lalu dia bertemu dengan Allah, pada saat dia bertemu Dia, dengan cara demikian rupa sehingga tidak ada yang dapat bersaksi bahwa dia telah berbuat dosa.”[2]
Syarat-syarat Taubat
Seseorang berkata: astaghfirullah, di depan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Kemudian Imam berkata kepadanya: “tsakalatka ummuk (Semoga ibumu berduka atasmu!) Tahukah kamu apa istighfar itu? Sesungguhnya istighfar adalah derajat illiyîn, dan ini merupakan sebuah kata yang berarti enam hal. Pertama, adalah menyesali masa lalu. Kedua, bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Ketiga, mengembalikan hak-hak makhluk yang telah dirampas di masa lalu) sehingga engkau bertemu dengan Allah swt. Dalam keadaan suci sedemikian, sehingga tidak ada yang dapat menuntutmu. Keempat, memenuhi setiap kewajiban yang pernah dilalaikan. Kelima, memebereskan daging tubuhmu yang membesar dengan rizki haram, sehingga daging itu meleleh akibat kesedihan dan kedukaan, dan sehingga yang tinggal hanyalah kulit yang melekat ditulang, yang setelah itu tumbuhlah daging baru di antara kulit dan tulang itu. Keenam, buatlah tubuhmu merasakan sakit ketaatan sebagaimana (kamu) merasakan senangnya berbuat dosa. Kalau engkau sudah melakukan keenam hal ini, barulah katakan: astaghfirullah.”[3]
Allah menjanjikan orang-orang yang benar-benar bertaubat, (tawbah an-nashûha), seperti dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."


Ilâhî, kalbu-ku tertutup, jiwaku ternodai, akalku terkalahkan, sedangkan hawa nafsuku menang, (ya Allah) ketaatanku (kepada-Mu) sungguh sedikit, tapi maksiatku sungguh banyak, dan lidahku berlumur dosa, maka bagaimanakah daya upayaku wahai Yang Menutupi segala aib dan noda, wahai Yang Mengetahui segala yang ghaib, wahai Yang Menyingkap segala duka, ampuni semua dosa-dosaku, demi kehormatan Nabi Muhammad dan keluarganya, wahai Yang Maha Pengampun, dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha belas kasih dari para pengasih.[4]

Wara’
Menurut definisi ahli ma’rifat terkemuka, Khwajah ‘Abdullah Ansyari, wara’ adalah kehati-hatian yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah swt.
Tingkatan wara’
o Wara’ pada kalangan awam adalah meninggalkan dosa-dosa besar.
o Wara’ pada kalangan elit adalah berpantangan dari hal-hal yang syubhat, karena takut tergelincir ke dalam hal-hal yang haram.
o Adapun wara’ pada kalangan zahîd adalah berpantang dari hal-hal yang dibolehkan (mubah) demi menghindari beban tanggungan yang menyertainya.
o Wara’ pada kalangan ahli suluk adalah berpantang dari memandang dunia untuk mencapai pelbagai maqâm.
o Wara’ pada kalangan yang tertawan hatinya dalam wujûd Ilâhiyyah adalah melepaskan maqâm demi mencapai ambang pintu Allah dan menyaksikan keindahan-Nya.
o Yang terakhir, wara’ para wali Allah adalah menghindari perhatian pada tujuan-tujuan (ghâyât).[5]

Zuhud
Banyak orang yang salah mengartikan dari kata zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia atau anti dunia, sehingga terkesan orang yang zuhud (zâhid) berpenampilan pakaiannya compang camping, hidupnya dalam kemiskinan dan sebagainya. Arti yang sebenarnya adalah bahwa zuhud adalah sikap yang tidak meletakkan keduniaan di dalam hati pelakunya (zâhid). Para ahli hikmah (hukâmâ) banyak yang berkata: hub al-dunya ra’su kulli khathĩ’ah, (cinta dunia merupakan pangkal dari segala keburukan). Arti yang lain yaitu menghindarkan diri dari kemewahan duniawi, menguasai hawa nafsu dalam segala jenisnya.
Nabi saww. bersabda: tidaklah seorang yang zuhud melainkan Allah tumbuhkan di dalam hatinya sebuah hikmah yang dapat terucap melalui lisannya, ia melihat dunia noda dan (dengan zuhud itu), dapat menghantarkan (si zâhid) ke dâr as-salâm.[6]
Tingkatan Zuhud
Pertama, zuhud awam, yakni menahan diri dari segala larangan. Kedua, zuhud khawas, yaitu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau tidak perlu. Ketiga, zuhud ‘arifin, yaitu meninggalkan segala sesuatu hal-hal yang dapat menghalangi untuk mengingat Allah.

Pernah suatu ketika untuk makan sahur, Ummu Kultsum[7] menawarkan dua potong roti untuk ayahnya, lalu Imam berkata: wahai putriku, mengapa dua potong roti, satu saja cukup bagi ayahmu, apakah engkau mau melihat ayahmu berdiri lama di pengadilan Allah, karena lamanya hisab?

Faqr
Secara umum berarti, belum mendapati kebutuhan pokok. Dan ini dalam hal sosial ekonomi. Tetapi dalam eksistensinya, seperti apa yang Allah firmankan dalam Qs. (35) Fathir ayat 15:
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Fuqarâ adalah bentuk jama’ dari faqîr, berarti orang-orang yang (benar-benar) membutuhkan Allah swt. Pada hakikatnya semua manusia butuh kepada Allah, Allah yang memberikan segala nikmat kepada kita, dan Allah Maha Kaya, Dia tidak membutuhkan kepada siapapun, dan Dia Maha Terpuji. Kepada siapa lagi kita mengharap selain kepada Allah swt. Sabar Artinya konsisten dalam menjalani perintah dan menjauhi larangan Allah swt. serta dalam menerima segala cobaan. Imam al-Ghazali melihat dari sisi sifatnya, sabar ada dua jenis. Pertama, bersifat jasmani, yakni menyangkut ketahanan fisik dalam menjalani kesulitan dan penderitaan badan. Kedua, bersifat rohani, yakni kesiapan mental dan ketangguhan sikap dalam mengendalikan hawa nafsu.[8]
Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali, Rasulullah saww. bersabda: “Ada tiga macam sabar: pertama, sabar ketika menderita. Kedua, sabar dalam ketaatan. Ketiga, sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enma ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan ‘arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat yang tinggi, ketinggian satu derajat atas derajat yang lainnya, seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh arsy.[9]

Tawakkal
Secara harfiyah berarti pengakuan ketakmampuan seseorang dan penyandaran pada seseorang selain dirinya. Ittakaltu ‘alâ fulân fĩ amrin, (aku bersandar kepada seseorang dalam suatu masalah). Pengarang Manâzil as-Sâ’irĩn berkata: “Tawakkal berarti mempercayakan atau menyerahkan seluruh masalah kepada Sang Penguasa dan bersandar kepada kemampuan-Nya dalam menangani masalah-masalah itu.[10] Bisa juga berasal dari al-wakâlah, wakkala amruhu ilâ fulân, seseorang menyerahkan urusannya kepada si fulan.
Arti istilah yang lain adalah memantapkan hati untuk menyerahkan urusan hanya kepada Allah semata.[11]
Sebelum memasuki maqam ini, tawakkal, seseorang kembali ke pemurnian tauhid dahulu, tanpa landasan tauhid yang kokoh, bangunan tawakkal sia-sia belaka. Karena tawakkal juga adalah satu aspek dari unsur iman. Iman yang sempurna harus didasari ilmu.

Ridha
Maqam ridha lebih tinggi dan lebih bercahaya. Ini karena sementara mutawakkil mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri, dan mempercayakan seluruh urusannya kepada Allah swt. yang dipandangnya sebagai pemberi kebaikan, râdhi (orang yang telah mencapai maqam ridha) adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam Kehendak Allah, dan tak memiliki lagi kehendak dirinya sendiri. Ketika seorang sâlik ditanya: “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab: “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak”. Yang dimaksudkannya adalagh maqam ridha.[12]
Imam al-Ghazali menegaskan, bahwa maqam ridha berada di bawah maqam mahabbah dan di atas maqam sabar. Karenanya sabar yang continue dan sungguh-sungguh akan menghasilkan ridha.[13]

Taqwa
Amat banyak definisi taqwa. Menurut arti umum, taqwa adalah menjalani segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sayyid ‘Abdullah ibn ‘Alwi al-Haddad shâhib ar-Râtib, menambahkan; baik lahir maupun batin, disertai perasaan peangagungan, rasa takut, dan mengharap kepada Allah swt.[14]
Dalam kitab at-Ta’rifât karya ‘Ali ibn Muhammad al-Jurjani, mendefinisikan taqwa; ketaatan disertai dengan keikhlasan. Takutnya seorang hamba hanya kepada Allah. Menjaga adab-adab syari’at. Meninggalkan hal-hal yang dapat menjauhi dari Allah swt. Tidak melihat melainkan melihat Allah. Selalu melihat kebaikan pada diri orang lain. Meninggalkan hal-hal yang bukan untuk Allah. Yang terakhir, mengikuti Nabi saww. baik dari ucapan maupun perbuatannya.[15]
Imam ‘Ali ibn Abi Thalib berkata: Sesungguhnya orang yang bertaqwa itu akan merasakan kenikmatan dunia dan nikmat di akhirat kelak. Mereka juga menikmati dunia bersama pecinta dunia, sedang para pecinta dunia tidak akan bersama-sama mereka untuk merasakan kenikmatan akhirat.[16]
Mahabbah
Yakni, cinta kepada Allah melebihi cinta kepada yang lainnya. Menurut al-Ghazali, maqam ini adalah maqam tertinggi dari seluruh maqam yang telah dilalui sâlik, karena ia merupakan hasil kumulatif dari keseluruhan jenjang-jenjang sebelumnya. Oleh karena itu, orang yang telah mencapai pada maqam ini, ia merasakan lezat dan nikmatnya munajat kepada yang dicinta, yaitu Allah swt.
Beberapa faktor – menurut al-Ghazali – yang menyebabkan manusia mencintai Allah, pertama, secara naluriah manusia mencintai dirinya, selalu berupaya menyempurnakan dirinya, proses penyempurnaan ini akan berujung kepada mencintai Allah, karena manusia adalah karunia Allah. Kedua, manusia menyenangi orang yang suka menolong, sedangkan penolong yang paling sempurna adalah Allah Sang Maha Pengasih. Ketiga, perenungan akan kesempurnaan Allah swt. Keempat, adanya hubungan manusia dengan Allah, manusia berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.

Ma’rifat
Dari segi bahasa, ma’rifat berarti pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan langsung kepada Tuhan. Nampaknya ma’rifat lebih mengacu kepada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah kepada kualitas pengetahuan. Kualitas pengetahuan sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahui itu. Untuk mencapai kualitas tertinggi itu, seorang salik harus melakukan serial latihan keras dan sungguh-sungguh, yang disebut tasawuf amali.

[1] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 100 penerbit MIZAN.
[2] Ushûl Kâfi, al-Kulayni, kitab al-Ĩmân wa al-Kufr, bab at-Tawbah, hadits no. 1.
[3] Nahj al-Balâghah, Sayyid ar-Radhi. hlm. 549 hikam, no. 417 cet. Beirut 1387 H
[4] Do’a shobah Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib as. di waktu sujud. Dalam buku do’a harian, hlm. 84-85, cet. Zahra Publishing House.
[5] Memupuk Keluhuran Budi Pekerti, Imam Khomeini. halaman 23-24. Penerbit MISBAH
[6] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 20-21.
[7] Putri Imam ‘Ali ibn Abi Thalib kr. (anak ke-4) yang nama aslinya Zainab as-Sughra
[8] Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Prof. H. A. Rivavy Siregar. Hlm. 91. Penerbit Rajawali Pers.
[9] Ushûl al-Kâfi, bab “as-Shabr” hadits no. 15
[10] Khwajah ‘Abdullah al-Anshari.
[11] Kifâyah al-Atqiyâ’ hlm. 30
[12] 40 Hadits telaah Imam Khomeini, buku kedua. hlm. 50. penerbit MIZAN.
[13] al-Ghazâlî, al-Munqidz min adh-Dhalâl, cet. Cairo 1316 H.
[14] An-Nasâ’ih ad-Dîniyyah wa al-Washâya al-îmâniyyah. hlm. 8. Pustaka R & HD
[15] Halaman 65. cetakan Dâr al-Kutub al-‘ilmiyyah Beirut – Lebanon.
[16] Nahj al-Balâghah, Subhi ash-Shaleh, kitab 27, hal. 383.

Kamis, 12 Maret 2009

Asal-usul Tasawuf dan Kedudukannya dalam Islãm

a. Latarbelakang Tasawuf
Tasawuf dan Islãm tidak dapat dipisahkan. Seperti kesadaran secara tinggi atau kebangkitan pun tidak dapat dipisahkan dari Islãm. Islãm bukanlah fenomena sejarah yang berawal 1.400 tahun yang lalu melainkan kebangkitan yang abadi. Tasawuf merupakan jantungnya Islãm. Usianya setua masa bangkitnya kesadaran manusia.
Bangkitnya tasawuf dikarenakan adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan ajaran Islãm yang semakin meningkat, terutama yang dilakukan oleh penguasa masa itu. Para penguasa atau raja sering menggunakan nama Islãm demi untuk membenarkan tujuan mereka, membuang aspek-aspek ajarannya yang tidak sesuai dengan gaya hidup mereka yang royal. Sejak saat itulah sejarah mencatat kebangkitan, pembaruan dan militansi di banyak kelompok muslim yang ikhlas di seluruh dunia Islãm yang kian meluas. Mereka ingin mengembalikan risalah atau ajaran nabî yang suci dan murni. Ini merupakan kebagkitan spontan dari individu-individu yang menemukan sunnah nabî yang benar, yang diilhami oleh cahaya pemuasan batin.
Menurut Abul Qãsim Qusyairî, kaum sufi muncul di abad kesembilan, sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya nabi Muhammad saww. Lantas muncul pertanyaan, mengapa perlu waktu bertahun-tahun untuk sungguh-sungguh tertarik dengan ilmu kebatinan?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita tengok pada awal abad ke tujuh. Di mana di tanah ‘Arãb terdapat sebuah masyarakat dan berbagai suku yang pecah belah yang selama berabad-abad terlibat dalam tradisi peperangan, penyembahan berhala, dan nilai-nilai kekuasaan lainnya. Meskipun orang ‘Arãb melakukan perdagangan di luar tanah ‘Arãb, namun pengaruh budaya lain pada mereka sangat sedikit. Maka oleh karena itu didapati beberapa kaum menjalani hidup dengan mengembara selama berabad-abad dengan sedikti mengalami perubahan. Mendadak, suatu “aroma nubuah dan cahaya kenabian” yang begitu menakjubkan terwujud di tengah-tengah mereka.
Selama 23 tahun nabî Muhammad saww. menyanyikan kebenaran untuk menyelamatkan umat manusia, mengajarkan hakikat kehidupan bagi mereka yang buta, memberikan kesadaran bahwa manusia lahir ke dunia untuk mempelajari jalan-jalan penciptaan seraya melakukan perjalanan kembali ke asalnya, Pencipta Yang Esa. Karena, meskipun pada hakikatnya manusia itu mempunyai kebebasan, ia diikat dan dibatasi oleh hukum-hukum lahiriah yang mengatur kehidupan.
Kebenaran abadi terus diserukan nabî, akan tetapi dibalas dengan intimidasi dan teror, hanya segelintir orang yang hatinya tulus mendukung. Penganiayaan terus terjadi, terpaksa sebagian merka hijrah mencari perlindungan. Sejarah mencatat hijrahnya Rasûl saww. ke Yastrib – sekarang Madãnah – pada tahun 632. Keberhasilan dakwah nabî saww. melihat Islãm semakin mendominasi tanah ‘Arãb, maka mereka semua masuk Islãm dalam jumlah ribuan. Sejarah terus ditulis oleh para ahli sejarah dan saya tidak mungkin menulisnya secara lengkap.
Ketika nabî meninggal, komunitas muslim yang baru mulai bermunculan. Akibatnya, berlangsunglah pemilihan yang terburu-buru dan tegang atas Abû Bakar sebagai pemimpin pertama komunitas tersebut.
Nabî saww. telah menyatakan dalam banyak kesempatan, kepada siapa kaum muslimin harus merujuk tentang segala perkara sepeninggal beliau saww, bak seorang dokter yang bertanggung jawab, ketika hendak cuti atau pensiun, memberitahu para pasien kepada siapa mereka harus merujuk bila tidak ada. Namun, timbul ketidaksepakatan mengenai apakah nabî telah menunjuk Imãm ‘Alî secara khusus sebagai pengganti beliau saww. – bukan pengganti sebagai nabî – atau tidak.
Kepemimpinan Abû Bakar berlangsung selama dua tahun yang di dalamnya tidak terlepas perselisihan internal. Setelah wafatnya Abû Bakar di tahun 634, ‘Umar yang telah ditunjuk oleh Abû Bakar sebagai wakilnya, menjadi pemimpin muslimin berikutnya. Sepuluh tahun memimpin terjadi ekspansi besar-besaran. Dari Mesir, Persia, dan Empirium Bizantium ditaklukan, termasuk Yerusalem. ‘Umar dibunuh oleh seorang budak Persia – Abû Lu’lu – tahun 644.
Pemimpin berikutnya, ‘Utsmãn, diangkat oleh ‘Umar untuk sekelompok orang yang telah ditunjuk oleh ‘Umar. ‘Utsmãn memimpin selama dua belas tahun, banyak kaum muslimîn yang benar-benar kembali ke cara hidup jahiliyah. ‘Utsmãn dibunuh pada tahun 656.
Di zaman Imãm ‘Alî – berlangsung enam tahun – banyak kaum muslimîn yang hanya mengaku sebagai muslim, mereka tidak meresapi jalan hidup Islãm. Tiga peperangan besar terjadi di masa itu. Jamal, Shiffîn (tahun 657), dan Nahrawãn. Imãm ‘Alî ditikam secara mematikan ketika sujud dalam shalat.
Banyak kiranya lembaran-lembaran hitam sejarah pasca nabî Muhammad saww. Hingga kekuasaan beralih monarki yang absolut. Padahal tidak ada sabda nabi tentang sistem monarki. Sampai meletusnya perang yang tidak seimbang, Imãm Husein ibn ‘Alî diundang ke Karbalã dan dipaksa untuk membai’at Yazîd ibn Mu’ãwiyah, hingga kisah ini menyayat hati kaum muslimîn.
Muncullah sang sufi sejati, putra dari al-Husein ibn ‘Alî, yaitu ‘Alî Zainal ‘Ābidîn, yang terkenal sayyid as-sãjidîn, ¬pemuka orang-orang yang sujud. Warisan intelektual dan spiritual Imam yang paling popular adalah ash-Shahifah as-Sajjadiyyah. Do’a-do’a dan munajat yang terkandung dalam gita suci ini tak lain berasal dari ungkapan-ungkapan spontan Imam ihwal berbagai pengalamn batin yang dilaluinya.
Satu kisah yang disaksikan Ibn Thawus merupakan gambaran keagungan hati Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin; “Saya perbah melihat ‘Ali Zainal ‘Abidin bertawaf mengelilingi Ka’bah sejak isya hingga menjelang sahur. Setelah itu beliau melakukan berbagai ibadah lain. Ketika sudah tidak ada seorang pun di sekitarnya, ia mulai menatap langit, mengadahkan tangannya lalu berdo’a: “Tuhanku, berkelip-kelip sudah bintang-gemintang di langit-Mu, terpejam sudah mata para hamba-Mu, dan telah terbuka lebar pula berbagai pintu-Mu, aku dating kepada-Mu agar Engkau sudi mengampuniku, merahmatiku, dan menampakkan wajah kakekku Muhammad saww. Kelak di hari kiamat”.
Sesudah itu beliau menangis tersedu-sedu, lalu kembali berdo’a: “Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, kemaksiatanku sekali-kali tidak untuk menentang-Mu. Ketika aku bermaksiat kepada-Mu, maka itu bukan karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku ragu kepada-Mu. Tidak pula itu karena aku tidak tahu bencana (akhirat)-Mu atau menantang siksa-Mu. Tetapi hal itu semata-mata karena aku digelincirkan oleh diriku. Karena itu, berilah aku pertolongan untuk menghadapi semua ini, melalui penutup-Mu yang member ketentraman hati. Siapa kelak yang bakal menyelamatkanku dari siksa-Mu? Dengan tali apa aku harus berpegang bila Engkau putuskan tali-Mu? Oh, alangkah buruk nasibku ketika kelak berdiri di hadapan-Mu. Alangkah sialnya aku bila umurku panjang tapi dosaku bertumpuk, sementara aku tidak pernah bertobat kepada-Mu. Tidakkah aku akan sangat malu pada-Mu, Tuhanku?”
Tangisannya semakin menjadi-jadi ketika beliau melanjutkan: “Apakah Engkau akan membakarku dengan api neraka, wahai puncak segala harapan? Jika memang demikian, di manakah Harapanku dan di mana pula Kekasihku? Aku datang (kepada-Mu) dengan amal yang buruk dan penuh dosa. Di persada ini tiada yang begitu berdosa seperti aku”.
Sambil terus bercucuran air mata, beliau bertutur: “Mahasuci Engkau! Engkau dimaksiati seakan-akan Engkau tidak tampak, sementara kasih sayang-Mu berupa perbuatan-perbuatan baik-Mu kepada para hamba tidak pernah terhenti, seakan-akan Engkau tak pernah dimaksiati. Seolah-olah Engkaulah yang membutuhkan mereka, padahal Engkau, wahai Junjunganku, sama sekali tiada membutuhkan mereka”.
Sebentar kemudian beliau tersungkur ke tanah dalam keadaan sujud. Pelan-pelan aku mendekatinya dan mengangkat kepalanya untuk kuletakkan di pangkuanku. Aku pun hanyut dalam tangis, sampai-sampai air mataku membanjiri pipinya. Beliau duduk dan berkata:
“Siapakah gerangan yang mengganggu dzikirku ini?”
“Saya Thawus, wahai putra rasulullah,” jawabku.
“Duhai, apa yang membuat tuan sedemikian prihatin dan bersedih seperti ini? Kamilah yang melakukan semua ini, lantara kami adalah orang-orang yang bermaksiat dan berdosa. Sedangkan tuan adalah ‘Ali Zainal ‘Abidin, ayah tuan adalah al-Husein ibn ‘Ali, cucu Rasulullah, nenek tuan adalah Fathimah az-Zahra. Dan ayah nenek tuan adalah Rasulullah saww.”
Sembari menatapku beliau berkata:
“Sudahlah Thawus………sudahlah. Jangan kau bawa-bawa ayah, ibu, dan kakekku. Sebab, Allah menciptakan surga bagi para pelaku kebaikan, sekalipun dia negro dari Habasyah. Dan menciptakan neraka bagi para pelaku kemaksiatan, sekalipun dia orang Quraisy. Tidakkah engkau mendengar firman Allah swt. yang berbunyi:
Apabila sangkakala telah ditiup, maka tiada lagi pertalian nasab di antara mereka, dan tiada pula mereka akan saling menyapa. (al-Muminun: 101)
“Demi Allah, tiada yang bermanfaat bagimu kelak kecuali amal salehmu sendiri.”
Dua puluh tahun menangisi ayahnya. Pernah suatu hari ada yang menasehati tentang keadaan yang terus menerus menangis, Imâm ‘Alî Zainal ‘Ābidîn menjawab: “Ya’qūb adalah seorang nabî, anaknya, Yūsuf juga nabî, Ya’qūb menangisi anaknya sampai matanya buta, sedangkan aku, aku melihat sendiri ayahku, paman-pamanku dibantai dihadapanku, setiap aku melihat bibi-bibiku, aku teringat berlariannya mereka dari kemah ke kemahnya yang dibakar, bagaimana mungkin kesedihanku bisa berakhir”.
Selain para pemuka mistisisme dari kalangan keluarga nabî sendiri, banyak dari mereka juga yang bertemu langsung dengan Ahlulbait, seperti Hasan al-Bashrî, termasuk tokoh sufi klasik yang dilahirkan pada 26 H dan meninggal pada 110 H telah menulis kitab berjudul Ri’âyah Huqūqillah, sebagai kitab suluk yang pertama dalam dunia sufi.
Jadi, latar belakang yang membuat munculnya dunia tasawuf, adanya berbagai distorsi dan penyalahgunaan dalam ajaran-ajaran Islâm yang terjadi dilingkungan penguasa masa itu.

b. Kedudukannya dalam Studi Agama Islâm
Tasawuf merupakan ilmu yang memusatkan studi dalam bidang akhlâk, baik lahir maupun batin. Seperti yang telah kami singgung, bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari Islâm. Setelah manusia mengenal Allah, mengetahui beban taklif dalam beribadah menyembah terhadap-Nya, terakhir, dia mesti memperbaiki akhlâk, baik terhadap manusia maupun terhadap Sang Pencipta, terutama terhadap Allah. Karena bagaimanapun kita hidup lama di dunia, kita pasti akan kembali keharibaan Allah swt.
Firman Allah: “wahai manusia, sesungguhnya kamu sedang bekerja (beramal) dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya”. (Al-Insyiqâq: 6)
Allah swt. mempunyai nama-nama, biasa disebutnya asmâ al-Husnâ. Dari banyaknya asmâ al-Husnâ-Nya tersebut dibagi dua macam: 1.) Jamâl (keindahan) dan 2.) Jalâl (kebesaran). Nama-nama Allah swt yang masuk dalam kategori Jamâl, seperti; ar-Rahmân, ar-Rahîm, al-Ghafūr (Maha Pengampun), dll. Sedangkan nama-nama-Nya yang masuk dalam kategori Jalâl, seperti; al-Jabbâr (Maha Memaksa), al-Muntaqîm (Maha Membalas), dll.
Para mutashawwifîn atau ‘urafâ, sangat menginginkan kembali keharibaan-Nya ke asma-Nya yang Jamâl, karena mereka mengetahui hakikat kedekatan diri kepada Allah.
Tulisan ini kami tutup dengan ucapan Amîrul Mukminîn Imâm ‘Alî ibn Abî Thâlib: “Manusia beribadah kepada Allah swt. terbagi tiga kategori: pertama, mereka yang beribadah karena takut kepada neraka, merekalah ibadahnya budak (‘ibâdah al-‘abîd). Kedua, mereka yang beribadah menyembah Allah karena mengharap keuntungan, merekalah ibadahnya pedagang (‘ibâdah at-tujjâr). Ketiga, mereka yang menyembah bersimpuh karena kecintaan mereka kepada Allah, mereka tidak mengharapkan apa-apa selain kasih sayang Tuhan-Nya, merekalah para pecinta Allah (‘ibâdah al-muhibbîn)”.

Nikah Beda Agama dalam Tafsir al-Manar

A. Mukaddimah
Allah Yang Maha Bijaksana telah meletakkan keinginan dan naluri yang beraneka ragam dalam diri manusia, sehingga dengan perantara itu ia dapat menyempurnakan kehidupan material dan spiritualnya. Yang penting di antara naluri-naluri itu harus terdapat keseimbangan, sehingga tidak ada dominasi satu atau beberapa naluri terhadap naluri-naluri fitri yang lain. Jika tidak demikian, manusia akan mengalami stagnasi dalam rangka mewujudkan pengembangan diri yang menyeluruh dan ia tidak akan dapat menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Menurut terminologi para ulama etika, agama Islam yang suci menginginkan penyeimbangan seluruh fungsi naluri manusia, bukan menonaktifkan seluruh fungsinya. Di antara faktor utama pengontrol naluri adalah pernikahan dan pembentukan keluarga.
Pernikahan akan memberikan arti kepada kehidupan. Seorang pemuda yang datang melamar seorang gadis, ia akan ditanya, “Apakah engkau berani menghadapi kehidupan?”. Pertanyaan ini artinya, apakah ia memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab?
Jadi, pernikahan bukan hanya sekedar sarana untuk membebaskan diri dari kesendirian, bahkan ia merupakan jalan untuk mencapai kesehatan, kebersamaan, dan kesatuan naluri. Dan ini adalah yang paling penting.
Akhir-akhir ini, kegiatan nikah beda agama banyak terjadi, terutama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen. Hal ini menimbulkan kontroversi di kalangan ulama dan fuqahâ. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak.
Kontroversi itu semakin gencar ketika munculnya isu adanya kekosongan hukum di Indonesia mengenai kawin beda agama. UU. No. 1/ 1974 tentang Perkawinan dianggap tidak lengkap, karena tidak memuat pasal-pasal tentang itu. Bahkan, Kantor Catatan Sipil bersikeras menolak melaksanakan perkawinan semacam itu, karena dianggap tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Betulkah terjadi kekosongan hukum di Indonesia? Akan tetapi penulis mencoba melihat dari pendapat Sayyid Muhammad Rasyîd Ridhâ dalam karya tafsîr legendarisnya, al-Manâr.

B. Latarbelakang Sosial – Intelektual Rasyîd Ridhâ.
Sayyid Muhammad Rasyîd ibn ‘Alî Ridhâ ibn Syamsuddîn bin Bahâ’uddîn al-Qalmūnî al-Baghdâdî al-Husainî, namanya. Bangsawan ‘Arâb yang memiliki garis keturunan langsung dari Imâm al-Husein ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib as. Ia lahir pada 1865 M. Gelar sayyid pada awal namanya merupakan gelar yang biasa diberikan kepada semua yang mempunyai garis keturunan tersebut.
Keluarga Ridhâ dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan Syaikh. Salah seorang kakek Rasyîd Ridhâ bernama Sayyid Syaikh Ahmad adalah orang yang wara' sehingga seluruh waktunya hanya digunakan untuk membaca dan beribadah, serta tidak menerima tamu kecuali sahabat-sahabat terdekat dan ulama, itupun hanya pada waktu-waktu tertentu, yaitu antara Ashar dan Maghrib. Hal yang sama juga menurun pada ayahnya sehingga Rasyîd Ridhâ banyak terpengaruh dan belajar dari ayahnya sendiri, seperti yang ditulis dalam buku hariannya yang dikutip oleh Ibrâhîm Ahmad al-Adawî: Ketika aku mencapai umur remaja, aku melihat dirumah kami pemuka-pemuka agama Kristen dari Tripoli dan Libanon, bahkan aku lihat pula pendeta-pendeta, khususnya dihari raya, aku melihat ayahku rahimahullah berbasa-basi dengan mereka sebagaimana beliau berbasa-basi dengan penguasa dan pemuka masyarakat Islam. Ayahku menyebut apa yang beliau ketahui tentang kebaikan-kebaikan mereka secara objektif, tetapi tidak dihadapan mereka.
Ini adalah salah satu sebab mengapa aku menganjurkan untuk bertoleransi serta mencari titik temu dan kerjasama antara semua penduduk negeri atas dasar keadilan dan kebajikan yang dibenarkan oleh agama, demi kemajuan negara. Setelah menamatkan pelajarannya ditaman-taman pendidikan dikampungnya yang dinamai al-Kuttâb, Ridhâ dikirim oleh orangtuanya ke Tripoli (Libanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidâiyyah yang mengajarkan ilmu nahwu, shorof, aqîdah, fiqih, berhitung dan ilmu bumi, dengan bahasa pengantar adalah bahasa Turki, mengingat Libanon waktu itu ada dibawah kekuasaan kerajaan Utsmâniyyah. Ridhâ tidak tertarik pada sekolah tersebut, setahun kemudian dia pindah kesekolah Islam negeri yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa ‘Arâb sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis. Sekolah ini dipimpin oleh ulama besar Syam ketika itu, yaitu Syaikh Husain al-Jisr yang kelak mempunyai andil besar terhadap perkembangan pemikiran Ridha sebab hubungan keduanya tidak berhenti meskipun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah Turki. Dari Syaikh inilah Ridha mendapat kesempatan menulis dibeberapa surat kabar Tripoli yang kelak mengantarnya memimpin majalah al-Manâr. Selain Syaikh Husain al-Jisr, Rasyĩd Ridhâ juga belajar dari Syaikh Mahmũd Nasyabah yang ahli di bidang hadis dan mengajarnya sampai selesai dan karenanyalah Ridhâ mampu menilai hadits-hadits yang dha’ĩf dan maudhũ’ sehingga dia digelari " Voltaire "-nya kaum Muslim karena keahliannya menggoyahkan segala sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
Voltaire (1694-1778 M) adalah filosof Prancis yang mengkritik secara pedas pendapat para pemuka agama dan masyarakat Prancis pada masanya serta tokoh yang mengantar tercetusnya Revolusi Prancis tahun 1789 M.
Ridhâ juga belajar dari Syaikh Abdul Ganĩ ar-Rafi yang mengajarkannya sebagian dari kitab hadits Nailul Authar (sebuah kitab hadis yang dikarang oleh Asy-Syaukanĩ yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyyah), al-Ustadz Muhammad al-Huseini, Syaikh Muhammad Kâmil ar-Rafi dan Ridhâ selalu hadir dalam diskusi mereka mengenai ilmu ushũl dan logika.
Selama masa pendidikannya, Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ membagi waktunya antara ilmu dan ibadah pada salah satu masjid milik keluarganya, ibunya sempat bercerita: Semenjak Muhammad dewasa, aku tidak pernah melihat dia tidur karena dia tidur baru sesudah kami bangun dan bangun sebelum kami terbangun. Ridha menulis dalam buku hariannya: Aku selalu berusaha agar jiwaku suci dan hatiku jernih, supaya aku siap menerima ilmu yang bersifat ilham, serta berusaha agar jiwaku bersih sehingga mampu menerima segala pengetahuan yang dituangkan kedalamnya. Dalam rangka menyucikan jiwa inilah, Ridhâ menghindari makan-makanan yang lezat-lezat atau tidur diatas kasur, mengikuti cara yang dilakukan kaum sufi.
Sikap ini dihasilkan oleh kegemarannya membaca kitab Ihyâ ‘Ulũmiddĩn karya Imâm al-Ghazâlĩ yang dibacanya berulang-ulang hingga benar-benar mempengaruhi jiwa dan tingkah lakunya. Majalah al-Urwah al-Wutsqâ yang diterbitkan oleh Jamâluddĩn al-Afghânĩ dan Muhammad Abduh di Paris dan tersebar diseluruh dunia, ikut dibaca oleh Rasyĩd Ridhâ dan ini memberikan pengaruh besar bagi jiwanya.



C. Corak dan Metode Tafsir al-Manar.
Kekagumannya pada Muhammad Abduh bertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya tahun 1885 M dan mengajar sambil mengarang, pertemuan keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui temannya, Syaikh Abdullah al-Barâkah yang mengajar disekolah al-Khanutiyah. Ridhâ sempat bertanya mengenai kitab tafsir terbaik menurut Abduh, dan dijawab bahwa tafsir al-Kassyâf karya az-Zamakhsyarĩ adalah yang terbaik karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya. Pertemuan yang kedua kali antara Abduh dan Ridhâ terjadi pada tahun 1894 M, juga di Tripoli dan kali ini Rasyĩd Ridhâ menemani Abduh sepanjang hari sehingga banyak kesempatan untuk menanyakan segala sesuatu yang masih kabur baginya; Pertemuan ketiga terjadi lima tahun berikutnya, yaitu 18 Januari 1898 M di Kairo - Mesir dan sebulan sesudah itu Rasyĩd Ridhâ mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan surat kabar yang mengolah masalah sosial, budaya dan agama. Meskipun awalnya Abduh tidak setuju, tetapi akhirnya beliau merestuinya dan memilihkan nama al-Manâr dari sekian banyak nama yang diusulkan Ridhâ.
Al-Manâr sendiri terbit edisi perdana pada tanggal 17 Maret 1898 M berupa media mingguan sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat tidak hanya di Mesir tetapi juga negara-negara sekitarnya hingga sampai ke Eropa dan Indonesia. Ridha memberikan perhatian lebih kepada Indonesia, terbukti bahwa dia mewujudkan Madrasah Dâr ad-Da'wah wa al-Irsyâd, salah satu tujuannya adalah mengirim tamatannya ke Jawa dan China, untuk penerimaan pelajarnya, diutamakan yang berasal dari Jawa, China dan daerah-daerah selain Afrika Utara.
Tafsĩr al-Manâr yang bernama Tafsĩr al-Qur’ân al-Hakĩm memperkenalkan dirinya sebagai kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahĩh dan pandangan akal yang tegas yang menjelaskan hikmah-hikmah syar’iyyah serta sunnatullah yang berlaku terhadap manusia dan menjelaskan fungsi al-Qur'ân sebagai petunjuk untuk seluruh manusia disetiap waktu dan tempat serta membandingkan antara petunjuknya dengan keadaan kaum Muslimin dewasa ini.
Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakam hasil karya 3 tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamâluddĩn al-Afghânĩ, Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyĩd Ridhâ yang mana dimuat secara berturut-turut dalam majalah al-Manâr yang dipimpin oleh Ridhâ. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fâtihah sampai surah an-Nisâ ayat: 125 kemudian Ridhâ selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân sendirian sampai dengan ayat: 52 surah Yũsuf (penafsiran Ridhâ sendiri sampai ayat 101 tetapi yang dimuat pada majalah al-Manar hanya sampai ayat 52).
Dalam beberapa hal, Rasyid Ridha lebih unggul dari gurunya, Muhammad Abduh, seperti penguasaannya di bidang hadits dan penafsiran ayat dengan ayat serta keluasan pembahasan berbagai masalah. Di sisi tertentu, Ridha pun memiliki konsep yang sama dengan Abduh, seperti penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur'an dan bersikap kritis atas hadits-hadits yang dianggap shahih oleh umat Islam mayoritas. Misalnya Ridha menolak hadits Bukhari yang menceritakan mengenai tersihirnya Nabi yang tidak hanya dianalisanya dari sisi matan tetapi juga dari sisi sanadnya dimana menurut beliau, Hisyam, salah seorang perawi hadits ini mendapat sorotan dan ditolak oleh ulama al-Jarh wa at-Ta'dil atau juga mengenai hadis terbelahnya bulan yang disampaikan oleh Abu Hurairah melalui jalur Ibnu Juraij yang disebutnya sudah pikun saat menceritakan hadits itu pada A'war al-Mashish.
Disisi lain Rasyid Ridha mengecam dan banyak mengkritik secara tegas dan pedas beberapa tokoh tafsir dan penulis seperti Ibnu Jarir ath-Thabari penulis Tafsir Jami' al-Bayân fĩ Tafsir al-Qur'ân, Fakhruddin ar-Razi penulis kitab Mafâtih al-Ghaib, az-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kassyâf, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi penulis tafsir al-Anwâr at-Tanzĩl wa Asrâr at-Ta'wĩl, Mahmud al-Alusi penulis tafsir Rũh al-Ma’ânĩ serta Jalaluddin as-Sayuthi penulis tafsir ad-Dur al-Mantsũr. Dalam kritik-kritiknya itu, Ridha menggunakan kata-kata orang pikun, fanatik buta, pengkhayal, penulis yang kacau, penjiplak, mufasir bodoh, penulis lelucon dan ketololan yang tidak dapat diterima akal dan tidak terdapat dalam al-Qur'an sebagai isyarat pembenar. (detilnya baca buku ini hal 154 s/d 174). Baik Abduh maupun Ridha sendiri, menurut Quraish Shihab adalah perintis jalan menuju kesempurnaan, terutama dalam hal tafsir. Dimana tafsir al-Manar - masih menurut beliau - berusaha menampilkan al-Qur'an dengan wajah yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Ridhâ wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah mengantar Pangeran Sa'ud al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia) dari kota Suez - Mesir pada tanggal 22 Agustus 1935 M sembari membaca akhir ayat yang ditafsirkannya: Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah mengaruniakan kepadaku sebagian kekuasaan dan mengajarkan kepadaku penjelasan tentang takwil mimpi. Ya Tuhan pencipta langit dan bumi, Engkaulah pelindungku di dunia dan akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan sebagai Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shaleh.
D. Mengenai Nikah Beda Agama.
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam, di dalamnya memuat berbagai persoalan dalam hidup dan kehidupan ini. Hukum perkawinan beda agama, secara literal ditemukan dua buah ayat yang membicarakannya, yaitu Surat al-Baqarah: 221 dan Surat al-Mâ’idah: 5.
                               •     •      ••   
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

 •                                             
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang yang merugi.

Asbâb an-Nuzũl ayat yang disebutkan pertama di atas, Riwayat dari Ibn Mundzir, Ibn Abu Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil dia berkata: ayat ini – (2: 221) – turun mengenai Ibn Abi Marstadi al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi saww. untuk mnegawini seorang wanita cantik lagi musyrik, maka turunlah ayat tersebut.
Suyuthi dalam Asbâb an-Nuzũl-nya menyebutkan bahwa ayat:   al-Wahidi meriwayatkan melalui jalur as-Sadyu dari Abu Malik kemudian dari Ibn Abbas dia berkata: ayat tersebut dituju untuk Abdullah ibn Ruwahah yang memiliki budak perempuan hitam, Abdullah marah kemudian menamparnya, maka Ibn Ruwahah dihinggapi rasa takut, kemudian Nabi saww. datang memberikan kabar: aku akan memerdekakan dia dan aku akan menikahi dia. Maka Nabi saww. melakukan kemudian orang-orang mencela Nabi, mereka berkata: dia (Nabi saww.) menikahi seorang budak, maka turunlah ayat tersebut. Rasyid Ridha menilai riwayat di atas ini, melalui Ibn Jarir bahwa periwayatan as-Sadyu terputus.
Ayat yang disebutkan pertama di atas, menimbulkan dua konsekuensi hukum, yaitu larangan lelaki muslim mengawini wanita musyrik dan larangan wanita muslimah dikawini oleh lelaki musyrik. Adapun yang disebutkan kedua, menimbulkan konsekuensi yang membolehkan lelaki muslim mengawini wanita ahlul kitab.
Mengenai musyrik pada ayat pertama di atas, menurut Ibn Jarir Thabari adalah para penyembah berhala-berhala di kalangan orang-orang ‘Arab yang hidup pada masa Nabi saww.
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud orang-orang musyrik perempuan – di dalam ayat 221 surah al-Baqarah – bukan wanita-wanita ahlul kitab dari wanita-wanita ‘Arab. Akan tetapi sebagian mereka berpendapat bahwa orang-orang musyrik itu mencakup ahlul kitab, karena sebagian mereka – ahlu kitab – ada yang musyrik.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita-wanita musyrik merekalah wanita-wanita ‘Arab yang tidak mempunyai kitab. Karena yang demikian itu, al-Qur’an memperkenalkan mereka melalui ayat 105 surat al-Baqarah:
•          •                 
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dan ayat 1 surat al-Bayyinah:
            
Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,

Adapun tentang surat al-Ma’idah ayat 5 turun setelah surat al-Baqarah; karena itu yang berpendapat bahwa lafazh; musyrikât itu mencakup kitâbiyyât, dan ayat tersebut di surat al-Ma’idah menghapus ayat yang di surat al-Baqarah. Sebagian mufassir, sebaliknya, bahwa ayat 221 surat al-Baqarah menghapus ayat 5 dari surat al-Ma’idah.
Mengenai konsekuensi pada ayat kedua di atas, ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama salaf tidak membolehkan lelaki muslim mengawini wanita non-muslim secara mutlak, sedangkan sebagian yang lainnya membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan wanita Majusi.
Dalam hal mengawini wanita bukan musyrik dan bukan pula ahlul kitab, seperti; Majusi, Shaib, Hindu, Buddha, Shito, dan Konfutze, al-Qur’an berdiam diri.
Hal ini menimbulkan masalah, apakah boleh atau tidak? Menurut ath-Thabari, mereka itu digolongkan sebagai ahlul kitab, karena menganut faham tauhid (mengesakan Tuhan). Bahkan, menurut data sejarah, mereka mempunyai rasul dan kitab suci (tergolong agama samawi).
Pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridha:
Sayyid sependapat dengan ath-Thabari di atas. Beliau menegaskan bahwa untuk kepentingan politik dan penyebaran Islam, dibolehkan mengawini wanita-wanita non-muslim secara mutlak untuk menjadikannya muslimah. Tetapi sebaliknya, dengan alasan sad al-dzari’ah, tidak dibenarkan pria muslim yang lemah akidahnya untuk mengawini wanita non-muslim, khususnya wanita-wanita Eropa saat ini.
Komentar Penulis:
Memilih pasangan dalam hidup berumah tangga merupakan batu pertama pondasi suatu bangunan, ia harus kokoh dan kuat, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak.
Dalam uraiannya tentang makalah ini, penulis menggarisbawahi, bahwa anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya, berbeda dengan lalat atau serangga yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang hanya membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga ia mencapai usia remaja. Berapa tahun ia akan dibimbing oleh orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu atau bapaknya musyrik? Kalaupun sang anak kemudian beriman, dapat diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang tuanya di masa kecil. Karena itu Islam melarang perkawinan tersebut.




Daftar Pustaka:
- Tafsir al-Manar, cetakan Dar al-Fikr Beirut
- Kotektualitas al-Qur’an, karya: Prof. Dr. Umar Shihab, MA
- Rasionalitas al-Qur’an, M. Quraish Shihab, Terbitan Lentera Hati, Edisi Baru Cetakan 1 April 2006 M